Pulau Sumba terletak di Nusa Tenggara Timur, di antara Kepulauan Komodo dan Pulau Sumbawa. Selain menyuguhkan destinasi wisata yang memukau, Sumba juga menyimpan banyak cerita dan tradisi yang sangat dijunjung tinggi. Tidak sedikit pula orang-orang yang mampu melihat potensi yang dimiliki Sumba dan memanfaatkannya untuk kemajuan bersama. Dan di sini, kami akan menyampaikannya kepada Anda, mulai dari destinasi yang menghipnotis, kain tenunnya yang populer, hingga bentuk cinta orang-orang kepada Sumba.
Alam Sumba yang Memesona
Kecantikan bentang alamnya yang khas adalah daya tarik tersendiri yang dimiliki Sumba. Mulai dari hamparan savana, perbukitan, hingga lautan biru siap memanjakan mata siapa saja yang datang ke sana. Destinasi-destinasi terindah Indonesia pun ada yang berasal dari tanah Sumba, sebut saja seperti Pantai Walakiri yang terkenal dengan siluet pohon mangrove "menari" berlatar gradasi cahaya senja saat matahari tenggelam atau Bukit Warinding yang menawarkan barisan savana menawan. Deretan kata-kata indah pun rasanya belum bisa menggambarkan secara akurat apa yang dirasakan oleh orang-orang saat mereka berada di Sumba.
Keistimewaan Sumba tidak luput dari tangkapan lensa Nicoline Patricia Malina saat ia berkunjung ke sana beberapa waktu silam dalam rangka proyek fotografi pribadi untuk menunjukkan keindahan pulau ini. Meskipun akses menuju lokasi bisa dikatakan tidak gampang karena kebanyakan area ditemukan secara tidak sengaja oleh anak-anak kecil penduduk lokal ketika mereka bermain atau menjelajahi alam Sumba, baginya, "Tiada medium yang dapat menangkap indahnya lanskap itu, contohnya air terjun Waimarang. Pulau ini mengingatkan saya akan Bali era '80-an, semuanya masih terasa alami."
Demikian pula dengan Chitra Subyakto, sang desainer label Sejauh Mata Memandang. Uniknya, nama label yang ia populerkan tersebut ia sampaikan secara harafiah untuk mendeskripsikan Pulau Sumba. Ceritanya diawali ketika ia menjadi bekerja sebagai pengarah kostum di film produksi Mira Lesmana dan Riri Riza yang berjudul Pendekar Tongkat Emas, di mana salah satu lokasinya adalah Bukit Warinding. Ia terpukau dengan lanskap padang savana yang eksotis dengan kontur perbukitan yang berlapis-lapis.
Rumah tradisional yang sarat makna
Rumah dalam bahasa Sumba disebut sebagai uma, diartikan sebagai tempat kehidupan yang memiliki filosofi dan banyak makna. "Karena itu, rumah adat atau rumah tradisional Sumba harus dibangun oleh masyarakatnya sendiri. Di sana ada makna gotong royong, penyembahan kepada yang maha kuasa, dan siklus kehidupan. Usia bangunan dan kekuatannya untuk ditinggali juga menandai satu generasi," kata Yori Antar yang dijuluki sebagai Pendekar Arsitektur Nusantara. Untuk Sumba, ia sudah berhasil membantu membangun kembali hingga 170 rumah adat di sana lewat proyek Rumah Asuh.
Citra Sumba memang juga tak lepas dari keberadaan rumah-rumah adat, atau uma mbatangu, yang memiliki ciri khas berupa atap tinggi menjulang seperti menara. Seperti yang ada di Ratenggaro, salah satu ikon destinasi Sumba yang masih kental dengan tradisinya. Di bawah bagian yang menjulang itu ada empat tiang utama yang tidak hanya digunakan sebagai penyangga, namun juga menyimpan filosofi bangunan adat Sumba. Sebagai suku yang memiliki akar budaya animisme, orang Sumba menempatkan simbol pemujaan terhadap roh-roh leluhur di dalam rumah mereka dan pada keempat tiang utama itulah mereka meletakkannya. Meskipun sekarang mereka sudah menjadi pemeluk agama, nilai bangunan adat tersebut masih diterapkan.
