Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Bagaimana Dampak Covid-19 pada Aktivitas Kencan?

Jauh dari berjalan jarak jauh di taman, menemukan cinta di tengah pandemi tidaklah mudah, tetapi tidak ada hal positif yang tidak mungkin.

Bagaimana Dampak Covid-19 pada Aktivitas Kencan?

Malam di akhir November saat itu sangatlah dingin, dan saya masih duduk di kursi taman Battersea. Saya terbalut dengan banyaknya lapisan baju, sarung tangan, syal, dan tiga pasang kaos kaki sembari menyesap cangkir plastik berisi anggur merah yang dingin. Malam itu sangat gelap dan saya tidak yakin apakah pasangan kencan saya dapat melihat saya secara jelas, lebih tepatnya saya tidak yakin saya bisa melihatnya secara jelas. Dia bercerita panjang lebar tentang bagaimana dia menikmati belajar PPE (politik, filosofi, dan ekonomi) dan dia pun izin untuk buang air di antara semak-semak. Saya pun duduk di sana sembari berpikir betapa anehnya situasi ini. Walaupun saya meyukainya, yang sebetulnya saya juga tidak yakin akan hal itu, yang bisa saya pikirkan hanyalah betapa kedinginannya saya dan seberapa lama lagi saya bisa bertahan sebelum terserang hipotermia. 
 
Anda mungkin akan berpikir bahwa dengan hilangnya berbagai kesempatan untuk berkencan secara tatap muka, seperti tidak adanya makan malam romantis yang diiringi musik maupun dansa hingga dini hari, akan menempatkan para lajang pada posisi yang sulit. 
 
Namun, sebaliknya, terlepas dengan adanya penerapan lockdown atau PSBB pada beberapa negara selama satu tahun terakhir ini, aktivitas di dunia kencan tetap berjalan dan hidup seperti biasanya. Penggunaan Tinder memang sempat menurun pada awal tahun 2020, namun melejit tinggi pada akhir tahun 2020, yaitu sebanyak lebih dari 50 juta sesi per minggu di seluruh dunia. Hal yang sama pun dirasakan oleh Bumble, di mana aplikasi kencan online tersebut menjadi aplikasi terpopuler kedua dengan 25 juta sesi per minggunya. 
 
Berdasarkan data YouGov, tidak mengherankan apabila mereka yang berusia di antara 18-24 tahun adalah kelompok usia yang paling tidak mungkin berhenti berkencan. 
 
Jika dilihat secara sekilas, mungkin yang dapat dilakukan oleh para lajang di masa-masa lockdown ini hanyalah berjalan kaki bersama. Kondisi tersebut mirip sekali dengan beberapa episode awal TV-Series Bridgerton, di mana Anda berjalan dengan kekasih di siang hari sembari dihantui oleh kehadiran pemerintah sebagai polisi untuk memastikan dan memonitor Anda. 


Selama pandemi Covid-19 ini, muncul sebuah topik obrolan atau bahasan baru bagi para lajang. Mereka tidak lagi terbatas dengan membahas topik-topik umum dan besar, seperti pandangan dalam bidang politik, keuangan, keluarga, atau hubungan, tetapi juga bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari selama pandemi, khususnya saat akan berkencan, seperti  apakah memungkinkan untuk bertemu, berpelukan, berciuman, menghabiskan malam bersama, dan lain-lain. 
 
Pada masa-masa awal lockdown, yaitu pada 13-27 Maret, aplikasi Bumble menemukan bahwa terjadi peningkatan sebesar 93% persen pada fitur panggilan suara ataupun obrolan video di aplikasi. Namun, hampir setahun kemudian, ekspektasi dalam berkencan tidak pernah bisa semudah ini. 
 
Apa yang diinginkan dan dicari oleh para wanita maupun pria lajang saat ini telah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terkait secara langsung dengan kondisi di masa pandemi ini. Pertama, mereka yang ingin hubungannya berkembang ke tahap serius tidak memiliki atau diberi batasan waktu yang jelas untuk digunakan sebagai patokan perkembangan hubungan mereka. Hal tersebut dapat terjadi karena pandemi ini seperti tidak ada titik akhirnya sehingga berpengaruh pada alur hubungan sepasang kekasih. Contohnya dapat dilihat dari kondisi kedua lockdown pertama. 
 
