Walaupun Festival Film Sundance tahun ini akan segera berakhir namun tahun ini sangatlah berbeda. Festival tahun ini tidak disertai tepuk tangan yang meriah, antrean yang panjang diluar pemutaran film atau after party dan juga tidak ada keluhan tentang bus antar jemput yang selalu terlambat seperti biasanya.
Hal ini tentu saja dikarenakan pandemi yang sedang berlangsung menyebabkan festival film ini sebagian besar diadakan secara virtual dengan beberapa pemutaran film dan acara yang dilaksanakan diluar ruangan. Masalah ini bukanlah sebuah hambatan bagi Tabitha jackson, direktur festival yang baru. Di bawah kepemimpinannya yang luar biasa, Sundance dapat mempertahankan semangat independennya dan menghadirkan suasana yang meriah di kota Park City, Utah.
Dampak dari pandemi Covid – 19 terhadap industri film dapat terlihat dari jumlah seleksi film yang lebih sedikit dari tahun – tahun sebelumnya. Tapi fenomena ini dapat direfleksikan dalam film – film narasi dan dokumenter yang menampilkan isu seperti virus dan karantina, kekacauan politik, kekerasan bersenjata, dan krisis pengungsi dalam cara yang lebih tajam dan mengunggah pikiran kita.
Festival ini tidak saja menampilkan beberapa seleksi film pilihan namun juga dialog virtual, panel, program New Frontier dan juga pesta daring yang di harapkan dapat mengunggah rasa persatuan di antara penonton dan pengarang cerita di seluruh dunia. Singkatnya, Festival Film Sundance tahun ini dapat menjadi contoh bagaimana teknologi dapat digunakan dengan baik dalam mempertahankan sebuah tradisi pemutaran film yang selama ini dinanti oleh para pecinta film di seluruh penjuru dunia.
Dalam rangka memperingati Festival Film Sundance tahun ini berikut adalah 12 film terbaik pilihan kami. Ditambah dengan 5 film sebagai honorable mentions.
Captains of Zaatari
Dokumenter karya Ali El Arabi seorang koresponden perang dan pembuat film ini mengundang penonton ke dalam dunia dua remaja Suriah yang terobsesi dengan sepak bola, bermimpi meninggalkan kamp pengungsi mereka di Jordania untuk masa depan yang lebih baik. Tidak seperti film – film dokumenter lainnya yang menceritakan tentang krisis suriah, Captain of Zaatari menyajikan perspektif tentang pertemanan, apresiasi terhadap sepak bola namun secara konsisten tetap realistis dan jernih. Hal inilah yang menjadikan dokumenter ini unik. Dengan visualisasi yang menawan dan perspektif ideologi yang jelas, Ali El Arabi menekankan bahwa bukanlah rasa belas kasihan namun kesempatan yang adil, yang pantas didapatkan oleh dua tokoh utama seperti Mahmoud dan Fawzi sebagai imigran dalam film ini.
CODA
Rasanya tidak lengkap bila Festival Sundance tidak dilengkapi dengan satu film populer yang menjadi favorit penonton. Pemenang tahun ini adalah film berjudul CODA yang berhasil meraih empat penghargaan yaitu Grand Jury prize, Directing Award, Audience award, dan Special Jury Award for Best Ensemble. Film bergenre dramedy garapan sutradara Sian Heder ini mengikuti kisah seorang siswi SMA bernama Ruby (diperankan dengan apik oleh Emilia Jones) yang harus berkompromi dengan hasratnya untuk bernyanyi demi memenuhi ekspektasi keluarganya yang tuna rungu.
Film ini di adaptasi dari film Prancis berjudul La Famille Bélier (2014) dan menampilkan aktor tuna rungu dalam kehidupan nyata yaitu Marlee Matlin, Troy Kotsur, dan Daniel Durant dalam bagian – bagian film yang tidak bersuara. CODA secara lembut menampilkan hubungan keluarga Ruby yang penuh cinta dengan beberapa kejutan yang bersifat spesifik hingga universal. Ditambah lagi dengan lagu karangan Joni Mitchell film ini akan membuat anda orang yang paling skeptis sekalipun meneteskan air mata.
CODA akan dirilis oleh Apple setelah memecahkan rekor kesepakatan $ 25 juta. Tanggal menyusul.
Cusp
Bagaikan versi dokumenter dari film The virgin suicide dan Mustang karya Sofia Coppola dan Deniz Erguven, film ini menggugah rasa para penonton dengan menampilkan dua sisi dari kehidupan remaja di Amerika Serikat. Dalam film ini duo sutradara Parker Hill dan Isabel Bethencourt mengikuti tiga gadis remaja di kota kecil di Texas mulai dari saat mereka bersantai dan berkumpul hingga mereka bermabuk – mabukan ditengah silau dan panasnya musim panas. Kisah nyata ini secara mentah menampilkan sisi kelam dalam budaya remaja di Amerika serikat seperti pemerkosaan yang akan membuat penonton sulit untuk tidak terkejut.
