Memahami Sejarah Lewat Karya Triyadi Guntur Wiratmo

Lima belas karya sarat tafsiran sejarah yang akan membuat kita berimajinasi dan menemukan cara baca lain akan sebuah sejarah.

Lost in Fiction: Aku Cinta Padamu Tanah Airku


Berlokasi di Galeri Nasional, Triyadi Guntur Wiratmo, salah satu seniman kontemporer Indonesia membuka pameran tunggal keempatnya. Pameran bertajuk Between The Lines ini juga dipersembahkan oleh Rachel Gallery.

Sebanyak 15 karya dari medium yang berbeda-beda ditampilkan. Kelima belas karya ini bisa dikelompokan ke dalam dua teknik yang berbeda yakni teknik perangko dan teknik rajut yang memang keduanya merupakan ciri khas Triyadi.

Namun selain teknik, satu hal yang membedakan Triyadi dari seniman-seniman lain adalah ketertarikannya pada elemen sejarah. Dalam pameran kali ini pun Triyadi memasukan unsur sejarah Indonesia, serta dirinya, dalam kelima belas karya-karyanya.


Postcard from the Past


Postcards from the Past #4

Elemen sejarah itu kemudian dikemasnya dengan teknik yang berbeda-beda, namun tetap dengan satu tujuan yakni mengajak penikmat karyanya untuk berkomunikasi dengan tafsir sejarah yang tersirat dalam karya-karyanya. Bagi Triyadi tafsir terhadap sejarah adalah salah satu hal yang tak pernah berhenti. Kemunculan berbagai sudut pandang, fakta, serta teori akan memperkaya kita untuk memaknai sejarah yang kita tahu.

"Dalam karya-karya Triyadi kita bisa melihat bahwa memahami sejarah seringkali tak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan, tapi juga diperlukan imajinasi," ujar Rizky A. Zealani yang berperan sebagai kurator dalam Between the Lines.


Lost in Fiction: Getting Pretty, Dear Kamerad

Seperti dalam lukisan bertajuk Lost in Fiction: Getting Pretty, Dear Kamerad. Lukisan yang menggunakan elemen perangko ini menampilkan dua sosok Marxisme yakni Karl Marx dan Mao Zedong. Pendiri dari Republik Rakyat Tiongkok tersebut terlihat seakan-akan siap merapikan tatanan rambut Karl Marx yang dikenal sebagai penggagas Marxisme. Menurut Rizky kita bisa menafsirkan lukisan tersebut sebagai tafsiran sang seniman bahwa Marxisme hadir dengan kemasan lebih baik dan berhasil di Tiongkok, ketimbang di negara asal Karl Marx, Rusia.

Lantas apa pula makna dari perangko yang membingkai wajah di beberapa lukisan? Triyadi menyebutkan bahwa perangko sebenarnya adalah duta budaya, jadi orang-orang yang wajahnya kemudian menghiasi perangko tak lain merupakan wakil budaya dari zaman dan konteks masing-masing. Selain itu perangko juga menjadi tribut dari profesi yang sampan dijalani Triyadi sebelumnya, yakni sebagai ilustrator untuk PT. Pos Indonesia, produsen perangko di Tanah Air.

Untitled: Panggil Aku Fashionista Saja

Tak segan pula Triyadi memasukan unsur ironi dalam karya-karyanya. Di mana ia sengaja memasukan tokoh tertentu di latar yang kontras. Seperti lukisan Untitled: Panggil aku Fashionista Saja. Lukisan ini menampilkan sosok R.A. Kartini yang merupakan sosok yang dikenal begitu memperhatikan pendidikan dan kesetaraan wanita. Namun Triyadi menaruhnya sebagai seorang pencinta fashion dengan berbagai macam jenis sepatu.

Perjuangan: Kesadaran adalah Matahari


Perjuangan: Perjuangan adalah Pelaksanaan dari Kata-Kata

Untuk karya yang menggunakan teknik menjahit, salah satu yang istimewa adalah keberadaan sastrawan Chairil Anwar dengan kutipan dari puisinya yang berjudul Perjanjian dengan Bung Karno.

Between The Lines akan berlangsung di Galeri Nasional mulai 11 April hingga 23 April mendatang.


(Foto: Daniar Cikita)