Tahun 2000 bisa dikatakan tahun bersejarah, tidak hanya bagi majalah Harper's Bazaar Indonesia, tapi juga bagi dunia mode Tanah Air. Harper's Bazaar Indonesia terbit pertama kali dalam cetakan edisi Juni 2000, dan merupakan majalah franchise fashion pertama di Indonesia.
Majalah ini diterbitkan oleh MRA Media, ketika itu di bawah pimpinan Dian M. Muljadi sebagai Editor in Chief, didampingi oleh Biyan Wanaatmadja sebagai Creative Consultant dan Jay Subyakto sebagai Photography & Artistic Consultant.
Walaupun mengusung pakem internasional berdasarkan arahan pusat penerbitannya di Amerika Serikat, isinya tetap menampilkan perkembangan mode dan kiprah desainer Indonesia, juga gaya hidup dan pergaulan sosial kelas atas di Jakarta.
Karenanya, di edisi-edisi awal Bazaar mengetengahkan nama-nama yang kiprahnya telah bergaung secara nasional maupun internasional. Strategi semacam ini merupakan upaya untuk mendekatkan diri kepada pembaca dan menyatukannya dengan visi dan misi majalah Harper's Bazaar Indonesia.
Setelah melalui proses pembuatan selama berbulan-bulan, edisi pertama Juni 2000 diluncurkan pada tanggal 31 Mei 2000 di The Dharmawangsa, Jakarta.
Malam peluncuran ini dihadiri oleh para pejabat Hearst Magazine International (induk majalah Harper's Bazaar) ketika itu, yaitu George J. Green, yang saat itu menjabat sebagai President of Hearst Magazine International, serta Jeanette Chang, Senior Vice President/International Publishing Director.
Turut hadir pula para relasi MRA Media, tokoh-tokoh bisnis retail dan fashion, desainer, makeup artist, dan tentunya para penggemar fashion yang disebut fashionista. Perlu diketahui, ketika itu Bazaar lah yang pertama kali memperkenalkan istilah fashionista dan sosialita kepada pembaca Tanah Air.
Di masa itu, seseorang yang mampu membeli produk fashion dari high-end brand adalah mereka yang benar-benar mengenal brand tersebut.
Mereka berasal dari golongan niche yang telah mampu memperoleh akses informasi dari seluruh dunia, bukan secara browsing dari internet, tapi dari majalah fashion internasional yang beredar di ibukota. Atau dari butik barang mewah yang jumlahnya terbatas, atau dari traveling, bepergian langsung ke negara-negara asal brand tersebut.
Edisi Juni 2000 sendiri menjadi model percontohan untuk garis besar tampilan isi Harper's Bazaar Indonesia yang saat itu menyorot berbagai gejala aktual, mulai dari website fashion yang mulai bermunculan, reportase couture, tren salon dan butik, hingga profil-profil yang sedang menjadi pembicaraan hangat.
Tagline New Voice, New Vision, New Generation diwujudkan dalam bentuk artikel-artikel yang smart dan kritis.
Kehadiran nama-nama desainer muda generasi baru yang berbakat berdampingan dengan para senior mereka yang masih terus berkarya. Contohnya Baron Manansang yang kain karyanya telah dijual di beberapa kota di luar negeri.
Menyusul desainer muda yang menjadi sorotan antara lain Eddy Betty, Ronald V. Gaghana, Sebastian Gunawan, dan Didi Budiardjo. Juga profil Rene Zecha sebagai salah tokoh wanita berpengaruh.
Dari jajaran supermodel, Nadya Hutagalung yang saat itu baru menikah tampil di halaman fashion spread. Juga model yang ikut meramaikan pentas dunia saat itu, seperti Mariana, Tracy Trinita, dan Izabel Jahja, serta Sari Nila sang fashion darling.
Sementara dari dunia kreatif, nama-nama arsitek muda seperti Yori Antar dan Andra Matin dibahas dengan cukup komprehensif. Sampai kepada para bintang muda yang sedang berjaya dengan ekspresi fashion mereka, menjadi sebuah penyajian informasi menarik sekaligus menghibur.
Salah satu bagian penting dari majalah Bazaar di tahun perdana ini adalah kehadiran kolom Diary Indra yang ditulis oleh alm. Indra Safera di edisi Oktober 2000, yang merupakan adaptasi dari cerita pergaulan penulis Melissa Ceria di Harper's Bazaar US.
Kolom yang belum pernah ada di majalah lokal manapun saat itu menjadi wadah untuk menampilkan event menarik dan wajah para pelaku gaya hidup yang tampil gaya serta memiliki personal style.
Seketika kolom ini menjadi salah satu rubrik yang paling diminati. Orang-orang yang ditampilkan dipilih sendiri oleh alm. Indra Safera, karena ia kerap diundang ke berbagai pesta orang-orang terpandang ibukota, para crème de la crème.
Ia menjadi mata serta telinga yang baik dalam menangkap gosip-gosip yang beredar di kalangan tersebut, dan merangkumnya dalam bentuk opini pribadi yang memiliki unsur humor, kecerdasan, tanpa menyinggung atau menyerang individu tertentu.
Rubrik ini juga bahkan berhasil membangkitkan kepedulian terhadap fenomena penggunaan barang palsu.
Harper's Bazaar Indonesia di tahun pertama ini juga menjadi tolok ukur dalam pemilihan narasumber yang melewati seleksi cukup ketat. Mereka adalah orang-orang berprestasi yang bersih dari skandal atau gosip miring dan memiliki reputasi baik. Kriteria yang terus dipertahankan hingga kini.
Penulis : Muhammad Aziz & Febe R. S
(Foto: Dok. Bazaar)