Menyebut nama Edward Hutabarat, bayangan akan rangkaian rancangan kontemporer yang mengangkat keindahan wastra nusantara tentu segera menyeruak di kepala. Bagaimana tidak? Desainer kelahiran Sumatra Utara yang akrab disapa Edo ini telah konsisten mengolah wastra nusantara selama lebih dari tiga dekade.
Tahun ini, bersama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation, Edo mempersembahkan sebuah perhelatan istimewa bertajuk Tangan-Tangan Renta yang terdiri atas pameran fotografi, video, instalasi fashion dan living, serta peragaan busana, yang terinspirasi dan menggunakan kain lurik sebagai materi utamanya.
Selama tujuh tahun terakhir ini pula, Edo mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk melestarikan lurik sebagai salah satu wastra kebanggaan Indonesia. Ia melakukan kunjungan ke sentra-sentra lurik di Klaten dan Yogyakarta, dan perjalanan ini pun membuahkan sekelumit cerita yang ingin ia bagikan ke khalayak ramai melalui rekaman visual (berupa video dan karya fotografi) yang kemudian dipamerkan di perhelatan Tangan-Tangan Renta ini.
Tak hanya itu saja, Edo juga dengan cermat mengolah lurik hasil karya para perajin yang mayoritas telah berusia senja--itulah mengapa pagelaran ini bertajuk Tangan-Tangan Renta. Dengan tangan dinginnya, Edo mengeksplorasi Lurik menjadi instalasi serta karya fashion dan living, yang terdiri atas busana siap pakai serta aksesori seperti tas, hingga pelengkap dekorasi interior.
"Setelah mendukung batik melalui pelestarian batik Kudus, kini kami berkolaborasi dengan Edward Hutabarat untuk mengangkat lurik sebagai salah satu wastra peradaban nusantara, demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar Klaten dan Yogyakarta. Saat ini perajin lurik didominasi warga lansia tanpa ada regenerasi yang baik. Semoga kolaborasi ini mampu membantu mempopulerkan wastra peradaban nusantara di kalangan generasi muda sehingga ada regenerasi untuk memastikan bahwa lurik akan terus lestari," tutur Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Perjalanan Edo untuk mengangkat berbagai wastra nusantara ke panggung gaya hidup menyuguhkan perspektif baru yang semakin komprehensif baginya dalam melihat lurik. Baginya, lurik bukanlah sekadar selembar kain biasa karena di setiap helai lurik tertera serangkaian cerita tentang manusia yang terabadikan bersama jalinan benang-benangnya.
Dalam perjalanannya menelusuri dan mendalami lurik, Edo pun menjalin pertemanan dengan R. Rahmad (85), pewaris perusahaan lurik tertua di Klaten yakni Sumber Sandang. Edo juga berkawan akrab dengan banyak perajin lurik senior di daerah Pedan, Cawas, Klaten, dan Yogyakarta.
Hasil eksplorasi Edo akan lurik pun terjewantahkan melalui rancangan bernuansa kontemporer dengan injeksi spirit jiwa muda yang kentara. Ia meramu lurik menjadi sebuah motif geometris, serta mengombinasikan lurik menjadi patchwork sehingga lurik terlihat lebih unik dan istimewa.
Inilah bentuk upaya nyata Edo untuk mendekatkan generasi muda pada kekayaan wastra nusantara. Karyanya tak hanya membangun awareness akan lurik saja, namun juga menumbuhkan kecintaan dan rasa bangga akan lurik. "Sudah saatnya tangan-tangan renta itu beristirahat bekerja dan diteruskan oleh tangan-tangan muda," ujar Edward Hutabarat di sebuah wawancara.
(Foto teaser: Harry Subastian. Foto runway: courtesy of Bakti Budaya Djarum Foundation)