Sebagai seorang perempuan Betawi yang hidup di era modern, mengenakan kain batik Betawi sudah tidak lagi menjadi bagian dari penampilan saya sehari-hari--kecuali di perhelatan tertentu seperti acara pernikahan. Lain tidak. Tentu saja ini berbeda dengan tradisi perempuan Betawi di masa lampau yang konsisten mengenakan kain batik Betawi dalam berbagai kesempatan; pergi ke pasar, menimba ilmu ke Madrasah, hingga menimba air di sumur.
Bahkan, sebagai perempuan Betawi modern, saya tidak memiliki kain batik Betawi autentik selain dua lembar kain batik Betawi lawas warisan almarhum enyak saya. Mengapa saya sebut kata 'autentik' di sini? Sebab, batik Betawi yang mudah kita temukan di pasaran saat ini (seperti motif ondel-ondel dan monas) sudah merupakan bentuk modifikasi dari motif-motif terdahulu.
Motif-motif baru tersebut telah begitu mendominasi pasar sehingga khalayak pun dengan mudah mengasosiasikan ikon-ikon Betawi (atau Jakarta) tersebut sebagai motif batik Betawi. Padahal motif seperti itu baru muncul dan populer dalam dua dekade terakhir ini. Lantas pertanyaannya, seperti apakah batik Betawi yang autentik?
Menilik sejarahnya, kota Batavia--yang kemudian berganti nama menjadi Jakarta--adalah sebuah kota melting pot tempat berbagai golongan etnis berkumpul, membangun komunitas, dan saling berinteraksi.
Suku Betawi yang diklaim sebagai etnis dan penduduk asli Batavia, diberkahi dengan karakter kebudayaan yang fleksibel, sehingga mampu melahirkan produk kebudayaan tersendiri yang unik, yang lahir sebagai hasil adaptasi dari berbagai kebudayaan yang datang ke Batavia: Arab, Cina, Belanda, Portugis, Jawa, dan Melayu. Batik Betawi merupakan salah satu hasil asimilasi lintas budaya yang tercipta di sana.
Dengan dinobatkannya Batavia sebagai sentra niaga di zaman pemerintahan Belanda, pengusaha batik (yang di kala itu mayoritas berasal dari Tiongkok) mendatangkan perajin batik dari Pekalongan maupun Solo untuk mengerjakannya langsung di Batavia (tepatnya di daerah Karet), demi memenuhi permintaan pasar yang begitu intens.
Dari situlah cikal-bakal motif batik Betawi terlahir, dengan mengadaptasi dari motif-motif yang sudah ada, seperti misalnya batik Pesisiran, batik Pekalongan, hingga batik Solo, kemudian diselaraskan dengan tren motif batik yang tengah digemari oleh pasar.
Pengusaha batik dari etnis Tionghoa maupun Jawa Tengah merupakan sosok-sosok penting yang turut membina penduduk Betawi dan melatih mereka dengan teknik membatik—sebuah keterampilan baru yang kemudian menjadi opsi mata pencaharian etnis Betawi di kala itu.
Motif burung hong khas pengaruh negeri Tiongkok sekaligus salah satu motif favorit (terutama dari kalangan etnis Tionghoa), boleh disebut sebagai salah satu motif betawi autentik di awal masa perkembangannya.
Lain lagi ceritanya dengan motif buketan (diadaptasi dari bahasa asing bouquet yang berarti rangkaian bunga), yang menjadi motif kesukaan para noni-noni Belanda di Batavia—semacam motif nostalgia akan indahnya musim semi di Holland dengan pilihan palet warna romantis yang cantik.
Motif ini kemudian lahir dan menjadi bagian dari motif asli batik Betawi akibat munculnya permintaan dari noni-noni Belanda yang kemudian turut diminati oleh pasar lokal. Di awal okupasi VOC di Batavia, etnis Belanda masih setia mengenakan busana ala Eropa yang serba tertutup dengan material yang tidak sesuai dengan iklim tropis. Akhirnya mereka pun mulai turut mengenakan padanan kebaya putih dan kain batik Betawi sebagai pakaian sehari-hari, layaknya kaum pribumi.
“Orang-orang Betawi yang bekerja untuk 'juragan-juragan' Belanda diperintahkan untuk belajar membatik dengan motif yang diinginkan oleh noni Belanda. Kemudian, seiring dengan waktu, motif Betawi kian berkembang dan perajin Betawi kembali 'ditantang' oleh orang-orang Indo-Eropa untuk belajar menjahit kebaya dengan teknik bordir—sebagai bentuk tren baru dari kebaya putih polos yang sudah biasa dipakai oleh kaum perempuan di masa itu,” jelas Yahya Andi Saputra dari Lembaga Kebudayaan Betawi.
