Pax Vobiscum, Amor Vincit Omnia atau Ora Pro Nobis, tajuk-tajuk berbahasa latin ini seolah memberikan sebuah bobot yang enigmatik dan puitis untuk lukisan-lukisan karya Tara Kasenda, seorang pelukis wanita Indonesia yang saat ini bermukim dan berkarier di Paris. Dalam sebuah pameran solo dari koleksi teranyarnya bertajuk Superlight di Galerie Virginie Louvet, sebuah galeri seni yang juga menjadi tempat penyelenggaraan pameran pertamanya di tahun 2021 lalu.
BACA JUGA: Delegasi Indonesia Hadir di Cannes Film Festival 2023
Dalam pameran ini, Tara Kasenda memberi sebuah visi yang lebih mendalam dan lebih meditatif, setelah pameran pertamanya berupa lukisan langit yang bertajuk nama-nama jalan di Paris. Superlight mempersembahkan lukisan-lukisan cat minyak dalam berbagai format kotak pesegi, baik berupa diptik, triptik, mirrored, dan juga sebuah lukisan dalam format bulat yang tergantung dalam ruang galeri berwarna abu-abu pucat. Lukisan-lukisan langit yang "blur" tanpa kontras yang agresif dengan dominasi warna-warna pastel dan menjanjikan sebuah harmoni warna dan kenyamanan yang lembut.
Dalam sebuah percakapan dengan pemilik galeri seni, Virginie Louvet, mengenai pameran ini ia mengatakan, “Saat pandemi saya berjumpa dengan Tara dan saya terpesona melihat karya-karyanya dengan sensibilitas dan spiritual ditambah teknik yang matang walaupun ia masih muda,” kemudian ia melanjutkan “Pameran pertama yang kami lakukan adalah september 2021 yang berhasil dan kita lanjutkan untuk pameran Superlight tahun ini.”
Pemilik galeri juga mengatakan bahwa ia menyukai karya Tara yang kontemporer dan memiliki hubungan erat dengan karya-karya impresionis Prancis terutama Eugène Boudin yang melukis langit. Ia pun menambahkan kekagumannya pada Tara, “Saya melihat sebuah esensi antara karya Tara dengan tradisi melukis Prancis terutama lukisan tentang langit.”
Salah satu karya yang disukai oleh Virginie dari koleksi ini adalah sebuah lukisan dengan format diptik yang memiliki ukuran 130 x 162 cm x 2. Lukisan dibuat spesial di dalam galeri, ia juga menjelaskan saat galeri tutup setiap tahunnya di bulan Agustus dan Tara memanfaatkannya untuk membuat lukisan yang besar dengan mengambil terangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam galeri ini.
Menurut Virginie dengan pencahayaan musim panas di Paris, lukisan Tara mengarah kedalam sebuah abstraksi yang terlepas dari realis. Ini adalah pertama kalinya ia bekerja sama dengan seniman Indonesia dan ia mengatakan, “Pilihan saya untuk bekerja sama dengan Tara adalah pilihan yang tulus, karena saya mempunyai sebuah feeling untuk karyanya.”
Untuk mengenal lebih jauh siapa Tara Kasenda, seputar dengan teknik dan pendekatan lukis dengan menangkap cahaya. Inilah cuplikan interview yang dilakukan di teras café Parisien dibawah matahari musim semi Paris.
Harper's Bazaar Indonesia (HBI): Siapakah Tara Kasenda?
Tara Kasenda (TK): Saya adalah seorang wanita dari Jakarta yang suka melukis dan menjadikannya sebagai profesi dan sekarang berkarier di Paris. Saya dikelilingi oleh keluarga yang menyukai seni dan bergerak di bidang kreatif, seperti landscaping, fashion designer dan arsitek. Sejak kecil saya sudah suka melukis, dimulai saat berumur 8 tahun dan mendapatkan kesempatan untuk les secara privat dengan seniman wanita pertama di sekolah lukis Jogja ASRI (sekarang ISI) yaitu, ibu Roeljati yang saat ini sudah berumur sekitar 94 tahun. Ibu Roeljati mempunyai cara mengajar yang unik, tidak seperti di sanggar. Ia tidak mengajar secara teknis saja, tetapi ia membawa berbagai buku tentang seni. Ia sangat tertarik dengan fauvisme dan impresionisme dan seniman favoritnya adalah Georgia O' Keefe.
