“Coba botoks, yuk!” ucap teman saya saat menunggu hidangan di restoran. Terkejut? Tentu. Bukan apa-apa, tapi saya masih terpaku pada kalimat ibu ketika beliau meminta saya untuk tidak merapikan alis, “Tidak usah dibentuk alisnya. Sudah bagus kok! Nanti saja kalau sudah mau menikah.”
Baca juga: 7 Rekomendasi Klinik Kecantikan Sekaligus Treatment yang Harus Anda Coba di Jakarta dan Sekitarnya
Menurut ibu, bentuk alis dapat mengubah wajah seseorang secara menyeluruh. Namun, mungkin juga karena umur saya yang masih terlalu kecil untuk melakukan perawatan kecantikan kala itu. Sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang kita jalani sekarang. Di mana tindakan perawatan semacam botoks, filler, hingga bedah estetika adalah sesuatu yang lazim untuk dijadikan topik obrolan dan dijalankan.
What has been happening right under our nose? No pun intended.
Bersama tiga narasumber yang keahlian dan wawasannya tak perlu diragukan lagi, saya mulai bertanya mengapa sekarang semua ini begitu "normal", apa yang berubah, dan adakah dampaknya?
PERMINTAAN YANG SEMAKIN MENGERUCUT
Dulu, saya mendapatkan jawaban kalau memiliki kulit putih dan rambut panjang adalah impian setiap perempuan. Kini semua itu sudah berubah. “Sekarang tujuan kecantikan jadi lebih detail. Sudah naik satu tingkat,” jawab dokter Danu. Sebagai ahli bedah plastik, ia tahu betul apa yang menjadi target perempuan dan laki-laki zaman sekarang. Beberapa yang paling digemari adalah kulit bercahaya, hilangnya garis kerutan, dan pori-pori kecil. Begitu juga dengan badan. Dulu kurus adalah target utama, sekarang demand mengarah ke badan yang curvy, bentuk payudara perky sehingga membentuk cleavage yang indah. “Kulit glowing, dagu lancip, bibir berbentuk. Sekarang deskripsi kecantikan bukan hanya dari segi kesehatan, tapi juga dari bentuk,” tambahnya.
PEMINATNYA SEMAKIN BANYAK & DEMOGRAFI KIAN MELUAS
Kembali ke imbauan ibu saya tadi. Apakah saya menyesal tidak membiasakan diri dengan segala jenis treatment sejak dulu? Tentu tidak, karena tren saat itu tidak condong ke sana.
Berbalik dengan sekarang, di mana tuntutan dalam bersosialisasi cukup tinggi. Di klinik Derma Pro milik dokter Tan Yuanita, atau akrab disapa dengan Tata, pasien rata-rata berusia dari 25 hingga 34 tahun. “Namun ada yang ke klinik di usia 16, 65, bahkan 70 tahun,” jelas dokter Tata. Sedangkan di The Clinic Beautylosophy, dokter Danu juga memberi perbandingan kalau dulu pasien kebanyakan di atas 20 tahun.
Sedangkan sekarang ada yang dari umur 16-18 tahun sudah melakukan nose job, operasi payudara di usia 19-20 tahun. Ada juga yang non-surgery. Kalau mau dikategorikan, pasien di klinik dokter Danu praktik ini pasien di bawah 40 tahun melakukan perawatan beautify (self-enhancement). Salah satu treatment beautify adalah lip contouring atau bisa juga dengan filler bibir. Sedangkan usia 40 tahun ke atas sering melalukan tindakan anti-aging, seperti operasi kantong mata, neck lift, atau facelift.
Variasi usia yang kian bertambah lebar terjadi sebab terciptanya media sosial. Melihat demografi yang meluas, para dokter ini juga menekan pentingnya izin orang tua untuk mereka yang masih di bawah 19 tahun. Seorang profesor yang fokus pada body image sebagai topik risetnya di University of Colorado berpendapat bahwa perempuan selalu merasa terbebani akan citra kesempurnaan tubuh. “There’s so much social currency around appearance,” ucap Elizabeth Daniels. Seperti demografi yang digambarkan oleh kedua dokter, mayoritas pasien mereka terdiri dari perempuan. Meski kian hari pasien laki-laki semakin sering datang, pasien perempuan masih lebih banyak. “Perbandingannya 70-30 kalau sekarang,” jelas dokter Tata.
