Ayah Bisa Apa Terhadap Perkembangan Media Sosial dan Pola Asuh Anak?

Sebagai seorang Ayah, Michael Tampi menceritakan pengalaman dan berbagi tips dalam mengasuh putrinya yang sudah terpapar media sosial sejak usia batita.



Mika, seorang anak yang masuk dalam kategori Generasi Alpha (lahir setelah tahun 2010). Memiliki seorang ayah, yaitu saya sendiri, yang masuk dalam kategori Generasi Milenial, lahir di antara tahun 1980-1994

Mika, dalam perkembangannya selam 9 tahun ini, sangat fasih menggunakan media sosial. Orang tuanya sudah dibuat terheran-heran saat usia batita pun sudah bisa menggunakan YouTube dengan mudah. Apalagi di usia 9 tahun ini, segala bentuk media sosial termasuk chat messaging dapat ia kuasai dengan cepat.

Sementara sang Ayah? Tidak ada pilihan selain beradaptasi dengan segala kecepatan dunia digital, khususnya media sosial.

You are what your read

Tentunya quote ini bukan suatu yang baru kita dengar. Namun di era ini, lebih tepatnya adalah

"You are what you read, and watch”

Dan kita sebagai orang tua, khususnya Ayah, sebaiknya turut berperan aktif dalam pola asuh anak di era digital ini, sehingga informasi apapun yang dikonsumsi anak melalui sosial media tidak hanya tersaring dengan baik tapi juga dapat bermanfaat bagi tumbuh kembang anak.

Dampak media sosial dalam dunia parenting

Sudah banyak literasi mengenai dampak media sosial pada anak. Namun dalam kesempatan ini saya ingin berbagi dari pengalaman yang terjadi pada saya.

Dampak media sosial terhadap Mika yang pertama terutama adalah tingginya screen time. Terutama sejak pandemi, di mana sekolah menjadi online. Kecenderungan untuk memegang gadget (walaupun dalam hal ini kami belum memberikan secara eksklusif), namun terlihat sekali peningkatan waktu screen time berbanding kegiatan fisiknya.

Perkembangan algoritma media sosial pun saya yakini menjadi salah satu faktornya, mengapa? Karena dengan algoritma yang semakin kuat, media sosial menyuguhkan konten-konten yang relevan, yang sesuai dengan interest dari penggunanya, contohnya TikTok.

Tidak heran kalau Mika pun bisa menghabiskan waktu hitungan jam untuk melihat konten-konten tersebut, tidak perlu susah payah dicari, algoritma yang cerdas sudah menyuguhkan secara otomatis dan terus menerus.

Dengan meningkatnya screen time, apalagi bila bukan hanya terjadi pada anak, juga terjadi pada orang tuanya, tentunya hal ini akan berdampak langsung dengan berkurangnya interaksi dalam keluarga.

Dampak media sosial lainnya yang harus diwaspadai orang tua adalah bagaimana media sosial berujung pada yang disebut social validation. Dalam pengalaman saya, sempat terjadi masanya di mana Mika sangat memperhatikan angka-angka pada YouTube channelnya.

Jumlah subscriber menjadi perhatiannya setiap hari, jumlah likes pun tidak luput dari pantauannya. Apalagi bila ada seseorang yang tak dikenal menekan pilihan dislike, muncul pertanyaan dan juga kegelisahan dari Mika, seakan-akan ada hal salah yang dia lakukan.

Contoh lebih ekstrem terjadi pada anak teman saya, di mana anak itu bisa tantrum berhari-hari dan menghubungi teman-teman orang tuanya untuk meminta likes pada kontennya. Inilah yang disebut “How social media validation affetcts kids”.

Berbagai penelitian bahkan menyebutkan dampak buruknya bisa berakibat pada sikap antisosial, sikap rendah diri, kecemasan, bahkan bukan tidak mungkin berujung pada tindakan kejahatan. Untuk itu, kehadiran Ayah dan Ibu dalam menyertai anak mengkonsumsi sosial media menjadi sangatlah penting di era digital ini.

Lalu, apakah semuanya buruk?Tidak.

Dampak media sosial yang positif saya rasakan dalam perkembangan Mika, tentunya dengan pendampingan, Mika memiliki pengetahuan yang jauh melebihi orang tuanya saat di usianya. Bahkan beberapa hal baru dalam hal science saya dengar dari Mika.