Ia meminta untuk meniru lukisan-lukisan dari buku-buku sejarah seni yang saya suka dan melukis sesuai dengan keinginan saya. Sejak saat itu saya lebih aware mengenai keberadaan seorang seniman meskipun, saat itu saya tidak mengerti apa itu menjadi seorang seniman. Saya masih suka melukis sampai remaja, dan akhirnya memutuskan untuk memasuki sekolah lukis ITB dan mengambil jurusan seni murni karena memiliki prospek dapat menjadi seorang pelukis. Pertama kali saya membuat pameran saat masih kuliah dan saya mendapat kesempatan untuk ikut pameran di ARTJOG. Kemudian mulai dari situ saya ikut berbagai pameran, hanya saja saat itu saya belum mengerti tentang sisi bisnis juga marketingnya.
Setelah 8 tahun tinggal di Bandung dan saya fokus idealis dengan karya saya melalui medium silikon yang saat itu susah sekali untuk dijual. Saya mulai kehabisan akal untuk menghidupi diri, saat itu saya mengakui jika karya saya kurang kuat, hanya segi warna yang sudah matang. Kemudian untuk perjuangan dan pengalaman dalam hidup, saya kembali ke Jakarta dan saya sempat bekerja sebagai seorang creative director di Jakarta. Hanya saja panggilan untuk berkarya sangat kuat dan saya membutuhkan berbagai saran dari berbagai akademisi untuk masa depan saya sebagai seniman.
Sampai akhirnya saya menyadari bahwa saya siap untuk re-booth. Saya memutuskan untuk sekolah lagi dan mengambil master dengan memilih Paris sebagai destinasi, karena kesukaan saya dengan kota ini dan yang utama karena di sekolah Paris College of Art dengan fokus Master of Art in Transdisciplinary New Media, ada program khusus dimana setiap peserta dari berbagai latar belakang dapat bergabung dan berkolaborasi secara intim. Program ini cocok untuk saya karena saya juga ingin mengenal dunia media. Akhirnya saya diterima dan mendapat beasiswa juga.
HBI: Tentang berkarya di Paris?
TK: Sekarang saya sangat menyukai Paris karena karya saya dapat dipahami, berbeda dengan di Indonesia. Meskipun saya sudah mengikuti pameran tetapi saya merasa bahwa orang-orang terlalu skeptis, banyak saran yang saya terima agar karya saya tidak terlalu kebarat-baratan ataupun menganjurkan untuk memasukan unsur-unsur Asia ataupun pertanyaan kenapa saya memakai banyak warna pastel. Sedangkan ketika saya di Paris, saya menerima kritik yang konstruktif perpaduan subjek langit dan juga warna lembut merupakan sebuah kultur dan banyak ditemui di karya-karya orang Prancis. Lalu, yang utama adalah orang-orang tidak melihat latar belakang saya atau kebangsaan saya.
HBI: Tentang subjek melukis langit?
TK: Cita-cita saya dari dulu ingin melukis karya abstrak walaupun sedari kecil hingga di ITB, saya membuat karya yang hyper realist. Tapi sebenarnya cita cita visual ini belum terlaksana karena saya belum punya konsep yang jelas. Hingga akhirnya, saat berada di Paris saya menemukan subjek yaitu langit. Menjadi benchmark yang cukup kuat dan saya bisa kembangkan sesuai dengan keinginan. Terlebih, saya mencinta warna pastel dan langit mempunyai spektrum ini. Saya sudah 2 tahun bekerja dengan subjek langit ini dan saya ingin mencapai sesuatu yang lebih.
HBI: Tentang koleksi Superlight?
TK: Langit menjadi penuntun saya untuk menciptakan karya, dengan detail, lack of saturation dan warna yang berkurang, menjadi sebuah "superlight" yang lebih spiritual dan saya merasa ini seperti pencapaian dalam teori piramida Maslow.
Judul Superlight menjadi pilihan saya karena merupakan sebuah judul yang sedehana. Menurut saya, jika kita berhadapan dengan sebuah visual dan warna yang tidak terlalu berisik, memberi sebuah ruang dan mengosongkan pikiran juga memberi ketenangan, memberi space to breathe. Karya ini saya kerjakan dengan serius dan saya diskusikan dengan kurator saya, tapi yang terpenting adalah hasil akhirnya. Saya berharap bagaimana perasaan orang-orang di hadapan karya ini dan saya berharap orang-orang dapat merasakan hal apa yang saya tuangkan dalam lukisan ini.
HBI: Mengapa memilih cat galeri menjadi wana abu-abu pucat?
TK: Lukisan saya mempunyai warna yang muda hampir putih, jadi dengan memberi sebuah nuansa yang kontras, yang kemudian membuat saya mencat galeri pameran ini dengan pemilihan warna saya gelapkan sedikit dan memilih abu-abu.