There’s so much social currency around appearance.
APA YANG SERING DIBENAHI?
- Harmonisasi bentuk hidung
- Operasi payudara
- Sedot lemak
Tiga di atas itu adalah jawaban dokter Danu.
Lalu dilanjutkan oleh dokter Tata yang menjawab:
- Struktur kulit (wajah bersih dari vlek, tidak berjerawat, tidak ada keriput)
- Bentuk wajah (V-shape, lebih terangkat, bentuk hidung lebih bagus, tidak kendur)
Alright, but why?
Saya jadi bertanya-tanya, siapa sosok patokan kecantikan sekarang ini sehingga membuat mereka merasa perlu ada perubahan. Dua yang terpikir oleh saya adalah Kylie Jenner dan budaya Korea Selatan. Jawabannya adalah ya dan tidak. Dua hal tadi memang besar sekali pengaruhnya di dunia kecantikan sekarang ini.
Dokter Tata juga berpendapat pasti semua orang ingin mempunyai kulit bersih seperti setiap peran di drama Korea. Begitu juga dengan salah satu makeup mogul dari Amerika Serikat, Kylie. “Ia adalah salah seorang trendsetter yang bisa memperlihatkan bahwa dunia estetis itu berkembang dan bisa ditolerir,” pungkas dokter Danu. Jawaban ini diperjelas dengan reaksi semua orang ketika Kylie melakukan tindakan filler bibir, tanggapan yang salah satunya berbunyi “Ternyata bagus juga, ya.”
(On Kylie) Ia adalah salah seorang trendsetter yang bisa memperlihatkan bahwa dunia estetis itu berkembang dan bisa ditolerir.
Sontak saya pun sadar, itu merupakan salah satu momen mulai bergesernya benchmark kecantikan. Bahwa bibir yang bagus bukan lagi bibir yang tipis, melainkan bibir yang plumpy. Memang, rasa dekat itu muncul apabila Anda sering melihat hal yang sama berulang kali di media sosial. "Relatable"kalau mengikuti gaya bahasa zaman sekarang.
Benar juga sih, nyatanya apa pun yang Anda lihat di akun media sosial sudah diatur berdasarkan algoritma, bukan?
SIAPA INSPIRASI KECANTIKAN MEREKA?
“Kebanyakan selebriti Korea Selatan, tapi justru mereka merasa lebih ‘dekat’ dengan selebriti Indonesia,” jawab dokter Tata. Faktor relatable dan bisa dilihat perbedaannya secara langsung itu ternyata penting. Pasien dokter Tata memang banyak selebriti Tanah Air, dan kesempatan pasien untuk berpapasan dengan mereka di mal itu lebih besar daripada bertemu dengan seorang Kardashian-Jenner atau selebriti Korea Selatan.
Serupa dengan pendapat dokter Danu, “Tergantung segmentasi mereka. Ada yang suka melihat orang di Indonesia dan itu tidak terbatas orang terkenal. Ada juga selebgram, orang-orang di lingkungan mereka yang mereka definisikan sebagai bagus atau keren.” Menurut dokter Danu, benchmark kecantikan tergantung pada influencer dan dokter yang mengarahkan seperti apa bentuk yang ideal. “Kalau zaman dulu ada yang namanya golden proportion,” imbuhnya. Nah, segala tindakan yang disebutkan tadi itu ibarat sebuah “gangguan” pada golden proportion tadi, sehingga menimbulkan kecantikan versi baru.
EKSISTENSI DI MEDIA SOSIAL
Sekarang Anda tinggal menggabungkan kecanggihan teknologi, eksistensi media sosial, elemen budaya kecantikan di Korea Selatan seperti glass skin, sekaligus momen filler bibir yang “diterima” oleh banyak orang.
Boom! Anda mendapatkan formula resep cantik zaman sekarang. Instan.
