Tidak mudah bagi seorang desainer menemukan DNA karyanya sendiri, berbagai proses yang panjang dilalui oleh desainer Ghea Panggabean hingga kemudian ia berhasil menemukan ciri khas dari label Ghea Fashion Studio miliknya.
Ghea begitulah nama panggilannya, dengan cepat berhasil melesatkan namanya akibat dari talentanya dalam mengadopsi kain tradisional jumputan Palembang dan grinsing Bali menjadi busana yang modern.
Di tangan Ghea Panggabean, item fashion seperti legging bermotif tradisional Indonesia, tunik yang melayang, hingga kebaya dengan cutting longgar bukanlah hal yang tak mungkin terjadi.
Melalui label Ghea Fashion Studio, Ghea memberikan kebebasan berekspresi dalam berbusana dengan menggunakan motif tradisional Indonesia. Kemajuan zaman yang pesat dibuktikan Ghea tak dapat menghalangi para wanita Indonesia untuk tampil dengan pakaian bermotif tradisional dengan cara yang modern.
"Ayah saya selalu mengingatkan bahwa saya ini berasal dari Indonesia dan karena itu saya harus selalu ingat tradisi negeri dan kembali ke akar," ujar Ghea Panggabean ketika mengenang masa kecilnya yang ia habiskan di benua Eropa kepada Bazaar.
Ghea Panggabean lahir di Rotterdam pada tahun 1955 dengan nama Ghea Sukarya. Kedua orang tuanya adalah pribadi yang sangat menghargai budaya dan seni, sehingga ia banyak menghabiskan masa kecilnya di Belanda dan Jerman dengan berkunjung ke museum dan membaca berbagai buku tentang kekayaan Indonesia.
Ketika beranjak remaja, Ghea kemudian memilih Lucie Clayton College of Dress Making dan Chelsea Academy of Fashion di kota London sebagai tempat dirinya mendalami studi fashion design.
Di tahun ketika ia mengenyam pendidikan, kota London pada saat itu sedang terpengaruh oleh gaya punk diiringi dengan mencuatnya nama desainer Vivienne Westwood. Namun, Ghea tetap tidak terpengaruh dengan tren di masa itu.
Baginya, aliran gaya hippies yang dianut para flower generation di era tahun '70-an lebih melekat di dalam dirinya. Gaya era '70-an yang ia cintai, kemudian tetap melekat di seorang Ghea Panggabean hingga detik ini.
Tidak hanya gaya berpakaian para hippies, musik-musik psychedelic yang digemari di tahun '70-an juga turut memengaruhi dirinya saat mendesain pakaian.
"Musik bukan hanya sekedar nostalgia belaka karena bisa dilihat juga bahwa gaya psychedelic memang menjadi benang merah yang kuat untuk semua busana yang saya buat," jelasnya.
Kain jumputan yang menjadi benang merah di rancangannya, awalnya ia temukan ketika sedang berbelanja di toko antik sekembalinya ke Indonesia. Di sana ia menemukan scarf yang terbuat dari kain jumputan yang kemudian terus ia gunakan di rancangannya sampai saat ini.
Kecintaannya terhadap kain jumputan yang ia gunakan terus menerus, bahkan ia salurkan dengan meluncurkan homeware yang berhiaskan motif kain jumputan.
Langkahnya dalam meluncurkan koleksi homeware berhiaskan motif kain jumputan kemudian dianggap sebagai salah satu revolusi tekstil tradisional yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
"Banyak yang bingung mengapa saya memilih untuk mengangkat kain yang kental budaya, tapi saya yakin bahwa kain ini juga bisa memiiki tampilan internasional. Desainer Kenzo sudah membuktikannya dan saya tidak mau kalah," ungkap Ghea yang menjadikan sosok Kenzo sebagai pahlawan modenya.
Di awal kariernya sebagai desainer dan saat mendirikan label Ghea Fashion Studio, Ghea baru berusia 22 tahun dan belum memiliki modal yang banyak. Sehingga ia pun bereksplorasi dengan kain motif lurik yang kala itu tidak terlalu mahal.
Keinginannya untuk membuat busana yang dikenakan anak muda juga mendorongnya untuk menggunakan kain lurik yang memiliki harga lebih terjangkau. Ghea yang memiliki jiwa muda dan ingin mendapat perhatian dari pasar anak muda kemudian melahirkan inovasi berpakaian dengan motif tradisional.
Ia melahirkan inovasi paduan gaun kebaya dengan celana denim, gaun micro dengan T-shirt longgar dan rok sarung yang dipadankan denganT-shirt. Caranya memadankan potongan pakaian tradisional dengan item fashion modern sukses membedakan dirinya dengan desainer lain dan menggaet perhatian generasi muda.
Inspirasi Ghea ketika mendesain juga kerap datang dari keindahan kain-kain di sekitarnya. Ghea yang juga gemar mengoleksi kain dan perhiasan antik dari seluruh Indonesia acap kali menelusuri koleksi-koleksi kain tradisional miliknya saat sedang mencari inspirasi baru.
Kesempitan waktu yang ia miliki untuk travelling membuat dirinya kemudian merombak tempatnya bekerja dengan menjadikan kain-kain koleksinya sebagai dekorasi. Sehingga tempat ia bekerja menjadi sebuah ruangan yang inspiratif dan memicu ide-ide baru.
"Segala jenis bahan kain sudah habis saya eksplorasi. Dimulai dari katun, silk, velvet, cashmere pun sudah. Tetapi garis besar saya untuk setiap rancangan saya memang tetap bergaya bohemian karena sejujurnya saya tidak mungkin merancang busana yang tidak ingin saya kenakan sendiri," tuturnya.
Kecintaan Ghea terhadap seni membuat karya-karyanya menggambarkan sosok wanita yang mengapresiasi seni, open minded, penuh percaya diri dan tidak mau didikte ketika berbusana. Bagi Ghea, wanita Ghea Panggabean adalah wanita yang tidak takut mencampur beragam gaya sekaligus, cinta budaya dan berpikiran modern.
Koleksi Ghea yang memiliki desain timeless dan mudah dipadankan dengan bermacam gaya, membutuhkan karakter wanita tersebut, dengan demikian kecantikan sekaligus karakter mereka akan terpancar lewat cara mereka berpakaian dan membuat industri mode semakin berwarna.
(Foto: Courtesy of Instagram)