Yori kemudian menjelaskan bahwa atas alasan itulah rumah tradisional Sumba harus dibangun oleh masyarakatnya sendiri karena ada nilai-nilai yang mereka junjung. "Bahkan ketika menyiapkan materialnya pun mereka 'berbicara' dengan alam dan meminta izin leluhur. Juga supaya ada recalling memory, membuat mereka tetap ingat bagaimana caranya membangun rumah itu. Karena, bahkan kontraktor luar yang paling andal sekalipun tidak akan bisa membangunnya dengan benar," ceritanya.
Terkenal dengan Tenun Ikatnya
Daya tarik Sumba lainnya ada pada kerajinan tenun ikatnya. Bukan sekadar tenun biasa, tenun ikat Sumba juga mengandung nilai-nilai spiritual yang sakral. Setiap motif yang ditenun oleh tangan-tangan wanita Sumba memiliki maknanya sendiri, misalnya motif kuda dengan makna kepahlawanan dan kebangsawanan yang sejajar dengan nenek moyang orang Sumba, motif ayam yang memiliki arti kekuatan dan kehidupan wanita, serta motif burung kakaktua yang menyimbolkan persatuan. Proses pembuatannya pun tidak mudah, biasanya membutuhkan waktu hingga satu tahun untuk menghasilkan satu kain tenun yang cantik.
Selain sebagai potensi budaya, tenun ikat juga menjadi sumber inspirasi bagi dunia seni dan desain. Tenun ikat Sumba kini semakin populer dan disenangi oleh para pencinta fashion. Thanks to designers, sebab mereka berperan mengangkat kain Sumba dan menjadikannya sebagai bahan utama desain koleksinya. Salah satunya adalah Biyan Wanaatmadja yang pernah berkolaborasi dengan para penenun binaan Bank Indonesia dalam menghasilkan koleksi fashion berkelas. Pada tahun 2017 lalu, sang desainer tersebut memamerkan karyanya lewat gelaran show tunggal bertajuk Humba Hammu yang dalam bahasa Sumba berarti beautiful Sumba. Ia merefleksikan rasa cinta dan kekagumannya terhadap warisan budayanya. Sulaman kerang, ornamen batu, hingga detail berpola tribal mewarnai jenis tenun tradisional itu, seperti kain pahikung dan kain hinggi.
Cinta Untuk Sumba
Di balik kekayaan alam dan tradisi Sumba yang memukau setiap mata wisatawan, ada perjuangan yang harus dilalui oleh masyarakatnya demi bertahan hidup. Di bawah panorama yang cantik, Sumba memiliki kondisi geografis dengan tanah yang kering, sehingga sumber air sulit ditemukan. Orang-orang Sumba bahkan harus berjalan berkilo-kilo meter demi mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Tidak sedikit yang akhirnya saling bergotong royong untuk terus memberikan bantuan berupa donasi untuk mengupayakan keberadaan air bersih di tanah Sumba. Salah satu yang pernah ada adalah Waterhouse Project yang dijalankan oleh organisasi non profit Yayasan Waterhouse Indonesia inisiasi Thanya Ponggawa, Priska Ponggawa, Eunice Salim, dan Cindy Angelina. Pada tahun 2016, mereka bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) untuk proyek pertamanya di desa Napu, Sumba Timur. Di sini mereka menggunakan pompa bertenaga surya untuk mendorong air melewati kontur tanah yang naik turun. Air kemudian dialirkan dari sumbernya menuju pusat penampungan untuk disebarkan ke perkampungan. Setelah Napu, Waterhouse Project diteruskan di desa Pambuatanjara yang memanfaatkan tenaga dari arus sumber airnya untuk mengalirkan air ke penampungan dan Lainlajang yang menggunakan metode sumur bor. Thanya menyampaikan, "Tempat ini sangat indah, orang-orangnya baik dan tulus, serta sangat gotong royong. Kami sebenarnya hanya perlu mendatangkan beberapa tenaga ahli untuk membantu secara teknis, dan yang mengerjakan semuanya adalah masyarakatnya sendiri."
Perjuangan para persona di atas tentu patut kita apresiasi, namun yang lebih penting adalah kita sebaiknya bisa meneruskan langkah yang mereka telah lakukan demi menjaga pesona Pulau Sumba untuk kemajuan bersama. Eksotisme Sumba yang tergambar lewat tenunan tradisi, histori, dan anugerah kawasannya adalah poin vital yang harus dilestarikan sehingga dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang.
(Foto courtesy of Melvin Roberto & Nicoline Patricia Malina, Yori Antar, Davy Linggar for Biyan)