Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Sustainable Fashion, Mungkinkah Mimpi Besar Ini Tercapai?

Di masa sukar terutama akibat hantaman dari pandemi covid-19, bagaimana laporan terbaru mengenai pergerakan mode ramah lingkungan? Mari simak temuan sekaligus pembaruannya di sini.

Sustainable Fashion, Mungkinkah Mimpi Besar Ini Tercapai?
(Hadi Cahyono for Harper's Bazaar Indonesia)

Milenial dan generasi Z diperkirakan akan memerankan peranan penting atas pertumbuhan industri mewah di tahun-tahun mendatang. Kesadaran generasi ini akan pentingnya kepedulian lingkungan merupakan salah satu faktor penentu perilaku belanja mereka. Kecenderungan ini kemudian mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk memikirkan kembali agenda sustainability-nya. Namun mirisnya tak sedikit perusahaan yang melakukan greenwashing, mempromosikan agenda sustainability tak selaras dengan klaim dan janji mereka. Namun terlepas dari itu, untungnya ada pihak-pihak yang mengawasi apa yang terjadi di lapangan.

Masuk ke dalam realitasnya, memang kita sudah dapat melihat deretan pelaku industri fashion sudah berlomba-lomba menampilkan program sustainability tercanggih dan terbaiknya. Termasuk dua perusahaan raksasa: Kering (grup yang membawahi brand-brand seperti Gucci, Yves Saint Laurent, Balenciaga, Alexander McQueen, Bottega Veneta, dan lain-lain), serta Louis Vuitton Möet Chandon (LVMH yang menaungi merek-merek: Louis Vuitton, Dior, Bulgari, Dom Perignon, Moet Chandon, Rimowa, dan lain-lain). 

(Gucci Off The Grid menjadi koleksi sustainable pertama milik brand asal Italia ini)
(Gucci Off The Grid menjadi koleksi sustainable pertama milik brand asal Italia ini)

Sebenarnya grup Kering telah mengukur dampak pencemaran sejak tahun 2012 dan berusaha meningkatkan pemetaan rantai distribusi serta mengurangi intensitas dampak negatif pada lingkungannya lewat program “2025 Sustainability Strategy” yang diperkenalkan pada Januari 2017. 

Dasar strateginya meliput Care (for the planet), Collaborate (with people), and Create (new business models) yaitu peduli akan planet, kolaborasi dengan orang lain, dan menciptakan model bisnis baru yang akhirnya berhasil membawa Kering menempati posisi kedua pada ranking Global 100 The Most Sustainable Companies di tahun 2019. 

"40 persen produk Kering berasal dari sumber sustainable bersertifikat. Perusahaan ini selalu mencari jalan untuk memperbaiki prestasinya.”

Sedangkan penelitian perusahaan riset asal Kanada, Corporate Knights menuturkan bahwa dalam menentukan Global 100, ini merupakan sebuah proses yang tergolong cukup rumit. Melibatkan partisipasi 60 orang, para partisipan ini harus memproses 3,7 juta titik data dalam waktu 5.000 jam untuk menyaring 7.500 perusahaan berpenghasilan lebih dari 1 miliar dolar per tahun untuk menentukan 100 perusahaan yang paling sustainable

“40 persen produk Kering berasal dari sumber sustainable bersertifikat. Perusahaan ini selalu mencari jalan untuk memperbaiki prestasinya,” ujar Toby Heaps yang merupakan co-founder dan CEO Corporate Knights. Dan tahun ini Kering menempati posisi ke-23.

Sedangkan CEO Kering, François-Henri Pinault yang memimpin program “Fashion Pact”, sebuah inisiatif yang digagas oleh presiden Prancis Emmanuel Macron pada KTT G7 Agustus lalu di Biarritz membagikan bahwa ada sekitar 150 merek dari 32 perusahaan telah bergabung dalam “Fashion Pact” yang bertujuan mengurangi dampak lingkungan akibat industri mewah.

Penandatanganan komitmen ini menjanjikan pengambilan langkah-langkah pengurangan dampak fashion pada iklim, keanekaragaman hayati dan juga lautan. Di masa depan, diharapkan program ini dapat melindungi dan memulihkan ekosistem yang terancam akibat aktivitas mereka sekaligs mengurangi polusi laut, eliminasi penggunaan plastik sekali pakai yang ditargetkan dapat berakhir pada tahun 2030. Ditambah lagi dengan inovasi untuk pencegahan polusi akibat serat mikro. 

