Belanda Jadi Tempat Dave Hendrik Menemukan Proses Penerimaan yang Menghangatkan Dirinya

Apa hubungan negara Belanda dengan proses penerimaan Dave Hendrik? Simak jawabannya berikut ini.

Foto: Courtesy of creativenature©123rf.com


Denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Lima tahap grief yang sudah pasti Anda ketahui. Berusaha kuat untuk tidak menerima kenyataan kalau mungkin apa yang saya alami sebulan terakhir adalah tanda ringan dipresi. Masa sih? Kok kayaknya drama banget deh.

Layaknya manusia normal lainnya, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari secara online apa saja tanda depresi. Artikel di situs Healthline.com memuat hilangnya pengharapan, minat, kelelahan yang meningkat, lalu gangguan tidur, anxiety, kehilangan gairah, perubahan nafsu makan, lalu gangguan berat badan dan perubahan emosi sebagai beberapa red flag depresi. Centang pada semua daftar tanda tersebut.

Entah mengapa pasca PPKM level 4 yang baru lalu di Jakarta, saya kehilangan gairah dalam menjalani hari. Biasanya olahraga berhasil mendongkrak hormon bahagia saya – kini penurunan motivasi malahan yang saya rasa bahkan untuk bergerak. Nonton film komedi yang tadinya selalu berhasil menularkan rasa bahagia tak lagi mempan. Menikmati makanan manis kesukaan juga tak lagi memberikan sumbangsih berarti. Bak cangkang telur tak berisi, hampa, tipis dan rapuh rasanya badan ini melewati menit berganti jam, lalu berganti hari tanpa tujuan yang berarti. Duh, belum pernah saya merasakan hal ini sebelumnya.

Burn-out mungkin ya, ini bukan depresi. Mencoba menawar rasa. Penulis buku, Jay Shetty di podcast-nya membahas; menurunnya kreativitas adalah salah satu tanda burn-out. Bertambah satu daftar keluh kesah saya. Belakangan sama sekali tak ada rangsangan ide apapun yang mengalir di kepala. Pekerja kreatif tanpa kreativitas tuh rasanya seperti – kembali; telur tanpa isi… Hanya cangkang nyaris tak berfungsi.

Burn-out yang tidak ditangani dengan baik dapat memicu depresi. Buntut kesimpulan dari podcast yang sama. Sudahlah. Apapun namanya yang saya rasa ini, satu yang pasti; saya kehilangan gairah dalam hidup. Cangkang telur tanpa isi ini mulai retak terpukul oleh hilangnya pengharapan akan kehidupan.

Pertanyaan kapan pandemi ini akan berakhir semakin pudar jawabannya. Sebelum ini hadirnya vaksin berhasil memberikan harapan. Vaksin mulai terdistribusi namun roda kehidupan tak terasa juga bergerak. Saya rindu hari-hari aktif padat karya dan rasa sebelum Corona. Jantung ini mulai kelelahan berdegup selalu lebih kuat setiap bulan mengiringi berkurangnya saldo tabungan, yang berbanding terbalik dengan angka kenaikan Covid. Kapan selesainya? Jangan salahkan kalau saya adalah manusia optimis yang selalu melihat ke depan. Sementara sekarang hidup di depan tampak tetap berkabut tanpa tanda kejelasan pasti.

Maybe You Should Talk To Someone karya Lori Gottlieb

Melalui obrolan bersama @kartuposinsta di Brunch with Dave, Kenny Santana merekomendasikan buku Maybe You Should Talk to Someone yang ditulis oleh terapis Lori Gottlieb. Bab 12 di buku tersebut membahas esai yang ditulis oleh penulis dan aktivis sosial Emily Perl Kingsley berjudul Welcome to Holland tentang pengalamannya hidup dengan anak berkebutuhan khusus. Esai ini banyak diberikan pada orang tua yang hidup dengan anak down syndrome.

Metafora dari esai ini yang kemudian menjadi penawar penderitaan kehilangan saya pada kehidupan normal (baca: pre-pandemic):

When you’re going to have a baby, it’s like planning a fabulous vacation trip - to Italy. You buy a bunch of guide books and make your wonderful plans. The Coliseum. The Michelangelo David. The gondolas in Venice. You may learn some handy phrases in Italian. It’s all very exciting.

After months of eager anticipation, the day finally arrives. You pack your bags and off you go. Several hours later, the plane lands. The stewardess comes in and says, “Welcome to Holland.”

“Holland?!?” you say. “What do you mean Holland?? I signed up for Italy! I’m supposed to be in Italy. All my life I’ve dreamed of going to Italy.”

But there’s been a change in the flight plan. They’ve landed in Holland and there you must stay.

The important thing is that they haven’t taken you to a horrible, disgusting, filthy place, full of pestilence, famine, and disease. It’s just a different place.

So you must go out and buy new guidebooks. And you must learn a whole new language. And you will meet a whole new group of people you would never have met.

It’s just a different place. It’s slower-paced than Italy, less flashy than Italy. But after you’ve been there for a while and you catch your breath, you look around… and you begin to notice that Holland has windmills… and Holland has tulips. Holland even has Rembrandts.

But everyone you know is busy coming and going from Italy… and they’re all bragging about what a wonderful time they had there. And for the rest of your life, you will say “Yes, that’s where I was supposed to go. That’s what I had planned.”

And the pain of that will never, ever, ever, ever go away… because the loss of that dream is a very, very significant loss.

But... if you spend your life mourning the fact that you didn’t get to Italy, you may never be free to enjoy the very special, the very lovely things… about Holland.

Hidup sekarang dengan Corona adalah Holland. Tidak direncanakan. Jelas tak pernah diimpikan. Harus sudah mulai menerima kehidupan di Holland. Berhenti berduka menangisi hilangnya mimpi dan rencana untuk melihat Italia. Apapun target hidup sebelum Corona – lupakan. Terima kehidupan baru di Holland. Manisnya Italia tentu berbeda dengan Holland, jangan paksa Holland untuk menjadi Italia. Jangan lagi bandingkan hidup dulu sebelum Corona, atau menanti kapan hidup akan kembali seperti sebelumnya. Siklus pengharapan yang tak membantu kita menikmati hidup sekarang dengan Corona.

Tidak ada air mata yang menetes saat saya menyadari penyebab hilangnya gairah hidup adalah belum hadirnya penerimaan. Tahap terakhir dalam the five stages of grief. Keinginan agar hidup segera kembali seperti dahulu adalah pemicu distorsi emosi. Mata saya melihat lebih jelas. Menerima kehidupan bersama Corona, mencari cara agar tetap dapat menggulirkan roda kehidupan sehingga hari kembali berwarna. Di balik masker, senyum kembali merekah karena tak lagi menanti Italia.

I am finally at peace and accepting life in Holland. Will you be my friend in Holland?