Kisah Nyata di Dunia Perjodohan

Kini mendapatkan pasangan sempurna sesuai impian bukanlah hal mustahil lagi, karena jodoh Anda mungkin ada di tangan para matchmaker.



Rupanya di dunia yang super modern ini urusan mencari jodoh pun menjadi hal yang semakin menantang. Namun, Anda pasti pernah mendengar tradisi perjodohan di mana dua insan dipertemukan melalui bantuan ‘orang ketiga’ atau biasa disebut mak comblang.

Tradisi seperti ini juga dianut oleh budaya Muslim dan biasa disebut prosesi ta’aruf, ketika wanita dan pria saling diperkenalkan sesaat sebelum pernikahan tanpa adanya fase kencan terlebih dahulu. Sang mak comblang kemudian dipercaya bisa mendapat sebuah masjid di Surga apabila berhasil melakukan perjodohan.

Konsep ini memang terdengar kuno atau konvensional, tapi nampaknya fenomena yang terjadi sekarang berkata sebaliknya. Apakah kita kembali ke zaman konvensional? Tentu tidak, karena makna biro jodoh sudah mengalami modernisasi. Faktanya, belakangan ini banyak orang mencari pasangan hidup yang ideal lewat bantuan ‘mediator’ dan kini mereka dikenal dengan istilah populer yaitu matchmaker.


Semuanya berawal dari pergantian era di mana pria tak lagi menjadi ‘donor’ tunggal dalam keluarga. Walaupun paham ini sudah dianut budaya Barat, kini kultur Timur termasuk Indonesia mulai mengadaptasi konsep yang sama. Imbas modernisasi menyebabkan wanita akhirnya memutuskan untuk menunda usia pernikahan.

Alasan ‘tekanan’ dari pihak keluarga tak terlalu dihiraukan karena stabilitas finansial dan karier menjadi prioritas utama. Namun, di satu titik dalam kehidupan manusia butuh beregenerasi dan hal itu tak dapat terjadi tanpa pernikahan, paling tidak di Indonesia. Karena pada dasarnya manusia memiliki naluri untuk hidup berpasangan.

Tingginya tingkat kesibukan berakibat pada terbatasnya waktu bagi mereka yang tinggal di area urban untuk memikirkan hal di luar pekerjaan. Bisa dibilang kini kencan dan mencari pasangan menempati peringkat terendah dari segi prioritas.

Fenomena ini kemudian dijadikan ladang pekerjaan bagi mereka yang menawarkan jasa profesional sebagai matchmaker untuk menjembatani mereka yang terlalu sibuk mengejar aktualisasi diri lewat karier dan materi sampai melupakan hal esensial yaitu romantisme dan pernikahan.


Jika di luar negeri profesi ini sudah eksis cukup lama, beda halnya dengan di Tanah Air. Tapi uniknya keberadaan mereka cukup diakui di tengah masyarakat Indonesia. Salah satunya ketika Bazaar menghubungi Ika (nama disamarkan), mantan model yang menemukan sang pendamping hidup lewat bantuan matchmaker.


“Waktu itu saya berpikir sudah lelah ‘berpetualang’, saya ingin settle down. Akhirnya saya menghubungi seorang match maker dan memberikannya sederet kriteria pria ideal bagi saya. Tak begitu lama saya akhirnya dipertemukan dengan Ibra (nama disamarkan) dan menjalani beberapa kencan sebelum akhirnya kami menjalani hubungan ekskusif, lalu menikah, dan kini dikaruniai dua orang anak.”

Berikutnya Intan seorang blogger (nama disamarkan) yang memimpikan tinggal di kota Paris. Ia juga menghubungi matchmaker dan memberikan syarat spesifiknya itu. Alhasil dirinya kini menikah dengan pria berkebangsaan Prancis dan menetap di sana.