Kabar baiknya, mulai dari Chanel dan Hermes, Prada, pemilik Versace Capri Holdings, dan Calvin Klein-pemilik PVH, Adidas dan Nike, Inditex, H&M, Selfridges, Galeries Lafayette, hingga Nordstrom juga sudah masuk dalam daftar perusahaan yang ikut terlibat dalam inisiatif ini.

Inisiatif-inisiatif yang serupa juga telah dilakukan LVMH yang sayangnya tidak mungkin dijabarkan satu per satu dalam artikel ini. Mereka juga memiliki departemen khusus sustainability yang telah bekerja sama dengan rumah-rumah mode dalam grup ini selama lebih dari 25 tahun untuk membantu mereka mengurangi jejak lingkungan melalui beragam inisiatif. 

Jika grup Kering memiliki “2025 Sustainability Strategy”, maka grup raksasa lain yaitu LVMH juga tak ketinggalan memiliki program yang serupa yang disebut dengan nama LIFE. Program LIFE (yang merupakan singakatan dari LVMH Initiatives for the Environment) telah diinisiasikan pada tahun 2012. Dan untuk program LIFE tahun 2020, mereka menargetkan pengurangan jejak lingkungan serta peningkatan kinerja lingkungan yang mencakup seluruh siklus penciptaan produksi dari semua produknya di tahun 2020. 

Menerapkan standar tinggi dalam pemantauan, pelacakan, dan juga penyesuaian bahan baku yang digunakan untuk menciptakan produk yang melestarikan sumber daya alam. Target LMVH adalah mengejar 25 persen pengurangan emisi CO2 pada tahun 2020 untuk memerangi perubahan iklim. 

Selain itu, grup LVMH juga turut memelopori tren di dunia bisnis pada tahun 2002 dengan memperkenalkan pelaporan karbon dari rumah-rumah modenya. Belum lagi dalam manajemen limbah, mereka telah melakukan pemakaian kembali hingga 91 persen limbah yang didaur ulang atau ditransformasikan menjadi energi. Di samping itu, material kulit yang digunakan juga bersumber dari penyamakan kulit yang sertifikatnya dikeluarkan oleh Leather Working Group (LWG). 

(Foto: Courtesy of Stella McCartney)
(Foto: Courtesy of Stella McCartney)

Begitu pula dalam pemilihan berlian yang menggunakan berlian bersertifikat Responsible Jewelry Council. Salah satu brand di bawah LVMH yang menekankan prinsip etis yang ketat adalah Stella McCartney. Ia menggunakan bahan-bahan eco-friendly, menolak penggunaan produk kulit dan fur, serta menerapkan strategi pengurangan limbah yang diaplikasikan pada seluruh rantai pasokannya. Stella McCartney mengklaim bahwa mereka tidak pernah sekalipun membuang atau membakar produk yang tidak terjual, melainkan memperjuangkannya untuk dapat diadopsi lewat jalur penjualan belanja barang bekas, dan berinvestasi besar-besaran dalam teknologi berkelanjutan.

"Pada tahun 2023 perusahaan-perusahan fashion diwajibkan untuk menyumbang, memakai kembali atau mendaur ulang produk-produk yang tidak terjual."

Harus kita akui, kesadaran memang terus berkembang. Giorgio Armani SpA dan Versace misalnya, keduanya telah menghentikan penggunaan bahan kontroversial seperti fur. Prada SpA juga berniat membuat semua aksesori nilon ikonis dari bahan daur ulang termasuk limbah laut pada akhir 2021. Lalu Burberry Group juga tak ketinggalan berjanji untuk menghentikan penghancuran stok yang tidak terjual. Mengingat seperti yang kita ketahui pemusnahan koleksi yang tak terjual merupakan praktek umum di industri fashion yang selama ini dipegang kuat untuk menghindari beredarnya produk-produk mewah ini di tempat-tempat yang murah.

Pemerintah pun tak absen mendukung kebijakan positif ini dengan Perdana Menteri Prancis, Èdouard Philippe mengeluarkan larangan pembinasaan produk konsumen yang tidak terjual dengan nantinya, tepatnya pada tahun 2023 perusahaan diharuskan untuk menyumbang, memakai kembali atau mendaur ulang produk-produk yang tidak terjual.

Belum lagi aksi yang dilakukan oleh grup asal Spanyol, Inditex yang merupakan perusahaan terbesar ketiga di dunia yang merupakan perusahaan induk dari label-label fast fashion seperti Massimo Dutti, Zara, Zara Home, Bershka, Pull & Bear, Uterqüe, Oysho, dan Stradivarius.