Sekarang ini seharusnya Anda sudah paham kalau media sosial bukan sekadar “panggung” biasa. It holds an immeasurable amount of power. Platform ini bisa menjadi tempat koleksi portofolio, curahan hati, bukti hukum, flirting, flexing, hingga menjadi saksi sekaligus tempat berubahnya sesuatu yang tabu menjadi lazim.
Treatment di generasi muda itu seperti pamer. Dianggap lumrah memang karena semua orang melakukan perawatan.
Dalam konteks ini saya berbicara tentang tindakan estetika di industri kecantikan, non-surgery dan surgery. “Karena pasien melihat semua ini diterima di sosial media, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kelaziman,” jelas dokter Danu. Begitu juga dengan flexing atau pamer. “Treatment di generasi muda itu seperti pamer. Dianggap lumrah memang karena semua orang melakukan perawatan,” ucap dokter Tata. Benar juga. Treatment is not cheap.
Lagi-lagi, semua ini terjadi karena tren yang berubah. “Penampilan sangat penting. Itu adalah tren terkini, sebuah gaya hidup, dan sesuatu yang membanggakan. Tuntutan zaman sudah berubah,” lanjutnya. Dokter Tata juga mencontohkan bahwa kalau melakukan tindakan kecantikan zaman dulu pasti disebut “aneh-aneh”, berbeda dengan sekarang di mana respons beralih menjadi “lebih bagus ya”.
Perubahan ini sesungguhnya juga membawa efek yang positif, yaitu menambah kepercayaan diri setiap pasien.
IT’S FOR MEN TOO!
Ada lagi yang muncul ke permukaan berkat media sosial dan pengaruh budaya Korea Selatan, yakni kepekaan terhadap laki-laki di industri ini. “Adanya K-Pop menormalkan hal tersebut. Dilihat bahwa laki-laki di sana (Korea Selatan) bisa memiliki kulit seperti itu, berarti di sini juga bisa,” jelas dokter Tata. Lagi pula role model laki-laki di industri ini juga sudah banyak. Jadi hal yang wajar, bukan? Sama dengan yang dituturkan Irene Ursula kepada Bazaar. Di sela-sela kesehariannya yang begitu sibuk, pendiri Somethinc ini berpendapat bahwa setiap insan butuh merawat dirinya.
“Ini bukan sesuatu yang shameful dan tabu lagi. Semua orang harus merawat dirinya, laki-laki ataupun perempuan,” jelasnya. Dan kemudahan juga diberikan oleh Irene melalui produknya, semua produk Somethinc itu genderless, di mana skincare untuk laki-laki dan perempuan itu sama.
Dapat Anda lihat juga pada Chanel. Bertajuk Boy de Chanel, Korea Selatan menjadi tempatnya dirilis pada tahun 2018, dan secara global satu tahun kemudian. Lee Dong Wok mengukir sejarah sebagai brand ambassador dari Korea Selatan pertama. Produk yang terus-menerus sold out adalah eyebrow pencil dari Boy de Chanel.
Kenapa? Karena alis merupakan bagian terpenting pada laki-laki Korea Selatan. Salah seorang spokeperson dari Chanel berkata “Beauty is not a matter of gender; it is a matter of style.”
Apa saja tindakan untuk para pria sekarang di Indonesia?
- Nose job
- Hair transplant
Dokter Danu lanjut menjelaskan bahwa 90 persen laki-laki menderita alopecia, yakni kebotakan pada laki-laki. “Saya sering bertanya kenapa operasi, mereka menjawab karena melihat selebriti Korea Selatan yang mancung, kulit putih, dan bagus.” Ini semua kembali lagi ke media sosial yang kini memperlihatkan penggunanya kepada banyak hal, termasuk muka dengan kulit glowing itu juga bagus pada laki-laki.
Baca juga:
Simak Daftar Lengkap Pemenang Produk Kecantikan Terbaik di Bazaar Beauty Awards 2022
Rahasia Manifestasi Diri Seorang Lizze Parra
KOLABORASI DUA BUDAYA
Saya sering melihat selebiriti Korea Selatan menjadi brand ambassador produk kecantikan. Ini juga saya tersadarkan karena mendengar podcast YOLO (YOur Life with Ours) yang berjudul #CariPerhatian.
