Selama lebih dari satu abad, NGO yang dikenal dengan nama Save the Children berdiri sebagai pelindung masa depan anak-anak di seluruh dunia. Berangkat dari keyakinan bahwa setiap anak berhak atas hidup yang sehat, kesempatan belajar, serta perlindungan dari kekerasan, organisasi ini terus bekerja tanpa henti baik pada hari-hari biasa maupun dalam situasi penuh krisis. Di Indonesia, kiprah mereka dimulai pada 1976 di Aceh, menandai awal perjalanan panjang untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi tanpa syarat. Pada 2024, melalui kemitraan dengan 74 organisasi lokal, lembaga pemerintah, dan komunitas, Save the Children berhasil menjangkau lebih dari 773.000 anak serta hampir satu juta orang dewasa di 1.325 desa di 20 provinsi. Hingga kini, komitmen itu tidak pernah bergeser mereka terus memperluas dampak yang inklusif, kolaboratif, dan berkelanjutan bagi anak-anak di seluruh Indonesia.
Dalam semangat yang sama, lahirlah Citta Mandala sebuah gala dinner yang terinspirasi dari bahasa Sanskerta. “Citta” melambangkan welas asih, sementara “Mandala” merepresentasikan lingkaran persatuan dan tujuan. Diselenggarakan di Bali, Citta Mandala menjadi tempat di mana para tamu terhormat berkumpul untuk menyatukan langkah demi masa depan anak-anak Indonesia. Malam ini bukan sekadar perjamuan; ia adalah ruang yang dibangun dari empati, kemurahan hati, dan harapan. Melalui lelang amal, penjualan karya seni, dan kontribusi langsung, setiap tindakan kebaikan turut memperkuat kemampuan Save the Children menghadirkan perlindungan bagi anak-anak di penjuru negeri.
Indonesia, negeri dengan keelokan alam dan keragaman budaya yang memikat dunia, berdiri pula sebagai salah satu negara paling rawan bencana. Terletak di Cincin Api Pasifik, bumi Nusantara kerap diguncang gempa, diterjang tsunami, erupsi gunung api, banjir, hingga longsor yang menjadi ancaman kian diperparah oleh krisis iklim. Peristiwa banjir besar di Bali pada September lalu menjadi bukti nyata. Seorang ayah, Bagus, mengingat detik-detik menegangkan ketika bayi sembilan bulannya sempat terseret arus. Sementara itu, Laras, ibu lainnya, mengisahkan bagaimana ia terpaksa mengangkat bayinya hingga ke langit-langit rumah untuk menyelamatkannya. Data BNPB pada 2024 mencatat 5.593 bencana yang menggusur 5,6 juta penduduk dan merusak ratusan sekolah sebuah gambaran tentang masa depan yang kian mengkhawatirkan bagi anak-anak Indonesia.
Dalam setiap krisis, anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. Mereka menghadapi risiko cedera, kehilangan keluarga, kehilangan tempat tinggal, serta trauma psikologis yang membekas panjang. Gangguan pada pendidikan, runtuhnya rasa aman, hingga meningkatnya potensi eksploitasi menjadi konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Laporan global Born into the Climate Crisis menunjukkan generasi yang lahir hari ini berpotensi mengalami dua kali lebih banyak kekeringan, tiga kali lebih banyak gagal panen, dan hampir delapan kali lebih banyak gelombang panas dibandingkan generasi kakek-nenek mereka. Masa depan yang mereka hadapi memerlukan perlindungan yang cepat, tepat, dan penuh perhatian.
Save the Children Indonesia memiliki rekam jejak panjang dalam merespons krisis kemanusiaan. Sejak operasi besar mereka pascatsunami Aceh 2004 sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah organisasi tim Save the Children terus hadir di berbagai titik bencana besar: erupsi Merapi 2006, tsunami Mentawai 2010, gempa Pidie Jaya 2016, erupsi Gunung Agung 2017, gempa Lombok 2018, bencana di Palu dan Donggala 2018, gempa Cianjur 2022, hingga erupsi Lewotobi 2025. Respons cepat mereka meliputi penyediaan bantuan darurat, ruang ramah anak di pos pengungsian, hingga kelas belajar sementara. Tidak hanya itu, Save the Children juga menerapkan pendekatan antisipatif dari bantuan tunai sebelum bencana diprediksi terjadi, serta pelatihan kesiapsiagaan bagi komunitas. Pendekatan proaktif ini terbukti mampu menyelamatkan lebih banyak nyawa dan mengurangi kerugian jangka panjang.
Karena itulah Citta Mandala hadir sebagai ruang untuk memperluas jangkauan perlindungan ini. Dalam lingkaran welas asih tersebut, para tamu menjadi bagian dari gerakan yang memastikan tidak ada anak yang berdiri sendirian saat bencana melanda. Malam itu, kemurahan hati menjelma menjadi perlindungan nyata dengan membantu menyediakan ruang aman, memperkuat sistem pendidikan darurat, dan mendukung teknologi yang dapat memberi peringatan dini bagi keluarga yang tinggal di wilayah rawan bencana. Dengan kebutuhan pendanaan sebesar USD 150.000 (setara 2,4 miliar rupiah), setiap kontribusi menjadi penggerak perubahan bagi anak-anak Indonesia.
Setiap rupiah yang diberikan di Citta Mandala memiliki daya hidupnya sendiri IDR 100 juta dapat menghadirkan ruang kelas sementara bagi 27 anak di Lewotobi. kemudian 483 juta rupiah dapat membangun sumur resapan di Bali dan Bandung demi mencegah banjir; sementara 138 juta rupiah cukup untuk mendanai sistem peringatan dini yang memberi keluarga waktu untuk menyelamatkan diri. Malam yang penuh empati ini adalah undangan untuk berperan dalam membangun masa depan yang lebih aman. Di tangan para dermawan, harapan menemukan bentuknya menerangi perjalanan anak-anak Indonesia menuju masa depan di mana mereka dapat belajar, tumbuh, bertahan, dan dilindungi.