Selama tiga bulan, tepatnya pada 17 Desember 2022 sampai 19 Februari 2023, Gedung Sarinah Lantai enam disulap menjadi rumah bagi gelaran seni kontemporer, artina Sarinah.
Edisi pertamanya ini mengusung tema wastu/loka/kala yang berarti wujud/ruang/waktu. Sejumlah seniman lintas generasi dan lintas disiplin Tanah Air turut berpartisipasi mempersembahkan karya-karya terbaiknya, di antaranya adalah Asha Smara Darra, Teguh Ostenrik, dan Yayasan Terumbu Rupa, serta Putu Sutawijaya. Pameran ini dikuratori oleh Agung Hujatnika dan Bob Edrian, bersama Heri Pemad sebagai inisiator dan Direktur Artistik.
Asha Smara Darra mempersembahkan karya yang terbuat dari rotan dan kain yang ia beri nama Menhir. Teguh Ostenrik menggandeng yayasan miliknya yakni Yayasan Terumbu Rupa dalam menyuguhkan Kurma Amerta, sebuah instalasi dari besi sebanyak 399 ekor yang akan ditempatkan di laut Bali Utara sebagai media untuk karang bertumbuh. Lalu, ada Sri Astari yang menempatkan lima karya dari aluminium dan stainless steel bernama Armors for the Soul. Sementara itu, Putu Sutawijaya memamerkan sejumlah lukisannya dan instalasi yang dinamai Anetes. Anda pun seakan dibawa melintasi waktu dengan karya fotografi Dwi Oblo yang menampilkan gambar jejak masa purbakala.
Artina yang merupakan gabungan dari kata art (seni) dan ina (Indonesia) lahir dari sebuah niatan untuk menelisik dan menampilkan kembali keragaman khazanah Indonesia yang berbasis pada bidang seni dan budaya. Melalui pameran, artina berupaya menggali dan mengangkat kekayaan sumber daya tak-benda yang pernah hidup dan berkembang di masyarakat, mengangkat cita-cita paradigma artistik mutakhir yang lahir dari pertukaran dan peleburan beragam perspektif personal, kearifan sosial, dan pengetahuan setempat.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Heri Pemad.
Selain menampilkan berbagai praktik dan karya seni yang telah ada, artina juga ingin mendorong penciptaan karya-karya baru yang merespon tema pameran ini secara khusus. Di masa mendatang, kami ingin Artina bisa memicu lebih banyak lagi kolaborasi antar praktisi seni di Indonesia. Dan, dengan mengusung tema wastu/loka/kala, kami ingin menghadirkan pengalaman dan cara pandang yang dinamis dalam melihat keragaman budaya Nusantara.
Lewat wawancara singkatnya bersama Bazaar, ia juga ingin menyampaikan harapannya agar penyampaian kekayaan budaya dari berbagai daerah di Indonesia di Artina akan membuat kita semakin mencintai dan menjaganya.
Artina Sarinah turut menggandeng para disabilitas yang tergabung dalam Jogja Disability Arts. "Kita enggak ada istilah berbeda, kita ini sama. Kalau pun berbeda, ini adalah sesuatu yang indah. Saya kira apa yang saya rasakan bersama teman-teman (disabilitas) kemudian dapat memotivasi teman-teman difabel yang lain. Dengan bahasa seni, mereka bisa menunjukkan bahwa kita ini setara," lanjut Heri.
Pembukaan Artina Sarinah pada 16 Desember lalu dihadiri oleh deretan figur penting Indonesia. Mereka adalah Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Loto Srinaita Ginting (Staf Ahli Bidang Keuangan dan Pengembangan UMKM Kementerian BUM), Miranda S. Goeltom (Kolektor dan Penikmat Seni), Melani W. Setiawan (kolektor dan Ibu Perupa Indonesia), Christine Hakim (artis senior dan penggerak seni), dan Fetty Kwartati (Direktur Utama Sarinah).
Meski baru pertama diadakan, Artina Sarinah sudah mulai bergerak untuk menunjukkan eksistensinya lewat pameran edisi kedua yang akan berlangsung hingga Mei 2023 dengan tema yang berbeda. Skema penyelenggaraan ini diharapkan bisa memberikan ruang yang lebih luas bagi keragaman praktik seni di Indonesia.
Foto: Courtesy of artina Sarinah