Selagi bersiap memasuki dekade yang baru, kami melihat kembali beberapa tren mode yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pilihan berbusana selama 10 tahun terakhir. Selama tahun 2010-an, dunia mode benar-benar bertransformasi berkat media sosial, influencers, dan kemudian kesadaran baru terhadap kepedulian lingkungan, yang masing-masing memiliki pengaruh besar pada tren yang kita terapkan di kehidupan sehari-hari.
Dari warna yang tidak terduga yang terlihat bermusim-musim hingga tren denim yang tidak ada matinya, berikut kami kumpulkan beberapa tren gaya yang menurut kami mendefinisikan dekade ini.
Gaya Festival
Meski beberapa tampilan festival sudah banyak terlihat sejak jaman Woodstock dan terlihat dikenakan Kate Moss serta Sienna Miller di jamannya, tahun 2010-an menjadi puncak tenarnya. Mahkota bunga, rumbai, denim robek, dan rajutan terlihat di mana-mana dari Glastonbury sampai Coachella, dengan ‘gaya festival’ yang akhirnya menjadi seragam independen yang sangat ikonis.
Gaya yang terinspirasi dari kaum hippie ini sudah ada pada puncak tenarnya di tahun 2015, dan pada saat itu, sang ikon gaya festival yang orisinil, Alexa Chung, mulai menghindari konsep itu.
“Menurut saya itu agak sedikit kurang menarik, beberapa pengulangan dari tema itu, dan bagaimana itu telah menjadi gaya tersendiri. Coachella, bagi saya, telah sedikit terhomogenisasi. Maksudnya, saya memang memakai apa yang banyak dipakai orang lain, tetapi, astaga, jika saya melihat satu lagi mahkota bunga.”
Beberapa tahun kemudian, Alexa semakin jauh mengekspresikan ketidaksukaannya terhadap gaya festival, berbicara di tahun 2018, bah ia memilih untuk tidak menghadiri Glastonbury karena festival itu sudah sangat dibuat komersil, berkat gerakan gaya festival dan Instagram.
“Festival musik seharusnya menjadi tempat di mana Anda bebas mengekpresikan diri, tetapi karena media sosial sekarang, itu menjadi suatu akhir pekan di mana terdapat lebih banyak tekanan untuk tampil memukau dan itu tidak masuk akal bagi saya. Festival seharusnya menjadi saat untuk bersenang-senang dan berpesta dengan teman-teman.”
Walau semarak busana yang sudah dapat ditebak berupa crop top, denim robek, dan mahkota bunga sudah mulai menyurut (dan membuka jalan bagi warna rambut mencolok, pakaian olahraga mewah, dan tas pinggang), ide untuk berbusana dengan estetis ini tentunya sudah kehilangan daya tariknya, tetapi masih terlihat untuk sekarang.
Tapi apa yang ada di masa depan untuk gaya festival? Dekade depan pastinya akan memengaruhi tren ini karena gencarnya kepedulian terhadap lingkungan dan konsumer tidak lagi memiliki minat terhadap tampilan bertema tunggal, dan kita hanya bisa berharap lebih memilih cara berpakaian yang praktis dibandingkan untuk sebuah acara penuh lumpur di akhir pekan.
Gaya Skandi
Obsesi untuk meniru estetik tertentu dari tempat-tempat khusus bertumbuh dengan pesat selama dekade ini, tidak lebih dari keinginan utnuk berbusana seperti masyarakat penuh gaya dari Skandinavia.
Yang disebut gaya Skandi mendapat tempat di lingkup mode berkat ketenaran Instagram, dan segerombolan influencer sukses asal Skandi yang mengikuti, serta kesempatan yang dibuahkan media sosial kepada banyak label mode yang tidak datang dari kapital mode dunia. Gaya hidup Skandi (hygge, lagom, reputasi interior mereka) juga memperbesar kekaguman budaya mereka seluruhnya, dan pada waktu yang sama juga memiliki gaya busana yang minimalis, lebih nyaman, dan santai dibandingkan yang ada pada panggung mode.
"Anda jelas dapat menemukan orang-orang yang keren dan bergaya di mana-mana, tetapi ini bukan hanya masalah gaya, ini tentang seberapa percaya diri para wanita ini," ujar Nicolaj Reffstrup, CEO Ganni, salah satu label mode paling sukses di Denmark, kepada kami. “Kembali ke kehidupan dalam masyarakat yang seimbang, nyaman, dan tidak terlalu menegangkan dibanding kebanyakan tempat lain di dunia. Cara kami membangun masyarakat kami tercermin dalam sikap para perempuan."
Sikap ini adalah sesuatu diinginkan semua orang, memberi para wanita seperti Pernille Teisbaek, Elin King dan Jeanette Madsen sebuah platform yang sangat besar, sementara label seperti Ganni, Cecile Bahnsen, Saks Potts dan Stine Goya berhasil tumbuh menjadi beberapa label mode paling berpengaruh di dunia. Copenhagen Fashion Week juga mulai menempatkan dirinya di dunia, tumbuh dengan setiap musim, sama seperti Seoul, menantang gagasan sebelumnya yang menyatakan bahwa kita hanya perlu empat kapital mode di dunia.