Yup, bila media sosial memang digunakan secara spesifik untuk perkembangan minat anak, untuk mencari jawaban atas hal-hal yang diperlukan sesuai usianya, saya melihat sendiri bagaimana Mika bisa berkembang secara positif.

Melihat dari 3 dampak diatas, lalu kita sebagai Ayah bisa apa?

Tips dari saya adalah :

1. Ayah harus fasih sosial media.

Wah kok pressure ya? Oke lah, tidak harus fasih, tapi sebaiknya bisa mengetahui dan mencoba segala macam media sosial, terutama media sosial yang kerap digunakan oleh anak kita. Untuk apa? Agar kita bisa “relate” atau “nyambung” dengan anak. Kita bisa berinteraksi dengan nyaman, mengetahui kekurangan dan kelebihan media sosial tersebut, sehingga kita bisa menjelaskan dengan cara yang baik dan dimengerti oleh anak. Bahkan yang lebih menyenangkan lagi, kita bisa bermain media sosial bersama dengan anak.

2. Tidak bisa hanya dengan melarang.

Sebagai ayah dan orang tua di era digital ini, media sosial tidak dapat dihindari. Kita tidak bisa hanya melarang, yang bisa kita lakukan adalah memberikan ruang, tentunya sesuai dengan usia anak, kita dapat berdiskusi mengenai segala manfaat dan juga damapak buruk sosial media terhadap anak.

3. Children see children do.

Apapun yang anak-anak lihat dari orang tuanya, itu yang akan mereka ikuti dan lakukan juga. Berhati-hatilah apabila kita kerap menegur apalagi menghukum anak dalam hal screen time contohnya, sedangkan kita sebagai ayah pun bila sampai di rumah, tidak bisa lepas dari handphone kita.

Sekali lagi, apapun yang anak-anak lihat dari orang tuanya, itu jadi contoh bagi anak. Batasi waktu screen time kita sebagai Ayah saat di rumah, adalah cara yang paling efektif untuk kita mengatur waktu screen time anak. Dan tentunya meningkatkan quality time kita dengan keluarga.

4. Arahkan penggunaan sosial media.

Sebagai Ayah, saya mencoba untuk memiliki waktu ngobrol santai dengan Mika, untuk mengetahui apa sih minatnya. Apa sih yang dia temukan di media sosial belakangan ini. Apa sih yang menarik baginya dan juga yang trending saat ini.

Apakah ada yang ia rasakan tidak menyenangkan atau bahkan membuatnya sedih saat bermain media sosial? Mengapa obrolan santai seperti ini penting? Karena kita sebagai orang tua perlu mengetahui secara persis informasi ataupun pengajaran apa yang sedang dia konsumsi di media sosial. Dengan begitu kita bisa berdiskusi, dan mengarahkan kembali ke hal-hal yang positif dan sesuai minatnya.

5. Manfaatkan sosial media untuk bonding.

Hal cerdas lainnya yang bisa kita lakukan adalah, bersama-sama menggunakan media sosial. Kita bisa mencari konten-konten edukatif yang bisa dicoba dilakukan bersama. Contohnya adalah konten yang bersifat science ataupun aktivitas permainan bersama, sehingga kita dapat mencobanya dalam kegiatan yang real. Atau bahkan saat ini bermunculan juga kebersamaan Ayah dan anak dalam melakukan berbagai challenge di sosial media sebagai konten mereka.

Kesimpulannya berdasarkan pengalaman saya mengasuh Mika dan adiknya yang merupakan Generasi Alpha ini adalah: dunia digital berkembang begitu cepat dan tak terbatas. Selalu ada dua sisi baik dan buruk. Anak-anak kita akan begitu cepat beradaptasi dengan teknologi dan kecepatan informasi.

Menjawab judul dari tulisan ini, yang bisa Ayah lakukan adalah kehadiran kita mendampingi anak dalam aktivitas media sosialnya, suka tidak suka kita harus bisa mengikuti kecepatan perkembangan media sosial, memiliki literasi digital yang baik, sehingga dapat berdampingan mengiringi anak tanpa justru menimbulkan friksi antara orang tua dan anak.


Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dan selamat mendampingi sang buah hati.

(Foto: lightfieldstudios@123rf.com)