Pada saat lockdown pertama, kita berharap untuk merasakan kebebasan dari Covid-19 pada musim panas nanti. Lalu, lockdown yang kedua pun hadir dan kita berharap agar Covid-19 dapat berakhir pada saat natal bulan Desember nanti. Mungkin kondisi tersebut akan terus berulang, tanpa ada kejelasan kapan berakhirnya. 
 
“Kita sedang berjalan dan berjalan dan berjalan dan kapan perjalanan ini berhenti?” kata dr. Audrey Tang, seorang psikolog, dosen, dan penulis. “Tapi pada saat yang sama, hal ini memaksa munculnya sebuah percakapan, dan menurut saya itu bukanlah hal yang buruk,” tambahnya. 
 
Kita harus mengakui bahwa beberapa orang rela untuk melanggar protokol atau aturan yang mengatur situasi selama pandemi ini demi menemukan cintanya. Mereka pun berharap agar pasangannya akan melakukan hal serupa. 
 
Seorang teman yang bertemu dengan kekasihnya pada November, yaitu pada saat lockdown, bercerita bahwa dia tidak ingin menjalankan hubungan jika mereka memutuskan untuk mengikuti protokol dan aturan yang berlaku.
 
“Saya tidak melihat gunanya untuk melakukan kencan yang sama berulang kali,” katanya kepada saya. “Jika Borris (Perdana Menteri Britania Raya) mengatakan kalau pembatasan atau larangan Covid-19 akan berakhir pada minggu depan atau dalam lima tahun ke depan, hal tersebut akan tidak relevan dengan keputusan saya. Saya tidak akan melakukan satu atau dua kencan jika yang bisa kami lakukan hanyalah berjalan-jalan, ketika ada orang di luar sana yang tidak peduli dengan protokol atau peraturan sehingga saya bisa berkencan selayaknya”, tambahnya.  
 
Walaupun perubahan akan apa yang dicari seseorang dalam diri pasangannya belum jelas terjadi atau tidak, satu hal yang pasti adalah adanya perubahan terkait alasan mereka menginginkan seseorang. 
 
“(Pandemi ini) membuatku ingin menjalin sebuah hubungan karena penerapan lockdown menguntungkan para pasangan” jelas teman lain. 
 
Pada saat Belanda dengan cepat memperkenalkan “teman seks” untuk para lajang, Inggris menyesuaikan aturan dukungannya bagi mereka yang sudah berada di dalam sebuah hubungan sejak 23 Maret 2020. Seorang teman beralasan bahwa, “Lockdown membuat saya sadar betapa saya membutuhkan kenyamanan yang ditemukan dari berada dekat dengan seseorang, tetapi juga terutama karena interaksi sosial lainnya sangat minimal,” jelasnya. 
 
“Apa yang saya lihat adalah seberapa berharganya kencan (pada masa ini),” kata psikoterapis Lucy Beresford. “Sebelum adanya pandemi, kita bisa saja berhubungan dengan 5-10 orang sekaligus dalam satu minggu jika kita memang menginginkannya, tetapi sekarang semuanya terasa lebih berharga. Saya menyadari bahwa banyak orang menggunakan lebih banyak waktu untuk melakukan obrolan yang berarti melalui Zoom atau chat WhatsApp agar mereka yakin jika mereka akan menemui orang ini sehingga tidak membuang-buang waktu. Orang-orang berkata bahwa saya harus menentukan pilihan degan serius tentang dengan siapa saya akan menghabiskan waktu kencan saya. Mereka kurang bersedia untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang melakukan ghosting atau tidak meyakinkan. Orang-orang menjadi jauh lebih pemilih dan lebih bijaksana terkait pilihan siapa yang akan mereka kencani,” tambahnya.  

Sebaliknya, beberapa orang lainnya sangat mendambakan keintiman sampai-sampai mereka mengabaikan potensi jika bertemu dengan orang yang tidak jelas atau berbahaya. Seorang teman menjelaskan bahwa pertanyaan berikut ini telah berubah, dari “Apakah Anda sedang tertarik untuk mengencani seseorang?” menjadi “Apakah Anda akan berkencan jika memungkinkan?”. Kedua pertanyaan tersebut memiliki perbedaan yang besar. 
 
