Menerima diri (yang termasuk bentuk tubuh dan segala ketidaksempurnaan yang ada dalam diri) memang sepertinya lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi dengan adanya standar kecantikan yang "memaksa" orang untuk tampil sesuai dengan apa yang yang ditetapkan oleh orang-orang membuat kita dengan mudah merasa tidak percaya diri dengan penampilan kita.
Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini Dave dalam seri Brunch with Dave Hendrik mengundang sosok Ucita Pohan untuk dapat berbincang-bincang seputar perjalanannya menuju penerimaan diri termasuk menerima bentuk tubuhnya yang dikategorikan oleh orang-orang memiliki ukuran tubuh yang berbeda dengan standar kecantikan yang ada di masyarakat umum.
Kebetulan Ucita juga turut ambil bagian berkontribusi dalam sebuah artikel di majalah Harper’s Bazaar Indonesia edisi September 2020.
“Aku ingin langsung membahas tentang body positivity bersama Ucita Pohan karena menurut aku Ucita ini termasuk orang yang sangat terbuka apa adanya, aku ingin tahu dong bagaimana journey penerimaan kamu, your body positivity tuh seperti apa?” tanya Dave.
“Journey-nya panjang sekali kak Dave, karena kalau misalnya diingat dari lahir, bayi mungkin sudah 3,6 kilogram kali ya? Tapi aku selalu menjadi anak perempuan yang tebal ya yang chubby-chubby gitu. Dan journey kalau bicarabody, outer body atau physical body itu panjang sekali karena dari kecil kan baca majalah, nonton TV, lihat film itu semuanya menggambarkan ideal body yang kurang lebih mirip-mirip. Which itu bukan aku. Maksudnya bukan definisi aku, jadi perjalanannya mungkin dimulai sejak kecil banget karena even dari kecil aku saja sudah merasa sedikit berbeda dengan yang lain, dengan anak-anak seumur aku. Apalagi waktu kecil itu kan ukuran baju anak-anak ditentukannya sama umur kan. Jadi umur 0-6 bulan, umur 1-4 tahun, aku jarang sekali memakai baju yang seumur aku, jadi aku merasanya seperti ‘umur aku segini, tapi aku harus pakai baju yang lebih dewasa’. Selalu ada pemikiran seperti itu sampai akhirnya aku menjadi orang yang concern dengan tubuh aku waktu masa mudanya. Waktu kita concern dengan tubuh kita, kita pasti banyak explore, banyak cari tahu, banyak mempertanyakan. Mungkin itu akhirnya yang membawa aku sampai ke sini sekarang. Jadi karena kau banyak explore, mencari tahu banyak informasi-informasi dan pandangan tentang tubuh, tentang body, jadinya referensinya makin lebar, makin banyak dan akhirnya menemukan kenyamanan seiring dengan informasi yang aku dapatkan dan pelajari terus,” bagi Ucit.
Mendengar kisah perjalanan Ucit sedari belia hingga sekarang, Dave pun bertanya,“Berarti it is safe to say bahwa saat ini Uci di titik ini dalam hidup, you are happy with the way you are?”
Tanpa keraguan Ucita Pohan pun menjawab dengan bangga, “Yes!”
“Ada pemicunya tidak Ucit dari perjalanan panjang itu?” Dave kembali bertanya.
“Kalau misalnya titiknya atau turning point-nya, sepertinya ada beberapa part. Cuma pada saat aku mulai remaja, aku baca majalah-majalah remaja, majalah-majalah dari luar and then di situlah aku mulai melihat bahwa pandangan-pandangan yang diberikan sama mereka itu pandangan yang berbeda sama yang selama ini aku tahu saat kecil di Indonesia. Di situ aku melihat mereka itu amat sangat open dengan berbagai jenis bentuk tubuh karena kan kalau misalnya barat ada yang darker skin, ada yang rambutnya keriting sekali, lalu ada yang lighter skin yang benar-benar pucat, rambutnya juga pucat, nah di situ aku mulai melihat ada keberagaman itu dan aku merasa ‘oh, ternyata di dunia ini memang sebenarnya tidak semuanya seragam’ namun selama ini aku tahunya yang namanya orang Indonesia itu mirip bentukannya. Jadi aku pikir aku beda sendiri, tapi ternyata tidak. Itu sih salah satu turning point yang aku berasa,” ungkap Ucit pada Dave.
(Foto: Courtesy of Instagram @uchiet)
Selain itu, Ucit juga menambahkan, “Kalau tentang body positivity, awalnya aku berpikir bahwa body positivity itu kalau kita berbicara tentang outer body, itu adalah keberagaman itu harus kita terima dahulu, kita itu tipenya seperti apa, dan setelah kita terima, kita syukuri, kita rawat tubuh kita ini dengan cara yang nyaman. Awalnya aku berpikir body positivity itu sampai di situ saja, tapi ternyata setelah aku baca buku Beyond Beautiful, di buku ini dijelaskan bahwa body positivity itu bukan selalu di titik glorifying, embracing itu sudah pasti, tapi kalau terus-terusan hanya ingin lihat sisi baiknya saja, it’s not the real positivity. Jadi the real positivity adalah menerima dua sisinya, bahwa ada negatif dan positifnya dan berdamai dengan dua hal tersebut. Jadi lebih bisa menemukan titik netralnya,” jelas Ucit.
“Aku juga mau tanya dong Cit, apa di kondisi saat ini kamu sudah berdamai dengan keadaan badan? Sudah tidak mengejar lagi kurus, sudah tidak lagi mengejar langsing? Karena itu kan sepertinya cita-cita semua perempuan ya, semua ingin kurus,” Dave kembali bertanya
“Kalau langsing saat ini bukan untuk tampilan tapi untuk kesehatan. Jadi yang saat ini aku kejar keseimbangan diri kak Dave. Aku ingin melihat bagaimana keseimbangan yang bisa aku lakukan untuk tubuh aku sekarang ini. Jadi sekarang yang aku coba adalah to recenter myself dengan my body karena sekarang berusaha untuk memahami keseimbangan itu. Lebih kepada aku sekarang sadar you are atau we are not just our body, but also our beautiful mind and beautiful soul, dan hal itu mind, body, dan soul yang sebenarnya sebaiknya kita jadikan satu, kita selaraskan agar kita bisa benar-benar memaknai dan mejalani apa yang ada di hidup ini,” tutup Ucit.
Nantikan berbincangan lengkap Dave Hendrik bersama Ucita Pohan di seri Brunch With Dave Hendrik yang akan tayang di kanal YouTube Harper's Bazaar Indonesia segera!
(Foto: Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia, Instagram @uchiet)