Meskipun Made Wianta telah tiada lebih dari dua tahun lalu, spirit sang maestro tetap hidup dan dapat dinikmati oleh para penikmat seni. Resor butik mewah Komaneka at Keramas Beach, Bali, membantu mewujudkannya lewat pameran bertajuk Between Chaos and Form yang digelar selama dua minggu mulai 24 Januari hingga 7 Februari 2023. Tepatnya, pameran digelar di Komaneka Fine Art Gallery yang menjadi bagian resornya, tempat Anda dapat menikmati seni kontemporer dalam ambience tropis, diapit keasrian area sawah dan panorama Gunung Agung serta pantai Keramas. Dikuratori oleh Jean Couteau, ekshibisi merupakan momen pertemuan dan pertukaran pandangan budaya antara Made Wianta dengan seniman kelahiran Basel sekaligus sahabatnya yakni Stephan Spicher.
Kurang lebih ada 36 karya gabungan dari keduanya di sini. Karya-karya Wianta yang ditampilkan merupakan buah proses kreatif di Rancate, Basel, dan Bali. Sementara itu, Stephan Spicher mengangkat hasil karya yang ia buat di Ticino, Basel, dan Swiss, mulai dari karya lama (yang juga pernah ia buat di Bali pada awal 2000-an) hingga yang terbaru tahun ini.
Lebih dari sekadar pameran, Between Chaos and Form merupakan wujud dialog hasil penggalian bersama antara Wianta dan Stephan, sebuah pertalian spirit yang tidak akan pernah berhenti walaupun Wianta telah berpulang. Menurut Jean Couteau dalam press conference di hari pembukaan pameran, "Stephan dan Wianta konon berada di ruang budaya yang berbeda, namun dalam perbedaannya mereka menarik persamaan yaitu penggalian makna antara chaos dan order. Di situ terlihat percampuran kebudayaan luar dan kebudayaan sini (Indonesia) sejatinya bersifat duniawi."
Pertemuan Made Wianta dan Stephan Spicher
Stephan Spicher diperkenalkan kepada Made Wianta oleh mendiang Urs Ramseyer saat ia pertama kali ke Bali. Sejak saat itu, Stephan menganggap Bali sebagai studio melukis baru dan akhirnya dialog antara keduanya terjadi. Mereka saling berbagi pengalaman dan pertukaran budaya. Ketika di Bali, mereka sering bertemu di kampung halaman Wianta di Apuan, Tabanan. Stephan tinggal selama berbulan-bulan dan memahami Bali sebagai tempat yang identik dengan "menikmati." Demikian pula dengan Wianta, ia memahami cara berpikir serta kesenian dan budaya Barat selama tinggal di Brussel pada 1975-1977. Dari pengalamannya ia tinggal dengan Stephan di Swiss, ia memahami bahwa barat cenderung "mempertanyakan." Pengalaman keduanya di masing-masing negara pun saling mengisi. Mereka kerap berdiskusi dan menjadikan gagasan mereka dalam bentuk kesenian bersama. Salah satunya adalah Crossing Lines yang telah dipamerkan di Bali (2001) dan Basel (2002), serta St. Petersburg dan Art Moscow Rusia (2005).
Berdialog dengan Stephan Spicher
Harper's Bazaar (HB): Apa cerita paling menarik dalam mewujudkan pameran ini dan apa yang paling menantang?
Stephan Spicher: Pameran ini merupakan sebuah kesempatan untuk bertemu teman lama saya, Made Wianta. Karena kami sudah tidak bisa saling berbincang secara fisik, perjumpaan kami dilakukan lewat karya seni. Sebuah dialog terjadi di mana karya Wianta berkaitan dengan karya saya. Ini adalah sesuatu yang menarik sekaligus menantang. Pilihan lukisan dan gambar ditentukan dalam meeting; ia di studio saya dan saya di studionya. Kami berdua distimuliasi oleh lingkungan budaya yang berbeda. Lukisan dan gambar yang penuh kejutan muncul dari percakapan dan berkarya. Tantangannya adalah untuk membuat dialog ini dapat dilihat oleh orang lain.
HB: Apa kenangan yang paling memorable saat bekerja dengan Made Wianta?
SS: Saya memiliki banyak kenangan baik. Mungkin yang paling menarik adalah ketika Wianta berada di studio saya di daerah Swiss yang berbahasa Italia. Di sana ia benar-benar bebas, tanpa ada paksaan. Selalu ada sesuatu yang terjadi di Bali, dan ia harus merepresentasikan sesuatu untuk desanya, keluarga, dan komunitas seniman. Di studio saya, ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri. Kami bekerja bersama, memasak bersama, dan berdiskusi tentang gambar dan percakapan. Ada unsur santai di dalam budaya Italia.
HB: Secara pribadi, apa makna pameran ini bagi Anda?
SS: Seperti yang saya sampaikan, yang terpenting dari pameran ini adalah dialognya. Ini bukan sekadar ekshibisi Wianta dan Spicher, namun sebuah pertemuan. Saya sangat senang kembali ke Bali. Saya ke sini hampir setiap tahun selama 30 tahun dan tidak bisa datang lagi karena pandemi. Sekarang saya melihat teman-teman saya lagi. Banyak orang yang hadir di acara pembukaan dan itu membuat saya luar biasa senang. Sekali lagi, yang paling penting bukanlah saya, tetapi bahwa pertemuan ini dapat berlanjut dan kami berencana untuk menampilkan konfrontasi menarik dari karya-karya kami dalam pameran-pameran lain.
HB: Apa pesan yang ingin Anda sampaikan lewat karya seni Anda terutama di pameran ini?
SS: Tema saya tahun ini adalah Blooming and Fading. Ini bukan hanya tema yang berfokus pada alam namun juga mencakup sesuatu yang lebih luas, termasuk saya sendiri dan proses kehidupan. Kami di Eropa memisahkan antara keduanya (blooming dan fading). Kebanyakan yang terlihat adalah proses blooming, tetapi blooming tidak mungkin ada tanpa fading away. Saya ingin membuat ini dinamis, prosesnya dapat dilihat dalam teknik yang berbeda-beda. Pameran yang ada di Komaneka at Keramas Beach menunjukkan beragam karya dengan tema ini. Pada lukisan dan sketsa ini, chaos juga merupakan tema yang penting. Kami membicarakan banyak hal dengan Wianta. Menarik melihat bahwa budaya dan tradisi kami berbeda namun ada pertanyaan-pertanyaan tertentu yang sama. Tentu saja hal ini adalah dasar kolaborasi kami yang sangat penting. Kami juga menamai pamerannya From Chaos to Form.
HB: Karya apa yang paling Anda sukai di pameran ini?
SS: Sulit untuk mengatakannya. Saya memiliki hubungan dan cerita spesial di setiap karya. Mungkin "Eternal Line" yang sangat menyentuh bagi saya karena saya membuatnya di Apuan, kampung halaman Wianta. Karya ini juga merepresentasikan permulaan dari sebuah kolaborasi. Kami telah melakukan beberapa pameran bersama dengan tajuk Crossing Line. Ceritanya tidak hanya tentang lini dalam bentuk formal, tetapi juga tentang pertemuan ini. Saya juga menyukai empat gambar besar di atas kertas karena saya membuatnya di Bali dua minggu lalu. Keempatnya adalah seni baru dan menjawab pertanyaan tentang chaos dan form. Karyanya topical, dan lewat dialog kami dalam ekshibisi ini, kami ingin menghadapi artistic chaos dan menemukan form.
Foto: Courtesy of Komaneka Resorts