Flee
Film animasi dokumenter karya Jonas Poher Rasmussen ini memberikan kita perasaan yang emosional tentang identitas dan acceptance. Hal ini dapat dirasakan di salah satu adegan film Flee yang diisi oleh lagu Daft Punk “Veridis Quo”. Film ini mempunyai narasi yang menarik dan berempati kepada tokoh protagonis yaitu seorang pengungsi dari Afghanistan yang merupakan seorang penyuka sesama jenis. Protagonis tersebut menceritakan kisah hidupnya yang berlika – liku mulai dari perjalanannya yang berbahaya hingga ketika ia harus membuka diri kepada keluarganya tentang seksualitasnya. Jonas secara perlahan memberikan gambaran yang dalam tentang perjalanan tokohnya dari satu bagian film ke bagian yang lain. Berkat sentuhan yang humanis film ini akan terus dibicarakan dan dirayakan hingga bertahun – tahun kedepan.
Flee akan dirilis oleh Neon. Tanggal menyusul.
Jockey
Jockey mengingatkan kita akan film the wrestler melalui karakter seorang joki / penunggang kuda yang sedang berada di ujung karirnya. Film karya Clint Bentley ini menampilkan kasih sayang orang tua yang abadi dan penyembuhan spiritual. Penghargaan Best Actor Special Jury Award juga berhasil dimenangkan oleh Clifton Collins Jr. berkat aktingnya yang mengharukan dan emosional sebagai olahragawan yang harus menghadapi risiko antara memilih jalan pribadi atau profesional. Clint Bentley menggambarkan rintangan dan hambatan yang dihadapi seorang penunggang kuda di luar maupun di dalam trek balap dengan sangat detil. Hal ini lah yang membuat karya Clint ini dapat disejajarkan dengan film – film serupa seperti The rider, The Mustang, dan Lean on Pete sebagai studi tentang kehidupan masyarakat di pinggiran Amerika yang masih mengagungkan kuda jantan (stallion).
Jockey akan dirilis oleh Sony Pictures Classics. Tanggal menyusul.
John and the Hole
Sutradara Pascual Sisto mendefinisikan debutnya ini sebagai versi lain dari Home Alone. Lebih mengganggu daripada film – film horror lain yang ada di daftar ini, psikodrama yang terasa lama dan perlahan-lahan ini terasa gelap ini menceritakan seorang bocah lelaki berusia 13 tahun yang penasaran akan kematian (Charlie Shotwell) yang menjebak keluarganya di dalam sebuah bunker dan bereksperimen dengan kebebasan dari masa dewasa melalui sikap – sikapnya yang sangat menggelisahkan. Kritik terhadap kebosanan dalam hidup, eksplorasi penderitaan remaja, serta pelajaran parenting oleh Yorgos Lanthimos dirancang dengan rasa minimalis yang meresahkan oleh Pascual Sisto ( yang juga seorang seniman instalasi), John and the Hole adalah semua hal – hal tersebut bahkan lebih buruk dari itu.
Judas and the Black Messiah
Mungkin terkesan curang memasukan film dari studio besar dalam daftar festival film independen, namun Judas and the Black Messiah nampaknya adalah salah satu film terbaik di tahun 2021 yang meninggalkan jejaknya di Festival Film Sundance. Film yang dipoles secara memukau dan sukses di layar lebar ini diperankan oleh Daniel Kaluuya sebagai pemimpin Black Panther Fred Hampton, dan LaKeith Stanfield sebagai informan FBI yang mengarahkan organisasi tersebut dalam pembunuhan Hampton yang brutal. Gambaran bersejarah yang cukup memalukan dan berdarah bagi Amerika tersebut berhasil ditangkap oleh gaya sinematografi Sean Bobbitt. Judas and the Black Messiah merupakan penggabungan akting yang memukau dari beberapa aktor berbakat dan pengakuan akan masa lalu yang menghasilkan tepat waktu dan mendesak.
Warner Bros. Pictures akan merilis Judas and the Black Messiah di bioskop dan di HBO Max pada hari Jumat, 12 Februari (Tersedia di HBO Max selama 31 hari sejak tanggal rilis).
On the Count of Three
Komedi gelap tentang perjanjian bunuh diri mungkin terdengar mustahil untuk dibuat dalam sebuah skrip film. Untungnya debut Jerrod Carmichael yang cukup meledak ini dapat melakukan lebih dari itu, menjadikan film ini pertaruhan artistik yang mungkin atau tidak mungkin Anda sukai di Festival Sundance kali ini. Disuguhkan dengan unsur komedi dan dibintangi oleh Carmichael sendiri, film ini menampilkan perjalanan berlika – liku yang dihadapi karakter Carmichael dan temannya yang diperankan oleh Christopher Abbott. Dengan pertanyaan seputar trauma, kesetiaan, dan ras di dalamnya, On the Count of Three mencapai sesuatu yang hampir mustahil pada kesimpulannya, yaitu dapat menyaring temanya menjadi sesuatu yang memilukan dan penuh harapan.