“Anda tidak ingin menjalin hubungan dengan seseorang hanya karena mereka tidak bisa bertemu dengan orang lain, Anda mengiginkannya karena mereka tidak menginginkannya,” jelasnya. 
 
Salah satu kekhawatiran terbesar bagi mereka yang sedang menjalin hubungan adalah keamanan mereka. Salah satu yang dapat mereka lakukan adalah dengan berjalan kaki. Namun, saat musim dingin datang di berbagai negara, sulit bagi mereka untuk berjalan kaki di luar karena cuacanya yang tidak memungkinkan. Hal tersebut membuat beberapa pasangan melangkah dengan cepat dalam beberapa hal, seperti berkencan di tempat tinggal sang pasangan. Karena, biasanya, membutuhkan waktu untuk seseorang mengunjungi tempat tinggal pasangannya. Namun, karena pendemi ini, hal tersebut dilakukan dengan lebih cepat karena minimnya pilihan yang tersedia. 
 
Riva, seorang lajang berusia 20-an, mengatakan bahwa sikapnya terhadap keselamatan telah berubah. “Sebelum adanya penerapan lockdown, saya tidak akan pernah terpikir untuk datang ke tempat tinggal orang lain untuk kencan pertama. Namun, karena pilihan yang terbatas, saya jadi mempertimbangkan kembali apa yang telah saya siapkan. Saya bertemu dengan Sam di tempat tinggalnya pada kencan pertama kami. Walaupun memang tidak boleh, saya membagikan lokasi saya secara langsung (live) kepada beberapa teman, mengirimkan foto Sam, dan juga alamatnya. Saya juga mengatakan jika mereka tidak mendapatkan kabar apapun dari saya hingga jam 11 malam, mereka harus menghubungi polisi,” jelasnya. 
 
Di negara-negara dengan empat musim, terdapat sebuah lelucon tahunan mengenai “cuffing season”, di mana para lajang melekatkan diri satu sama lain dari akhir September hingga akhir November agar dengan cepat berada di dalam suatu hubungan, tetapi akan putus pada bulan Maret. Lelucon tersebut pun dijadikan sebagai sebuah hal yang dipertimbangkan pada masa pandemi ini karena adanya kemungkinan lonjakan kasus kedua kalinya. Para lajang yang kesepian selama lockdown tidak ingin merasakannya kembali. 
 
“Setelah menjadi lajang selama lockdown, tanpa seks, dan tidak ada orang di sekitar, tidak mungkin bagi saya untuk mengulanginya lagi,” kata Tegan, seseorang yang berusia 30-an. 
 
“Saat musim panas waktu itu mulai mereda, saya mulai berkencan secara gila. Kami masih bisa pergi ke bar atau restoran waktu itu, dan saya bertekad untuk menjalin hubungan jika akan dilakukan penerapan lockdown lagi. Anda hanya perlu melihat-lihat bar di London pada bulan Oktober dan melihat para lajang yang berkenalan dengan panik dan terburu-buru. Saya senang untuk mengatakan kalau saya telah menemukan seseorang dan saya berharap agar kami masih bersama saat lockdown ketiga ini berakhir,” jelasnya. 
 
Namun, walaupun begitu, berkencan selama masa pandemi ini memiliki keuntungan atau keunggulannya tersendiri. “Beberapa hal pasti akan berubah demi kebaikan,” kata dr. Audrey. 
 
“Berkencan adalah hal yang menyenangkan, terasa genit, dan dapat dinikmati. Salah satu hal yang dilupakan oleh orang-orang adalah pada saat kita berdandan, pergi ke luar, dan merasakan kesenangannya. Namun, jika kita belum yakin akan ekspektasi kita, pada akhirnya kita akan berada pada berbagai tingkatan hubungan yang dangkal sehingga saat hubungan menjadi serius kita menyadari bahwa kita tidak menginginkan hal yang sama. Bisa jadi kita tidak memiliki pandangan yang sama akan agama, pernikahan, anak, atau bahkan ke mana arah hubungan ini. Namun, dengan kehadiran Covid-19, terdapat lebih sedikit ruang untuk bermain-main,” tambahnya. 
 