Diaplikasikannya padanan kebaya dan kain batik Betawi oleh perempuan lintas etnis yang tinggal di Batavia berhasil mendobrak peraturan lama yang mewajibkan setiap orang untuk berpakaian menurut daerah atau negara asalnya masing-masing.
Tampilan ini merupakan gaya klasik yang pantas dan boleh untuk dikenakan oleh siapa saja, terlepas dari suku bangsa maupun kedudukan sosial statusnya.
"Dalam batik Betawi tidak ada semacam strata yang membedakan antara satu motif dengan yang lainnya. Setiap orang sah-sah saja menentukan mana motif yang menjadi kesayangannya. Motif itu pun terus berevolusi mengikuti tren. Akibatnya, motif-motif yang sudah tidak digemari perlahan hilang dengan sendirinya," papar Yahya Andi Saputra lagi.
"Yang membedakan kualitas batik Betawi yang dimiliki oleh seseorang terletak dari materialnya. Bagi mereka yang berasal dari golongan mampu, tentu saja bahan batiknya lebih halus dan sudah pasti batik tulis bukan cap. Sedangkan mereka yang kurang mampu memakai batik cap dengan material lebih kasar dan tebal karena harganya jauh lebih murah."
Namun dari sejumlah motif yang diadaptasi dan dikembangkan oleh para perajin batik Betawi, ada satu motif yang lantas menjadi motif signature sekaligus melambangkan identitas budaya Betawi itu sendiri, yakni motif pucuk rebung yang menyerupai motif geometris segitiga.
Motif ini dianggap sakral bagi etnis Betawi berkat nilai filosofi yang diyakini olehnya. Mereka memaknai motif ini sebagai lambang keseimbangan dalam kehidupan: bahwa antara manusia, alam sekitarnya, dan sang maha pencipta saling bersinergi.
Falsafah yang tercitrakan melalui motif pucuk rebung tersebut turut diaplikasikan ke dalam bentuk ornamen budaya lainnya seperti hiasan lisplang pada atap rumah, ukiran pagar maupun ukiran furniture lainnya.
Itulah mengapa motif pucuk rebung menjadi motif yang identik dengan batik Betawi, karena kendati motif ini juga merupakan hasil adaptasi dari songket Melayu dan tumpal batik Lasem, namun hanya masyarakat Betawilah yang memaknai motif ini sedemikian dalamnya dan menjadikannya sebagai bagian dari pengamalan kehidupan yang diagungkan.
Memasuki pertengahan abad ke-20, motif batik Betawi kembali berevolusi mengikuti berbagai peristiwa penting yang terjadi di Jakarta seperti misalnya pertandingan bulutangkis Thomas Cup, pembangunan gedung olahraga Senayan, jalan layang Semanggi, hingga Bundaran Hotel Indonesia.
Motif kali Ciliwung, Nusa Kelapa, Rasamala, dan Salakanegara juga turut menjadi corak populer yang identik dengan batik Betawi dari dahulu hingga sekarang.
Dan di era modern ini, organisasi Yayasan Keluarga Batik Betawi tengah membina sedikitnya 10 perajin batik Betawi yang tersebar di sejumlah titik di Ibukota seperti Rusun Marunda, Seraci Batik Betawi, Muara Tawar, Kebon Kosong, Bani Said, Gandaria, Terogong, Setu Babakan, Kebon Bawang, dan Al Jakartati. YKBB tengah menjalankan program untuk mematenkan 24 motif batik Betawi baru hasil kreasi 10 perajin batik Betawi binaannya.
Gerakan ini bisa menjadi sangat menarik karena sekali lagi, sebagai anak Betawi, saya merindukan motif batik Betawi autentik seperti yang dikenakan oleh nyai-nyai Betawi zaman dahulu. Apakah motif-motif lawas itu akan kembali lagi? Harapan saya demikian.
Karena bagaimana pun juga, motif yang dulu sempat populer kemudian tenggelam tetap menjadi bagian dari warisan sejarah batik Betawi, kendati tidak 100% asli ciptaan masyarakat Betawi sekali pun. Kita harus terus ingat betapa hebatnya selembar kain batik Betawi mampu menyatukan berbagai etnis dalam satu balutan di kota Batavia.
Kisah batik Betawi ini rasanya selaras dengan kutipan penulis asal Amerika, Chuck Palahniuk; "Nothing of me is original. I am the combined effort of everybody I've ever known."
(Foto: Rakhmat Hidayat, dok. Bazaar. Editor Fashion: Chekka Riesca. Model: Denia - Balitar, Ayu Gani - Studio 47, Ira T - Wynn Models. Makeup & hair: Ike Riani Hartono. DI Artist: Reno Priyono, Erlangga Namaskoro. Kebaya: Didi Budiardjo. Kain batik Betawi antik: koleksi pribadi Hartono Sumarsono dan Didi Budiardjo. Lokasi: Museum Betawi Setu Babakan)