Pink Milenial
Musim panas 2016 menyaksikan gerakan tak terduga namun sangat kuat di sekitar warna yang kemudian dijuluki 'pink milenial', yang mencakup mode, interior, dan bahkan industri kuliner.
Yang aneh tentang momen milenium-pink adalah bahwa itu bukanlah satu warna tunggal. Variasi warna, mulai dari kuarsa mawar hingga salem dan segala di antaranya, tampaknya dikelompokkan dalam istilah yang sama. Dan, tidak seperti kebanyakan tren yang berlalu yang menjadi membosankan terlalu cepat, tren ini bertahan selama beberapa tahun.
Tepatnya bagaimana dan kapan tren ini mulai memasuki kesadaran kita masih dipertanyakan. Beberapa berpendapat bahwa ini dimulai kembali pada tahun 2012 ketika pink Barbie yang sedikit diredam memasuki mode, sementara yang lain percaya bahwa Grand Anderson Hotel di Wes Anderson (tahun 2014) turut berkontribusi.
Bagaimanapun, dampaknya sangat besar, dari cara mendominasi Instagram (dengan foto-foto bangunan dan manikur, restoran dan furnitur) hingga panggung mode (Gucci, Valentino, Fendi, Fenty musim demi musim), tidak diragukan lagi menjadi warna yang paling berdampak dekade ini. Teori-teori mengapa itu begitu populer, dan bertahan lama, mulai dari nostalgia masa kanak-kanak hingga kualitas yang menenangkan, bahkan menjadi reaksi terhadap fluiditas gender.
Nostalgia ‘90-an
Tas pinggang, gaun selip, choker, kacamata hitam kecil, scrunchies. Tahun 2010-an dipengaruhi oleh tahun 1990-an lebih dari periode waktu lainnya. Dalam hal tren, panggung mode mengingatkan selalu mengulang sejarah, sementara beberapa poin pembicaraan terbesar dalam mode datang dari nostalgia tahun '90-an juga, seperti tribut pada Gianni Versace ataupun para selebriti yang berpenampilan 90-an vintage untuk karpet merah.
Pastinya, mode nostalgia bukanlah hal yang baru. Ada teori bahwa segalanya dalam budaya pop beroperasi pada 'pendulum nostalgia', di mana apa yang lama menemukan dirinya sebagai tren baru yang dipandang lagi sekitar 20 hingga 30 tahun kemudian (terutama ditentukan oleh rata-rata usia para desainer pemimpin tren yang mengatakan dan merasa nostalgia tentang masa kecil mereka). Jadi kembalinya tahun 90-an tidak sepenuhnya tak terduga.
Banyak desainer kembali ke akar mereka atau mungkin bahkan apa yang menjadi inspirasi mereka untuk terjun ke industri mode, sementara konsumen menyukai siluet-siluet yang pernah di lemari pakaian mereka, seperti yang sering terjadi setiap dekade. Namun, dampak nostalgia pada dekade transformatif bagi dunia berarti memiliki peran yang jauh lebih signifikan untuk dimainkan. Pada 2018, nostalgia adalah topik mode terbesar di Google. Apakah mengejutkan bahwa di era Trump, Brexit, media sosial, perubahan iklim dan banyak lagi, orang menginginkan pengingat yang menenangkan dari waktu yang berbeda?
"Itu menimbulkan pertanyaan dalam benak saya tentang apakah kita lebih tidak bahagia dengan waktu sekarang daripada sebelumnya," Sarah Rose Cavanaugh, direktur Laboratorium untuk Ilmu Kognitif dan Afektif di Assumption College mengatakan kepada Luisaviaroma tentang tren. “Kami merasa nostalgia untuk waktu-waktu di masa lalu yang kami rindukan untuk kembali, setidaknya untuk sementara. Mungkinkah itu, lebih dari biasanya, kita merasa diri kita ditarik mundur ke masa hidup kita ketika segalanya terasa lebih sederhana, lebih terhubung, kurang terpecah?"
Trainers
Kebanyakan dari kita sulit untuk mengingat saat ketika tidak bisa memakai trainers setiap hari, sekarang justru telah menjadi begitu mendarah daging sebagai bagian dari pilihan busana. Namun, perubahan pola pikir benar-benar hanya terjadi dalam dekade terakhir, awalnya dimulai hanya sebagai tren belaka, tetapi mungkin menghasilkan perubahan mode paling signifikan yang kita lihat dalam cara berpakaian sepanjang sejarah baru-baru ini.
