Gulungan Kuno Bali Diwarnai Feminisme Karya Citra Sasmita

Citra Sasmita, seniman yang berani mendobrak tradisi, menghidupkan kembali lukisan Kamasan dengan sentuhan feminisme yang kuat.

Fotografi oleh Marco Cappelletti. Courtesy of the artist dan Diriyah Biennale, Riyadh Saudi Arabia.


Dalam dunia seni rupa kontemporer, Citra Sasmita, seorang seniman kelahiran dan berbasis di Bali, telah muncul sebagai sosok yang berani menantang dan mengubah lanskap seni tradisional Bali. Dengan fokus mendalam pada sejarah budaya pulau dewata, termasuk pengalaman kolonial, eksotisme tropis, dan marginalisasi seni Bali, Citra menghadirkan kritik dan transformasi melalui karya-karyanya yang beragam, mulai dari lukisan hingga instalasi. Ia memadukan kosmologi Jawa dan Bali dengan perspektif feminis, memberikan suara dan kehadiran bagi perempuan dalam narasi seni.

BACA JUGA: Ide Citra Sasmita Tentang Aktivitas Anak Terkait Art: Buat Ruang Seni Anak Virtual

Fotografi oleh Gus Agung/Niskala Studio. Courtesy of the artist.

Courtesy of the artist dan Sao Paulo Biennale, Brazil.

Salah satu karya Citra yang paling menonjol adalah seri "Timur Merah" yang terus berkembang sejak 2019. Seri ini menggali ikonografi heteropatriarki dalam lukisan gulungan Kamasan, sebuah tradisi seni yang berasal dari abad ke-15 di desa Kamasan, Bali. Lukisan-lukisan ini, yang biasanya menghiasi altar keluarga dan pura, menggambarkan kisah-kisah heroik dan mulia dari tokoh-tokoh pria. Citra melihat adanya ketidakseimbangan dalam representasi gender dalam lukisan-lukisan ini, di mana perempuan sering kali hanya digambarkan dalam kaitannya dengan fungsi reproduksi dan seksualitas, atau sebagai sosok mengerikan jika mereka digambarkan sebagai sosok yang kuat.

"Timur Merah" hadir sebagai upaya Citra untuk mengoreksi ketidakseimbangan ini. Dalam gulungan-gulungan lukisnya, ia menampilkan sosok-sosok perempuan berambut hitam, baik yang biasa maupun mistis, yang berwujud maupun yang hadir sebagai roh, yang mewakili elemen-elemen alam, beberapa terbakar api, yang lain berlumuran darah. Karya ini menjadi sebuah pernyataan tegas tentang pentingnya perspektif feminis dalam seni dan budaya Bali.

Fotografi oleh artist. Courtesy of the artist dan Biennale Jogja 2019.

"Timur Merah" pertama kali dipresentasikan di Biennale Jogja pada tahun 2019 dengan judul "Timur Merah Project I:Embrace of My Motherland". Karya ini terdiri dari lima lukisan gulungan vertikal, instalasi lantai berupa teks yang ditulis dengan kunyit, dan kantong-kantong rempah yang terbuat dari tekstil Kamasan bekas yang Citra temukan di kios-kios seni turis. Karya ini merujuk pada narasi kosmologis Nusantara dan silsilah kerajaan Jawa, menampilkan kumpulan sosok perempuan, beberapa dengan aura kuning elektrik, beberapa lainnya diselimuti api.

Courtesy of the artist dan Thailand Biennale, Chiang Rai.

Judul "Timur Merah", yang secara harfiah berarti Timur berwarna merah, memiliki makna simbolis yang dalam. Merah melambangkan darah dan api, dua elemen penting dalam ritual budaya Bali. Darah mewakili pengorbanan dan penghormatan kepada leluhur, sedangkan api melambangkan penyucian. Bagi Sasmita, "Timur Merah" adalah sebuah cara untuk merekonsiliasi tradisi dengan kontemporer, seperti halnya ritual-ritual yang menjadi performa rekonsiliasi dengan masa lalu.

Sejak Biennale Jogja, karya Citra semakin dikenal di panggung internasional. Ia telah memamerkan karyanya di berbagai acara bergengsi, termasuk Thailand Biennale, Biennale of Sydney, dan Diriyah Biennale. Pada tahun 2017, Citra Sasmita juga menerima penghargaan Gold Award di UOB Painting of the Year. Pada Januari 2025, ia akan menggelar pameran tunggal pertamanya di Inggris di The Curve gallery, Barbican Centre, London.

Courtesy of the artist dan Sao Paulo Biennale, Brazil (replika gambar patung Belanda di museum Kerthagosa Bali)

Dalam iterasi terbaru "Timur Merah" di Bienal de São Paulo, berjudul "Timur Merah Project IX: Beyond the Realm of the Senses" (2023), Sasmita menambahkan elemen patung pada gulungan-gulungannya yang tergantung. Karya ini dipresentasikan bersama replika berlapis emas dari sebuah patung yang ditemukan di museum Kertha Gosa di Bali. Museum ini dibangun di atas reruntuhan Istana Kerajaan Klungkung, di mana patung-patung Belanda ini dipasang berdampingan dengan motif-motif patung suci dari Gerbang Suci pura keluarga kerajaan.

Penambahan elemen patung ini menjadi sebuah komentar Sasmita tentang perubahan lanskap budaya di Bali. Ia melihat adanya paralel antara peristiwa sejarah di mana patung-patung dewa-dewi Hindu digantikan oleh figur-figur sekuler yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan situasi saat ini di mana pemerintah ingin merenovasi pura-pura tua di Bali untuk kepentingan pariwisata.

Melalui berbagai iterasinya, "Timur Merah" telah menjadi sarana bagi Sasmita untuk menempatkan dirinya - seorang perempuan Bali tradisional yang menciptakan seni kontemporer - dalam tradisi panjang kritik dan pembaruan feminis dalam seni. Ia membayangkan proyek ini sebagai sebuah pohon yang terus tumbuh, dengan akar berupa kisah tentang neraka. Sasmita berkomitmen untuk terus mengembangkan "Timur Merah", menggali lebih dalam kompleksitas warisan budaya dan melihat dirinya dalam dunia yang terus berubah.

Fotografi oleh Marco Cappelletti. Courtesy of the artist dan Diriyah Biennale, Riyadh Saudi Arabia.

Citra Sasmita adalah seorang seniman yang berani dan visioner, yang melalui karyanya telah berhasil menjembatani tradisi dan kontemporer, lokal dan global, serta maskulin dan feminin. "Timur Merah"adalah sebuah bukti nyata dari dedikasinya untuk menggali potensi seni dan budaya Bali, serta memberikan suara bagi perempuan dalam narasi seni yang selama ini didominasi oleh perspektif patriarki.

BACA JUGA:
Pameran Seni Redraw III: Ugahari di Edwin’s Gallery
4 Sosok Pelukis Wanita Indonesia dan Karyanya

(Penulis: Matthew De Jano; Foto: Courtesy of the artist)