HBI: Bagaimana dengan teknik lukis langit ini?
TK: Satu lukisan tercepat yang saya buat membutuhkan waktu 2 minggu, beberapa lukisan bahkan ada yang sebulan seperti dyptik atau mirrored, yang cukup susah dilukis karena harus identik. Awalnya ketika memulai karya saya mengenai langit, saya membutuhkan waktu yang lebih lama karena berdasarkan dari hyper realistic dan sekarang menjadi blur, bukan sesuatu yang mudah.
Teknik awal saya adalah melukis realis, jadi ada foto yang saya harus contoh kemudian saya transformasikan menjadi sebuah lukisan. Saat ini, saya sudah mempunyai imajinasi gambar yang saya mau buat, melalui koleksi foto langit dan sejak saya pindah ke Prancis sudah mencapai ribuan foto. Saya memilih foto langit yang saya sukai, lalu dengan photoshop saya membuat komposisi dan digital palet kemudian di kanvas saya berikan nomor sesuai warna yang saya mau. Kemudian saya lukis dengan cat minyak memakai teknik tradisional dan terus terang, ada beberapa lukisan dimana bentuknya saya buat sengaja terlihat sempurna seolah-olah ini adalah sebuah lukisan yang dibuat secara digital.
HBI: Mengapa dibuat sengaja seperti sebuah lukisan digital?
TK: Ini semua merupakan sebuah refleksi hidup saat ini, dimana kita tidak bisa terpisah dengan digital work dan blur merupakan super present. Misalnya saat kita membuka smartphone pasti dihadapkan dengan layarnya blur dan seterusnya. Selain itu saya sekolah media selama di Prancis, saya ingin membuat video projeksi tapi sebenarnya my heart and my roots in painting, sebuah paradox dari dua elemen yang hingga saat ini saya pertahankan.
HBI: Kenapa memilih tajuk-tajuk latin?
TK: Saya suka jalan jalan untuk mengunjungi gereja dengan suasana sangat indah dan tenang. Saya menemukan berbagai bahasa latin yang super puitis yang berbobot spiritual dan ini bahasa kuno dan sebuah bahasa pengetahuan untuk semua orang. Seperti, Amor vincit Omnia bagi saya merupakan lukisan dengan sebuah cinta yang lebih vertikal dan universal.
HBI: Bagaimana tentang kegiatan melukis di Paris ?
TK: Melukis adalah sebuah ritual yang tenang dan disiplin. Saya tidak menunggu inspirasi, semua terjadwal untuk melukis, saya sudah menandakan di kalender, misalnya hari ini melukis, besok cuci kuas dan seterusnya. Jika musim dingin, karena tidak ada matahari jadi saya harus memulai dari jam 9 atau 10 pagi hingga sebelum 4 atau 5 sore. Karena matahari cepat menghilang, at least saya sudah cukup bergerak cepat untuk membuat layer atau warna tercampur semua.
Di musim panas, saya bisa lebih fleksibel dan berkarya dengan lebih cepat karena banyak sinar matahari. Karena apartemen saya seperti lorong, hanya ada satu sumber cahaya natural yaitu jendela jadi saya harus merapat dekat jendela untuk melukis dan mendapat sinar natural. Melukis tidaklah mudah, selain emosional juga fisik, karena kadang membutuhkan sebuah endurance, seperti 10 jam berkarya tanpa henti. Bagi saya ini merupakan sebuah karir dan apa yang saya percaya dan bukan sebagai terapi.
HBI: Jika disebut sebagai pelukis yang terobsesi dengan cahaya dan warna ?
TK: Saya terobsesi oleh warna dan cahaya walaupun prioritas saya adalah warna karena saya memakai medium cat minyak dengan pigmen yang merupakan dasar dari karya saya, bisa dikatakan kalau pigmen adalah hidup saya.
HBI: Siapa yang menjadi pelukis favorit?
TK: Pelukis favorit saya adalah Monet dan juga Cy Twombly terutama untuk purity dan karyanya dengan warna yang mencengangkan.
Pameran Tara Kasenda dapat Anda lihat di Galerie Virginie Louvet, mulai dari tanggal 27 April sampai 3 Juni 2023.
BACA JUGA:
The Chedi Hegra: Hotel Pertama yang Dibangun di Situs Warisan Dunia UNESCO Arab Saudi
SukkhaCitta Menjadi Salah Satu Awardee di Cartier Women’s Initiative 2023
(Teks & Foto: Rizal Lim)