Jika kita berbicara film dramatis dengan kemampuan menguras air mata, tentunya nama Hanung Bramantyo adalah jaminannya. Lihat saja deretan film-film hasil penyutradaraannya, Rudy Habibie, Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban dan beberapa judul film lainnya.
Lalu, bisa dibilang Hanung juga cukup punya portofolio yang panjang akan film biopik yang mengangkat nama-nama besar dalam sejarah seperti, Soekarno: Indonesia Merdeka dan Sang Pencerah yang berkisah tentang K.H Ahmad Dahlan.
Kini, dibantu oleh jajaran aktris dan aktor papan atas Indonesia, Hanung menuangkan persepsi dirinya tentang sosok R.A. Kartini, pahlawan nasional wanita yang dikenal berkat perjuangannya di bidang emansipasi wanita dan pendidikan. Hasilnya? Jenis film yang mudah Anda tebak merupakan karya seorang Hanung Bramantyo. Ramuan berupa kisah biopik berbalut bumbu drama yang kental.
Hanung menarasikan kisah kehidupan Kartini dari awal. Kartini muda harus menjalani pingitan sebagaimana tradisi yang dianut masyarakat dan keluarganya. Namun terbatasnya ruang gerak Kartini dikompensasikan dengan buku-buku yang dibacanya. Lewat buku-buku ini, pikiran Kartini bisa bebas menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang secara fisik mustahil dilakukannya.
Dian Sastrowardoyo berperan sebagai Kartini di usia remajanya. Tak perlulah meragukan akting Dian Sastrowardoyo, namun rasanya pilihan pemeran ini agak bisa dipertanyakan mengingat usia Dian Sastrowardoyo yang cukup jauh berbeda dengan Kartini semasa hidupnya.
Sederet konflik yang datang dari berbagai pihak harus dihadapi Kartini. Mulai dari tekanan oleh ibu tirinya (Djenar Maesa Ayu), ketidaksukaan kakak laki-lakinya terhadap kelakuan Kartini, ayahnya yang jatuh sakit, dan beragam konflik lainnya. Apabila tujuan Hanung ingin menjabarkan betapa beratnya perang batin yang harus dirasakan Kartini, maka ia berhasil. Namun sebagai penonton, saya justru ingin mendapatkan inspirasi dari pemikiran dan gagasan Kartini. Apa alasan yang membuatnya menjadi sosok yang begitu berpengaruh.
Seperti yang kita ketahui, perjuangan Kartini tertuang dalam surat-suratnya yang merekam betapa progresifnya pemikiran Kartini dibandingkan wanita-wanita di zamannya. Seandainya Hanung melakukan pendekatan berbeda untuk menarasikan Kartini dengan mengambil surat-surat Kartini yang dibukukan sebagai fondasi narasi, film ini mungkin akan berbeda.
Sejumlah penampilan para pemain lain pun patut menjadi catatan. Christine Hakim (berperan sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini) dan Deddy Sutomo (berpersan sebagai Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini) adalah dua orang yang membuat film menjadi tampak "utuh". Tepuk tangan apresiasi juga saya berikan pada Acha Septriasa dan Ayushita yang sanggup menyampaikan emosi dan karakter dengan baik.
Setelah menonton Kartini, terdapat rasa kurang puas akibat penggambaran sosok ikonis yang terasa kurang mendalam dan nilai-nilai inspiratif yang kurang tersampaikan. Namun, film ini akan memperkenalkan Anda kepada orang-orang di sekelilingnya, memperkenalkan kira-kira seperti apa dunia yang dihadapi Kartini kala itu.
(Foto: Dok. Instagram @legacy.pictures. Dok. Legacy Pictures)