Grup ini telah mendeklarasikan komitmen mereka untuk menggunakan 100 persen material kapas, linen, dan poliester sustainable, organik, atau yang telah didaur ulang pada tahun 2025. Jaringan tokonya pun akan disesuaikan dengan model yang lebih ramah lingkungan. Seperti contohnya tahun ini, pemakaian kantung plastik akan dihentikan secara bertahap. Dan ini telah dilakukan di Zara, Zara Home, Massimo Dutti, dan Uterqüe. 

Selain itu, mereka juga akan menyediakan container untuk membuang pakaian, sepatu, dan juga aksesori bekas yang nantinya akan disortir untuk didaur ulang, untuk amal atau digunakan kembali. Ini bertujuan agar pakaian tidak berakhir di tempat pembuangan sampah. 

"Begitu banyak janji, niat, dan target yang telah ditentukan sebelum coronavirus merajalela. Ketika eksistensi dunia fashion dipertanyakan pada saat ini, apa yang akan terjadi nanti setelah Covid-19 berlalu?"

(Di awal tahun 2021 kemarin, H&M telah resmi memperkenalkan koleksi sustainable pertamanya hasil kolaborasi dengan label denim Lee)
(Di awal tahun 2021 kemarin, H&M telah resmi memperkenalkan koleksi sustainable pertamanya hasil kolaborasi dengan label denim Lee)

H&M misalnya, yang merupakan salah satu pengecer mode terbesar, Inditex telah mengadakan perjanjian dengan universitas-universitas di seluruh dunia untuk meneliti bahan-bahan baru. Seperti diketahui, H&M juga berkomitmen menggunakan 100 persen bahan daur ulang pada tahun 2030. 

Begitu banyak janji, niat, dan target telah diproklamasikan sebelum pandemi coronavirus merajalela. Ketika eksistensi dunia fashion dipertanyakan di masa-masa sulit ini, lantas apa yang akan terjadi nanti setelah Covid-19 berlalu?

Karl-Hendrik Magnus selaku partner senior di McKinsey & Company untuk kawasan Frankfurt dan pemimpin Apparel, Fashion, and Luxury Group menyampaikan fakta bahwa sustainability sebetulnya telah disingkirkan dari agenda top eksekutif beberapa minggu ini karena perusahaan yang kuat pun saat ini sedang berjuang mempertahankan eksistensinya.

(Foto: Courtesy of Longchamp)
(Foto: Courtesy of Longchamp)

Sedangkan Brooke Roberts-Islam yang sempat berbincang dengan Francois Soucet yang adalah ketua Make Fashion Circular mengungkapkan bahwa ada kecenderungan terancamnya inisiatif dan investasi sustainability. Francois mengatakan bahwa perusahaan yang menggunakan sustainability sebagai alat pemasaran namun tak diterapkan secara integral dalam prosesnya cenderung akan terhambat merealisasikan janji-janjinya mengingat kelangsungan hidup sekarang menjadi prioritas utama beberapa perusahaan. Oleh sebab itu sangat sulit untuk meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Roda ekonomi industri fashion yang telah berputar terlalu cepat dan mendadak berhenti akibat Covid-19 tentunya mengakibatkan "shock". Tetapi di lain sisi ini merupakan kesempatan emas untuk mempercepat kembali pengaturan struktur rantai produksi, marketing, dan juga distribusi yang lebih efisien serta sustainable. Langkah ini merupakan optimisme baru industri fashion yang jauh lebih sustainable dan bertanggung jawab, suatu perjalanan yang tidak mudah namun dengan melangkah dan percaya dengan iktikad baik, maka tidak ada yang tak mungkin dan semua pasti dapat tercapai. 

Portofolio ini:
Fotografer: Hadi Cahyono
Editor Fashion: Michael Pondaag
Model: Katya-Merry Models
Wardrobe: Michael Kors
Hair & Makeup: Qiqi Franky
Assisten stylist: Michelle Othman
Retoucer: Veby Citra
Lokasi: Sritex, Sukoharjo Jawa Tengah

(Disadur oleh: Janice Mae; Foto: Gucci, Stella McCartney, H&M, Longchamp; Sumber: The Most Sustainable Companies in 2019 oleh Karsten Strauss, dari www.forbes.com; Why Luxury Fashion Is Walking the Runway in Recycled-Plastic Heels oleh Robert Williams, dari www.bloomberg.com;Social Sustainability, Overstock And ‘Greenwashing’ How COVID-19 Is Changing the Fashion Industry oleh Brooke Roberts-Islam, dari www.forbes.com)