Apakah berkencan pada situasi saat ini membangun hubungan bagi para pemula atau hubungan yang difokuskan untuk jangka panjang hingga masa depan nanti? 
 
“Orang-orang yang sedang berkencaan pada saat ini sedang mempelajari sebuah kursus kilat tentang bagaimana menjalankan hubungan, menaruh usaha di dalamnya, memeliharanya, menjaganya tetap hidup, menjaga spontanitas, dan saya pikir itu adalah hal yang baik,” papar Lucy. 
 
Hal tersebut juga menunjukkan orang-orang yang memang berusaha dan yang tidak. 
 
“Jika Anda tidak dapat mempertahankan minat saya selama enam minggu, harapan apa yang kita miliki untuk masa depan nanti? Untuk 60 tahun ke depan?” tambahnya. Sehingga, intinya adalah, “Orang-orang mulai bertanya ‘apakah saya pantas mendapatkan Anda?’ karena saya ingin lihat apakah Anda berusaha keras akan hal ini. Anda dapat hanya berpikir untuk kencan, sedangkan saya telah memiliki Bruno yang telah menghasilkan enam ide kreatif untuk melakukan hal-hal bersama,” jelasnya.
 

Salah satu teman pria lajang berpikir bahwa apa yang mulai terjadi adalah berkencan dalam kebalikan. Anda harus benar-benar menyukai seseorang tanpa adanya rangsangan atau variasi kejadian yang mungkin untuk terjadi sebelum pandemi hadir. 
 
“Ketika sudah tidak ada lagi yang bisa Anda pelajari jika Anda benar-benar cocok dengannya,” katanya. “Hal ini hampir menjadi lebih menarik saat beberapa hal terbuka kembali di mana pada saat itu Anda benar-benar mengenal orang tersebut. Sedangkan, sebelumnya, jika Anda hanya benar-benar melakukan ‘hal-hal menyenangkan’ dengan mereka, ketika menyangkut hal-hal sehari-hari, Anda mungkin memiliki lebih sedikit kesamaan,” tuturnya. 
 
Abigal bertemu dengan kekasihnya pada Mei tahun lalu, di mana pada saat itu masih ada penerapan lockdown
 
“Saya merasa jauh lebih gugup dibandingkan saat kencan sebelum masa pandemi. Pastinya tentang bayangan bertemua dia dan juga saat harus menggunakan transportasi umum atau Uber, yang mana belum pernah saya lakukan sejak lockdown pertama dimulai. Seperti orang-orang pada umumnya, saya merasa gugup untuk berkedatan dengan orang lain karena Covid-19 dan semua norma sosial yang berlaku. Bagaimana kita bisa saling menyapa? Berpelukan atau hanya berdiam diri di tempat? Semuanya saya pikirkan sambil berusaha terlihat santai dan keren pada saat kencan pertama,” ungkapnya. 
 
Dengan kondisi tersebut, mereka menunggu tujuh minggu untuk melakukan kencan kedua. “Jalannya waktu bagi hubungan kami sangat lebih lambat dari hubungan-hubungan sebelumnya. Kami selalu berbicara, tetapi tidak bertemu satu sama lain dalam waktu yang lama setelah kencan pertama waktu itu. Pada satu sisi, kami melakukan hal tersebut karena hanya itu yang bisa dilakukan. Tetapi, pada sisi lain, saya secara diam-diam tidak menyukai kencan di taman karena itu terasa monoton dan berulang. Tetapi, walaupun saat sudah bisa berkencan secara normal pada musim panas, saya memerlukan lebih banyak waktu untuk berkomitmen. Karena, saya ingin memastikan jika kesenangan yang saya rasaskan bersamanya adalah benar-benar karena dia dan bukan karena kita telah terkurung sekian lama dan akhirnya bisa ke luar,” jelasnya. 
 