Tentu saja, momen berkesan pertama yang menandai perubahan adalah ketika Creative Director Céline saat itu, Phoebe Philo memberi hormat apresiasi setelah pergelarannya di Paris Fashion Week 2011, mengenakan sepasang trainers Adidas Stan Smith. Banyak tonggak yang diikuti - Victoria Beckham menukar heels dari labelnya sendiri untuk sepasang trainers putih, Kate dan Meghan menjadikan trainers sebagai bagian permanen dari seragam resmi mereka yang terkenal, sepatu buzzy dipandang menjadi It-bags baru, dan trainers mengalahkan heels sebagai sepatu yang paling banyak dijual di Inggris (menurut Mintel pada 2016).
Salah satu alasan mengapa trainers bertahan lebih dari sekadar tren yang lewat tentu saja dapat dikaitkan dengan perubahan derajat perempuan dalam masyarakat, di mana terdapat lebih sedikit keinginan untuk berpenampilan untuk laki-laki dan lebih mengutamakan kenyamanan dan kepraktisan, tetapi tren ini juga berjalan baik dengan tren mode terbesar dekade ini yaitu tampilan olahraga mewah. Yang kemudian membawa kita ke…
Pakaian Olahraga Mewah
Dari biker shorts hingga sports bra, baju olahraga hingga trainers, tahun 2010-an melihat dorongan menuju pakaian olahraga yang modis dan mewah, dengan cepat menjadi salah satu tren paling signifikan dalam dekade ini. Busana atletis dan olahraga mewah tentu saja menjadi buah dari gerakan kesehatan yang lebih luas, tetapi ini adalah pakaian yang mungkin dirancang agar terlihat seolah-olah dipakai ketika sedang dalam perjalanan ke pusat kebugaran, tetapi tidak akan pernah benar-benar dipakai untuk berolahraga. Dan meskipun industri mode memiliki banyak momen sporty di masa lalu, tidak pernah terpikir bahwa ide berpakaian seperti ini akan berdampak sangat besar.
Sementara para perancang senior dan label high-street juga megikuti tren itu (legging di panggung mode Chanel, baju olahraga di Chloé, crop top Alexander Wang, hoodies Balenciaga), merek-merek baru juga didirikan berdasarkan konsep itu, termasuk Ivy Park milik Beyoncé, Off-White dari Virgil Abloh, Puma x Fenty milik Rihanna, serta lini Yeezy usungan Kanye West juga Vetements dari Demna Gvasalia. Para desainer juga bekerja sama dengan merek pakaian olahraga tradisional seperti Stella McCartney dan Prada dengan Adidas, Commes des Garçons dengan Nike dan Roksanda dengan Lululemon. Baju olahraga kasual namun tetap mewah dan dramatis.
Memasuki pertengahan dekade, mulai dari selebritas hingga editor mode telah banyak menerapkan cara berpakaian kasual ini, di mana saja dari bandara ke kantor, dengan wajah penuh riasan rapi dan tatanan rambut rapi (lengkap dengan cat kuku) tetapi bagaimana tren ini akan berlangsung di dekade baru? Meskipun olahraga mewah telah menunjukkan tanda-tanda mereda, beberapa musim terakhir banyak menunjukkan langkah ke arah berbusana yang lebih anggun dan sophisticated, menunjukkan bahwa di tahun 20-an yang baru, kita mungkin memilih untuk mulai berdandan lagi.
Naik Turunnya Skinny Jeans
Jika berbicara tentang denim, skinny jeans tampak seperti tren yang tidak akan pernah mati, sampai akhirnya benar-benar terjadi. Sejak pertengahan tahun 1990-an ketika dipopulerkan oleh orang-orang seperti Kate Moss, skinny jeans menjadi andalan di sebagian besar lemari pakaian wanita, terlepas dari usia maupun bentuk tubuh. Dipakai oleh semua orang mulai dari bintang pop muda hingga anggota keluarga kerajaan, gaya mendominasi pasar, dengan penjualan skinny jeans tetap menjadi yang paling populer untuk mayoritas konsumer. Topshop contohnya, yang menjual 20.000 pasang skinny jeans Baxter-nya setiap minggu di pertengahan musim semi dan di awal dekade ini.
Tidak mudah untuk menjelaskan bagaimana skinny jeans tetap menjadi gaya yang populer untuk jangka waktu yang lama, terutama karena juga secara luas dianggap sebagai gaya yang kurang menarik, tetapi entah bagaimana memasuki lemari pakaian kami dan menolak untuk menyingkir.
Namun, hampir 20 tahun setelah pertama kali menjadi modis, pada akhir 2018, gaya ini akhirnya berada di akhir masa jayanya, dan mengganti gaya melar dan ketat untuk sesuatu yang lebih lurus, lebih longgar dan lebih tinggi di bagian pinggang. Menurut Lyst, pencarian jeans gaya 'Mom' menyalip skinny jeans pada tahun 2019, dengan konsumer yang mencari tampilan baru.
Tapi, karena menjadi item dominan dalam jangka waktu yang lama, ada kemungkinan kita belum sampai di masa terakhir dari gaya skinny. Bersulang untuk 2020.
(Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih bahasa: Bella Konstantin; Foto: Courtesy of Bazaar UK)