Mendengarkannya membuat saya lebih “melek” dengan siapa yang menjadi wajah suatu brand, dan mengapa. Pertanyaan mengapa berkolaborasi dengan NCT Dream dan Han So Hee juga saya tanyakan pada Irene.
“Tidak ada clear skin yang instan, harus sabar dan disiplin.”
Apakah ada kaitannya dengan pergeseran tren kecantikan tadi? “Kolaborasi spesial Somethinc dengan idola K-Pop, NCT Dream didasari oleh masukan dari para konsumen setia yang disampaikan melalui media sosial, di mana mereka melihat kesamaan value antara Somethinc dengan NCT Dream,” tulis Irene dalam jawaban wawancara. “Begitu juga dengan kolaborasi dengan Han So Hee yang mereka anggap sebagai beauty guru, serta image sosok tersebut.
Kendati demikian, apakah mungkin untuk para konsumen Somethinc di Indonesia mendapatkan kulit yang berbanding tipis dengan para sosok brand ambassador yang ditampilkan Somethinc? “Mungkin saja, tetapi produk yang digunakan harus pas dan sesuai dengan kulit kita. Effort yang dikeluarkan pun harus sama dengan mereka. Orang Korea Selatan itu sangat telaten dan konsisten dalam penggunaan skincare,” jelas Irene. Sama seperti pendapat dokter Tata, “Tidak ada clear skin yang instan, harus sabar dan disiplin,” tegasnya.
(LAGI-LAGI) MEDIA SOSIAL
Memang, generasi Z identik dengan keberanian mengutarakan sesuatu. Tapi hadirnya media sosial juga menimbulkan keberanian tersebut dalam diri setiap orang (selain gen-z) untuk speak up. Dengan berani berbicara, mereka bertemu orang lain yang sedang berada di "tempat" yang sama, contohnya seperti kondisi kulit vitiligo. Bahkan banyak model kancah internasional yang sukses dengan kondisi kulit seperti ini. “Memang karena media sosial di mana-mana, mereka jadi lebih terbuka. Bertemu dengan orang yang merasakan hal serupa, di mana mereka bisa saling encourage dan berbagi edukasi. Tapi tidak bisa dipungkiri, adanya media sosial pun mempermudah aksi bullying,” tutur dokter Tata.
ME, MY SELF, & SELFIE
Hubungan media sosial, selfie, dan dunia kecantikan itu erat sekali. Sempat saya “dibaca” oleh dokter Danu saat interview online, ia menjabarkan satu per satu apa dari muka saya yang tidak proposional. “No hard feelings, ya,” imbuhnya sebelum memulai. Tentu saja, “catatan” tadi bukanlah hal yang mudah diterima apabila saya orang yang insecure.
Dokter Danu juga menjelaskan bahwa semakin banyak selfie yang Anda lakukan, semakin meningkat juga kesadaran Anda akan hal yang mungkin perlu “dibenahi” di bagian muka. “Banyak pasien datang dengan membawa foto selfie mereka,” tambah dokter Danu.
THE BOTTOM LINE IS..
Setelah "dibaca" dan mengelaborasikan insight apa saja yang saya dapat dari ketiga narasumber Bazaar kali ini, saya berharap Anda juga mendapatkan sudut pandang baru. Pesan manis dituturkan oleh dokter Danu sebelum mengakhiri sesi wawancara online beberapa saat lalu, sang ahli berkata bahwapada dasarnya kebutuhan perempuan dan laki-laki itu adalah untuk dihargai. Dengan mudah saya mengangguk setuju.
Salah satu cliche yang paling sering terdengar adalah 'cantik itu relatif.' Tapi memang benar apa adanya. Cantik, tampan, indah, ganteng, dan lain sebagainya itu kembali ke masing-masing diri dan tujuannya. Lagi pula, menurut saya, tantangan terbesar saat ini adalah untuk setiap manusia berkata dan merasa cukup.