Pameran tunggal Indyra yang berbicara tentang tubuh perempuan sebagai sumber inspirasinya.
Menjadi perempuan memang terkadang serba salah. Saat masih berkepala dua, raganya terekspos sebagai objek seks, mesin reproduksi, dan momok yang seringkali disalahkan seiring kemunculan hawa nafsu lawan jenisnya. Tapi ketika perempuan tadi sudah beranjak meninggalkan zona mudanya, makna pada kehidupannya justru seringkali dianggap musnah. Bahwa ia tak boleh punya harapan akan cinta, pekerjaan, atau bahkan kesempatan kedua. “Jadi, kapan sebetulnya perempuan pernah hidup dan menentukan sendiri apa arti dirinya?” curah Indyra, salah satu dari banyak pelukis perempuan lain yang mengkritik stereotype masyarakat tersebut.
Baginya, makna hidup seorang perempuan tak pernah berakhir pada fenomena paruh baya. Dan curahan hati inilah yang ia tuangkan pada bidang-bidang kanvas, sebelum akhirnya menggelar pameran tunggal bertajuk Mid Life di galeri Dia.lo.gueartspace Kemang Jakarta pekan ini. Figur perempuan, renta ataupun belia, bagi Indyra adalah sumber inspirasi yang luar biasa. Bahasa tubuh sang perempuan yang didapati pada lukisannya ialah refleksi sang seniman bahwa tulang rusuk Adam pun berhak memiliki instingnya sendiri, yakni naluri untuk terbebas dari tuntutan-tuntutan tak lazim ataupun dogma yang mempersoalkan krisis usia.
(Teks: Melur Pinilih; Foto: Dok. Dia.lo.gueartspace)