Menyebut nama Pierre Cardin, barangkali bayangan akan label fashion (dan gaya hidup) kelas menengah lekas tercetus di kepala. Wajar saja, karena dalam beberapa dekade terakhir label Pierre Cardin memang mengalami pergeseran dari statusnya sebagai label haute couture maupun high fashion legendaris menjadi label mass production. Padahal, merujuk pada sejarah fashion, nama Pierre Cardin dikenal sebagai salah satu couturier legendaris di dunia.
Perancang busana kelahiran Italia ini mengenyam pendidikan di Prancis dan mengawali kariernya di industri fashion dengan mengikuti sesi magang di sebuah butik kecil pada usia yang muda belia yakni 14 tahun. Di sana ia mulai mempelajari dasar-dasar desain fashion dan bagaimana mengkonstruksi sepotong busana.
Di tahun 1945, Pierre Cardin pindah ke kota Paris di mana ia mempelajari arsitektur lalu mulai bekerja pada rumah mode ternama seperti Elsa Schiaparelli dan Christian Dior. Saat ia bekerja untuk Christian Dior, ia turut berperan dalam proses konstruksi "New Look" yang fenomenal hingga saat ini.
Lima tahun kemudian, Pierre Cardin mendirikan rumah mode atas namanya sendiri dan berhasil mencengkeramkan cakarnya di industri mode Prancis sebagai salah satu perancang busana sekaligus couturier ternama.
Seiring dengan berkembangnya lini eponymous miliknya, Pierre Cardin berhasil menelurkan sejumlah karya-karya ikonis seperti bubble dress hingga rangkaian busana yang terinspirasi dari tema-tema futuristis yang kemudian menjadi ciri khas tren mode di era '60-an.
Pierre Cardin juga merupakan couturier pertama yang meluncurkan koleksi ready-to-wear untuk department store Printemps di Paris. Selain itu, untuk pertama kalinya ia juga menggagas praktik pembubuhan logo maupun label desainer pada setiap busana yang diproduksi. Praktik ini kemudian diadaptasi oleh desainer maupun rumah mode lainnya dan menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari industri mode dunia.
Seiring dengan turunnya permintaan akan koleksi haute couture di era '60 dan '70-an, Pierre Cardin meraup keuntungan dengan rancangan-rancangan ready-to-wear miliknya. Konsisten melahirkan koleksi-koleksi yang ikonis dan modern, ia pun dianggap sebagai salah satu perancang dengan desain paling visioner di masanya.
Kejayaan Pierre Cardin sebagai label high fashion mulai bergeser pada era '90-an. Ia pun mulai membatasi frekuensi peragaan busana yang hanya boleh dihadiri oleh klien dan jurnalis terpilih. Pierre Cardin juga sempat menjual lisensi labelnya dan memilih untuk rehat dari industri fashion.
Kendati memutuskan untuk rehat panjang dari hiruk pikuk industri mode, Pierre Cardin tetap konsisten menggelar pameran retrospektif di berbagai negara. Pameran arsip rancangan-rancangan ikonisnya selalu berhasil menjaring minat yang tinggi di antara para pencinta fashion.
Tahun 2017 ini, di usianya yang ke 95 tahun Pierre Cardin memutuskan untuk kembali unjuk gigi di industri fashion dengan meresmikan sebuah butik baru di Rue Royale, pusat kota Paris.
Rangkaian dress dengan desain bertemakan mod chic khas era '60-an, yang dibalut dalam pilihan warna-warna solid khas rancangan futuristis ala Pierre Cardin di masa lampau, dihadirkan dengan harga sekitar 2.000 euro. Butik yang menawarkan koleksi read-to-wear ini sengaja ditujukan bagi kaum muda yang berani tampil fun, high fashion, maupun avant garde sesuai dengan spirit Pierre Cardin sejak dahulu kala.
Dalam sebuah wawancara, Pierre Cardin mengatakan bahwa lini ini secara khusus menyasar golongan muda, dengan ragam pilihan rancangan yang unik dan atraktif. Selain menawarkan busana siap pakai, butik ini juga menjual sederet scarf bergaya klasik hingga parfum.
"Seseorang bisa saja mencoba untuk memulai kembali, saya sudah cukup tua untuk memulai dari awal lagi. One must leave it to the young people," tutur sang desainer legendaris tersebut.
(Foto: courtesy of Pierre Cardin)