Salah satu faktor terpenting dalam hal ekspektasi adalah bagaimana kita mengatur diri kita sendiri. “Anda bisa saja keluar dari masa ini dengan tingkat percaya diri yang tinggi dan bertemu dengan seseorang yang mengagumkan,” kata dr. Tara Swart, seorang ahli saraf dan penulis buku terlaris. “Atau dengan tingkat kepercayaan diri Anda yang menurun,” tambahnya. Saat Anda melihat ke belakang, hal apa yang ingin Anda raih? 
 
“Saya tidak ingin menghabiskan waktu dengan seseorang yang tidak serius,” katanya sambil tertawa. Jika Anda sedang dalam masa lajang, Anda memiliki waktu untuk memikirkan apa yang benar-benar Anda inginkan dan apa yang Anda nilai dari pasangan pada saat Anda harus lebih banyak menghabiskan waktu sendiri dan tanpa adanya distraksi. Seperti apa yang dikatakan oleh dr. Audrey, “Jika Anda lajang, Anda selangkah lebih dekat menuju kebahagiaan dibandingkan mereka yang berada di sebuah hubungan tidak menyenangkan. Mereka harus keluar dari hubungan tersebut dahulu, baru menjadi lajang,” tambahnya.



Jika berbicara mengenai dampak panjang, kita tidak bisa menebak-nebak. “Jika Anda melihat skenario serupa dari krisis nasional, apa yang terjadi setelahnya?” tanya dr. Tara. Perang dunia pertama contohnya, di mana yang terjadi selanjutnya adalah Roaring Twenties. “Jika saya harus bertaruh, saya akan mengatakan kalau itu akan menjadi masa pergaulan bebas yang berlebihan. Ada begitu banyak siklus perang atau kemiskinan yang diikuti oleh pengeluaran, sosialisasi, makan dan minum, dan berhubungan seks. Hal tersebut akan menjadi Roaring Twenties lagi,” jelasnya. 
 
“Saya rasa akan ada sebuah kontras yang jelas, pendulum akan berayun ke dua arah. Akan ada lebih banyak kehamilan, IMS, dan pernikahan yang berusia pendek karena banyak orang yang melemparkan diri pada rasa kebebasan yang baru. Tetapi, saya juga percaya bahwa akan ada beberapa warisan yang mampu bertahan lama dalam cara kita berkomunikasi dan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang Anda sendiri ingin lakukan dan persiapkan,” tambahnya. 
 
Seperti aspek-aspek lain yang terkait dengan Covid-19, berkencan selama pandemi ini telah memberikan dampak baik bagi beberapa orang dan dampak buruk bagi beberapa lainnya. Kondisi ini memang jauh dari kata mudah. Namun, satu hal tetap sama, bahwa berkencan memerlukan keberanian dan harapan. Kenyataan di mana banyak dari kita yang telah menggali lebih dalam untu memahami hal-hal tersebut walaupun sedang berada di kondisi serba sulit menunjukkan bahwa proses menemukan cinta sangat memperbaiki keyakinan diri kita masing-masing. 
 
Beberapa minggu yang lalu, saya bertemu dengan Tom. Ia adalah pria yang pernah saya kencani pada akhir tahun lalu. Kami berjalan bersama selama kurang lebih lima menit dan membahas bagaimana keadaan kita secara mental selama lockdown ketiga ini dan mengapa kita berhenti untuk bertemu satu sama lain. 
 
“Apakah kamu tidak merasa dikalahkan? Saya merasa tidak memiliki apa-apa lagi yang bisa saya berikan padamu,” katanya. Saya cukup setuju dengannya, saya tidak yakin mengapa saya terus mencoba. 
 
“Saya memang menyukaimu. Tetapi saya berpikir apa gunanya ini semua?” katanya. Saat akan berpisah, ia bertanya, “Saya tidak yakin apakah saya bisa menanyakan ini, tapi bolehkah saya menghubungimu lagi di masa depan?” tanyanya. 
 
Meskipun saat ini kami masih melalui penerapan lockdown yang mungkin akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, saya suka kenyataan bahwa dia masih optimis, di saat masa depan masih menjanjikan waktu yang lebih baik. 
 
(Penulis: Meg Honiggman; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih Bahasa: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Bazaar UK)