Tapi kalau Anda berpikir konsep yang ditawarkan oleh seorang matchmaker sama dengan peran Will Smith di film Hitch maka jawabannya salah. Menurut Zola Yoana, matchmaker asal Indonesia yang mendapat sertifikasi dari Match Making Institute di New York, definisi profesinya ini adalah satu orang yang mampu mempertemukan Anda dengan kandidat paling ideal berdasarkan preferensi, jadi bukan seseorang yang membantu Anda untuk mendapatkan hati sang ‘target’.

Metodenya berawal dari membership di mana setiap calon klien diajak untuk bertemu lewat sesi privat dan dilanjutkan dengan mengisi formulir tentang kepribadian, ketertarikan, dan kriteria pasangan ideal. Namun sebagai matchmaker Zola juga menyeleksi klien-kliennya demi alasan kredibilitas.

“Saya tidak sembarang menerima semua orang sebagai klien karena saya menilai mereka dari value of life dan tingkat keseriusannya dalam mencari jodoh. Jadi kalau intuisi saya mengatakan tidak, maka saya tidak akan melanjutkan penjajakan,” tambahnya. Dari situ seorang match maker mencari kandidat- kandidat potensial dari data base miliknya atau melalui proses ‘hunting’.

Ia lalu menjelaskan, “Jika kandidat tidak ada di daftar yang sudah saya miliki, saya biasanya mencarinya lewat networking. Selain syarat spesifik yang diberikan klien tentu saja saya harus menilai setiap calon kandidat ini berdasarkan penampilan, kepribadian, dan tingkat kemapanan mereka. Kebanyakan klien saya memiliki kualifikasi yang cukup tinggi atas dirinya, sehingga mereka juga mengharapkan ‘kesetaraan’ baik secara karier dan strata sosial untuk pasangannya kelak.”


Dengan label profesional dan berbekal sertifikat resmi, jenis pelayanan yang ditawarkan para matchmaker tak bisa disamakan dengan sistematika dating apps di smartphone atau situs online dating.“Dari kacamata seorang matchmaker saya melihat aplikasi atau situs itu hanya sebatas wadah berkencan dan tak jarang demi kepuasan seksual semata,” jelas Zola kepada Bazaar Wedding Ideas.

Baginya seorang matchmaker membidik interaksi face-to-face dan hubungan jangka panjang mengingat tugasnya yang juga merangkap sebagai dating coach. Itu mengapa pelayanan ini dibanderol dengan biaya cukup tinggi karena bersifat personalized sekaligus premium.

“Setelah mendapatkan kandidat yang cocok dengan kriteria klien, tahapan berlanjut pada sederet seri kencan. Dalam fase ini, sebagai dating coach saya akan memberikan ‘briefing’ tentang aturan saat kencan kepada klien,” lanjutnya.

Ia bahkan tak segan untuk memberikan larangan untuk tidak boleh bertukar nomor telpon saat kencan pertama karena hal ini bisa menjadi bumerang bagi klien ketika ada satu pihak yang ternyata tidak merasa mendapatkan ‘chemistry’. “Bayangkan saja kalau klien tidak tertarik dengan kandidat sedangkan kandidat terlanjur jatuh hati, saya tidak mau mengambil risiko klien saya diteror!” ujarnya.


Profesi sebagai match maker memang bukan pekerjaan yang mudah, satu klien bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga mencapai angka satu tahun hingga mereka mendapat pasangan yang cocok. “Waktu yang diperlukan bervariasi, ada yang relatif lama tapi ada juga klien yang hanya dalam waktu empat bulan sudah memutuskan menikah,” ujar Zola.

Tapi kini mungkin pertanyaannya adalah apakah benar peribahasa yang mengatakan bahwa setiap orang tidak bisa mendapatkan semua yang Anda inginkan? Bagaimana kalau dengan bantuan para match maker jawabannya bisa?


(Teks: Anindya Harahap & Sabrina Sulaiman. Foto: Thinkstock)