Passing
Pengekangan mungkin merupakan kata yang paling tepat dalam mengartikulasikan film Passing karya Rebecca Hall yang elegan, dengan pengambilan gambar hitam putih yang bercahaya. Sebuah project yang memiliki makna personal yang dalam bagi Rebecca Hall, yang memiliki latar belakang ras campuran dan dikategorikan sebagai kulit putih. Cerita mengenai rasisme di Amerika yang kompleks ini terlihat melalui pandangan dua wanita kulit hitam yang mengaku sebagai kulit putih di era '1920-an di Harlem, (Tessa Thompson dan Ruth Negga dalam akting yang luar biasa dan memesona), di mana salah satu dari mereka memutuskan untuk menyembunyikan identitasnya sebagai wanita kulit hitam dari suaminya dan masyarakat. Passing diadaptasi dari novel Nella Larsen tahun 1929 dengan rasa melankolis dan ketidaknyaman yang disuguhkan secara halus. Film ini termasuk salah satu film besar yang keluar dari Festival Sundance tahun ini. Lensa tajam dalam film ini berfokus pada area abu – abu dalam isu identitas rasial yang jarang disorot dalam film – film kontemporer.
Passing akan dirilis oleh Netflix. Tanggal menyusul.
The Pink Cloud
Film eksistensial, claustrophobic, dan merangsang ini adalah film karantina yang Anda tidak tahu anda butuhkan. Film karya Luli Gerbase ini telah direncanakan dan memulai proses syuting sebelum Covid – 19. Karena itu kejelasan tentang titik tertinggi, terendah, dan keterpurukan manusia yang tergambar jelas dalam film ini dinilai lebih mengesankan. Kisah ini mengungkap sepasang orang asing yang terjebak dalam lockdown yang panjang ketika kepulan asap berwarna permen kapas muncul di langit. The Pink Cloud memberikan mantra menenangkan yang aneh melalui persepsi yang tidak menyenangkan tentang kebersamaan, kesendirian, dan isolasi di zaman krisis kesehatan di seluruh dunia, dengan gaya pengambilan gambar yang cermat dan elemen desain produksi yang nyata mendorong ke sebuah gambar keakraban yang menggelitik.
Summer of Soul (…Or, When the Revolution Could not Be Televised)
Summer of soul merupakan film yang dinilai paling pantas menerima penghargaan Grand Jury dalam US Documentary Competition. Film ini menampilkan cuplikan dari festival budaya Harlem tahun 1969 yang telah tersimpan di dalam ruang bawah tanah selama lebih dari lima dekade, dan dianggap sebagai karya seni yang membangkitkan kembali kekuatan rakyat. Dalam debutnya sebagai sutradara yang menakjubkan, legenda musik Ahmir “Questlove” Thompson tidak hanya memberikan perspektif historis baru dengan berfokus pada sebuah acara yang relatif kurang dihargai tetapi juga mengembalikan sebuah budaya kulit hitam yang terlupakan. Tentu, tidak ada salahnya jika menonton nama – nama seperti Nina Simone, Stevie Wonder, Mahalia Jackson, dan Sly and the Family Stone dalam parade festival yang menakjubkan itu. Namun teknik Questlove-lah yang membuat film ini terasa membebaskan.
Summer of Soul akan dirilis oleh Searchlight Pictures dan Hulu. Tanggal menyusul.
Wild Indian
Film karya Lyle Mitchell Corbine Jr. ini memang kurang dikenal dalam kompetisi drama AS tahun ini. Namun menontonnya terasa seperti menemukan suara sinematik baru yang signifikan dalam aliran suara Sean Durkin (pemeran utama) dengan sudut pandang yang tak terbantahkan. Melalui masa kanak-kanak dan masa dewasa seorang anak laki-laki Anishinaabe dengan masa lalu yang kelam dan mantan teman sekolahnya yang bermaksud baik, Corbine Jr. menceritakan sebuah kisah yang membakar, kejahatan, dan penyesalan khas amerika, yang berakar pada masa lalu yang membentang dari kekerasan yang tak termaafkan. Wild Indian benar – benar memacu ketegangan penonton melalui mata sejarah.
Honorable Mentions
Luzzu (Alex Camilleri), Mass (Fran Kranz), The Sparks Brothers (Edgar Wright), Users (Natalia Almada), Pleasure (Ninja Thyberg)
(Penulis : Tomris Laffly; Artikel ini disadur dari Harper’s Bazaar US; ahli bahasa; Banni Raihan; Foto Courtesy of Sundance Institute)