Hampir setiap hari, di sela istirahat dari kesibukan menghadap layar laptop sendirian di ruangan yang kecil, pikiran saya mulai merayap ke mana-mana. Setelah isi kepala sudah teracak-acak, satu kekhawatiran yang sudah tersimpan sangat lama di dalam kepala muncul kembali ke permukaan. Bunyinya: “Apa yang akan saya lakukan jika dunia ini berantakan?”
Layaknya sarang laba-laba yang ditempeli dengan butiran-butiran air hujan, tajuk tulisan ini juga diibaratkan sebagai kerangka untuk menampung pikiran-pikiran yang tidak ada hubungannya namun kerap menghantui. Ditambah lagi dengan perasaan cemas yang meningkat selama berjam-jam. Anggapan ini juga termasuk seperti, “Saya tidak tahu bagaimana cara membuat api, jadi saya pasti akan kelaparan kalau berada dalam perjalanan berburu,” dan “Saya ingin berjalan ke suatu kota untuk menemukan keluarga saya, berapa lama perjalanannya dari tempat saya tinggal?”
Dengan imajinasi yang sangat aktif, berarti saya senang dengan segala hal yang berkaitan dengan dunia post-apocalyptic. Akan tetapi sejak kehidupan kita banyak terekspos, kecenderungan ini menjadi berlebihan.
Dalam The Book of Overthinking: How to Stop the Cycle of Worry, ahli psikologi klinis yang berbasis di New Zealand yakni Gwendoline Smith menyediakan bimbingan praktis untuk mengelola aliran pikiran yang semacam itu, yang pasti muncul di tengah-tengah maraknya berita yang mengabarkan tentang kekacauan.
Apa itu overthinking?
Baginya, pengertian overthinking dari kamus online Merriam-Webster adalah yang paling mendekati. Di sini, overthinking diartikan sebagai aktivitas memikirkan sesuatu secara berlebihan, menghabiskan waktu terlalu lama untuk memikirkan atau menganalisa sesuatu yang justru lebih berdampak merugikan.”
Menurutnya, overthinking mungkin saja tentang sesuatu yang positif (seperti membayangkan bagaimana menyenangkannya liburan di awal lockdown) dan juga problematik, misalnya dengan memprediksi adanya bencana seperti saga akhir dunia yang saya pikirkan. Yang terakhir ini disebut sebagai “worrisome overthinking” atau singkatnya hanya “khawatir.” Hal itu juga bisa saja termasuk momen “merenung” di mana Anda membayangkan kembali masa lalu, melebih-lebihkannya, dan menjadi penyebab stres Anda saat ini.
Lewat catatan penulis, tulisannya didasarkan pada teori cognitive behavioural therapy (CBT). “Penekanan yang paling penting dari pendekatan ini adalah untuk mengajarkan orang-orang tentang bagaimana mereka berpikir dan dengan demikian menyediakan alat dan strategi untuk mengelola perasaan mereka dengan lebih baik,” jelasnya.
Karena bukunya membantu saya dalam mengatasi pikiran-pikiran yang liar, saya berbicara dengan Gwendoline tentang beberapa petuahnya.
1. Kekhawatiran bisa menjadi bentuk dari superstitious
Sama halnya ketika Anda berjalan di bawah perancah atau panik melihat sepasang sepatu Stan Smiths yang diletakkan di atas meja dapur Anda, kekhawatiran bisa dipahami sebagai perilaku yang berhubungan dengan takhayul.
“Kekhawatiran dikaitkan sebagai ‘perilaku superstitious’ yang menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan,” jelas Gwendoline kepada saya. “Kebiasaan ini diperkuat dengan dua sistem kepercayaan mitologis yang jauh berbeda. Pertama, kekhawatiran yang sifatnya mencegah dan yang lain bersifat memprediksi. Pada intinya, yang dimaksud di sini adalah individu tersebut percaya jika mereka khawatir maka mereka dapat bertahan dan mencegah hal-hal buruk terjadi.
“Kedua, mereka percaya bahwa bentuk overthinking yang seperti ini juga akan membuat mereka memiliki kemampuan untuk memprediksi sehingga mereka menjadi lebih siap bila sesuatu yang buruk terjadi.
“Kata prediksi dalam konteks ini adalah unsur yang esensial dari overthinking yang meresahkan, yang didefinisikan sebagai ‘prediksi dari kejadian negatif.’”
Mengingat tidak ada satu orang pun yang mampu memprediksi masa depan, kita dapat memahami bahwa overthinking sebagai prediksi dalam konteks ini tidaklah benar. Membebaskan diri Anda dari keyakinan bahwa khawatir dapat membuat Anda menjadi lebih aman atau membantu Anda menjadi lebih siap siaga terhadap sesuatu yang buruk bisa membuat Anda merasa lebih lega.
2. Pikiran atau hal yang Anda yakini bukanlah fakta
Sekalinya ada bayangan di dalam benak yang membuat pikiran Anda melebar, dapat dikatakan bahwa itu semua bukanlah realita. Akan tetapi, apa yang Anda yakini bukanlah fakta (terima kasih kepada orang-orang yang mengira bahwa mereka bisa mengarungi lautan hingga ke ujung bumi.)
“Hasil pemikiran dari keyakinan Anda terhadap suatu takhayul inilah yang membuat orang-orang berada dalam ketakutan baik secara fisik maupun emosional (respons fight/flight),” jelas Gwendoline. “Anda bisa saja percaya bahwa Anda adalah peramal, tetapi itu tidak membuatnya sebagai pernyataan fakta. Berdasarkan ini maka apa yang Anda percaya atau yakini bukanlah fakta.”
3. Hadapi pikiran Anda
“Dari pengalaman saya, strategi paling efektif untuk mengatasi kekhawatiran adalah dengan menantangnya,” ucap Gwendoline. “Meningkatkan kesadaran tentang rasionalitas pikiran sangat membantu. Pastikan bahwa pikiran Anda didasarkan pada fakta/kebenaran/realita dan tanyakan pada diri Anda sendiri apakah cara berpikir semacam ini membantu atau tidak.”
Dalam bukunya, Gwendoline menyediakan serangkaian ‘flashcard’ yang dapat Anda gunakan untuk menghadapi pikiran-pikiran yang tidak perlu. Cara-caranya di antaranya termasuk: “Bagaimana pikiran ini bisa membantu saya?,” “Sampai sejauh mana pikiran ini menarik saya?” dan “Perasaan dan kepercayaan bukanlah fakta.” Cobalah untuk menghadapi pikiran Anda dengan cara ini dan hapus kekuatan pikiran itu.
4. Mengatakan ‘Saya tidak seharusnya khawatir’ itu tidaklah berguna
Ketika Anda mulai terjun ke dalam pikiran yang diawali dengan kata “seharusnya,” tahan diri Anda. “Penekanan pada kata-kata yang meracuni pikiran harus keluar dari terapi Rational Emotive,” ujar Gwendoline. “Memikirkan sesuatu yang dimulai dengan kata ‘seharusnya’ memunculkan perasaan yang tidak baik, seperti:
- Saya seharusnya = penyesalan
- Mereka seharusnya = kemarahan, frustasi, kekecewaan
- Saya harus – tekanan
“Poin yang ingin saya katakan adalah jika Anda berkata pada diri Anda untuk seharusnya tidak khawatir (terlepas dari suatu kegagalan) maka akhirnya Anda akan menjadi lebih khawatir lagi. Saat Anda mengatakan kepada otak Anda untuk seharusnya tidak khawatir, otak Anda justru akan mendatangkan pikiran yang macam-macam secara lebih intens.
“Pahami apa yang terjadi ketika saya mengatakan 'Sekarang, fokuslah pada apa yang Anda baca dan apa yang Anda lakukan. Jangan pikirkan tentang unta, padang pasir, piramida, dan lainnya.””
Apakah Anda mulai memahaminya? Cara yang lebih baik adalah untuk menghadapi sendiri pikiran Anda seperti yang disampaikan sebelumnya.
5. Beberapa orang lebih mudah overthinking dibandingkan dengan yang lainnya
Rasanya menyebalkan ketika kita tahu ada beberapa orang yang sepertinya bisa menjalani hidupnya tanpa khawatir sama sekali, sementara yang lain harus berjuang untuk tidur tenang dengan pikiran-pikiran yang terus menghantui. Terkadang, hal ini menimbulkan tekanan dalam hubungan persahabatan atau asmara ketika seseorang mengatakan, “Semuanya akan baik-baik saja, santai saja.” Dalam konteks ini, ada oraang yang merasa bahwa ucapan itu terkesan tidak memberi perhatian,
“Pemahaman seperti ini datang dari penelitian tentang pengaruh biologis terhadap temperamen seseorang. Diperkirakan, pengaruh kondisi biologis pada kecemasan Hi Trait adalah sekitar 20-40 persen. Maka dari itu, ada orang-orang yang lahir dengan tingkat sensitivitas (terhadap kecemasan) yang lebih tinggi,” jelas Gwendoline.
6. Bedakan antara overthinking dan rasa peduli
Ketika dunia tengah kacau, rasanya bukan tindakan yang bijak jika Anda menghalau semua kekhawatiran Anda dan kemudian menonton Netflix. Jika Anda punya waktu, bekerjalah sebagai relawan untuk mendalami penyebab dibalik hal yang Anda pikirkan secara berlebihan, misalnya menjadi relawan di food bank lokal atau kelompok perubahan iklim. Hal ini dapat membantu membuat hari-hari Anda menjadi lebih bermanfaat. Menurut Gwendoline, yang membedakannya di sini adalah tentang rasa khawatir dan rasa peduli.
“Kekhawatiran adalah pikiran yang berbelit-belit namun tidak akan membawa Anda ke mana-mana, terlepas dari rasa cemas,” katanya. “Sementara kepedulian memiliki tujuan yang spesifik, yaitu rentang waktu, solusi, tindakan, dan rencana. Hal ini lebih membantu dan konstruktif.”
Hindarkan diri Anda dari masa lalu dan hadapi masa depan.
(Artikel ini disadur dari: Bazaar UK; Penulis: Claudia Canavan; Alih bahasa: Erlissa Florencia; Foto courtesy of: Bazaar UK)