Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Debut Louise Trotter di Bottega Veneta

Koleksi perdananya menghadirkan permainan volume, gerak, dan aura percaya diri.

Debut Louise Trotter di Bottega Veneta
COURTESY OF BOTTEGA VENETA

Di barisan depan show Bottega Veneta semalam, tampak seorang perempuan elegan yang mencuri perhatian justru karena kesederhanaannya. Ia mengenakan gaun rajut navy dengan kancing emas besar, kacamata cat-eye futuristik, stoking hitam, sepatu flats sederhana, serta dua untai mutiara di lehernya, satu pendek tebal, satunya panjang ramping. Ia duduk di samping ikon Lauren Hutton, tanpa sibuk memotret atau membuat konten.

BACA JUGA: Bottega Veneta Rayakan 50 Tahun Anyaman Intrecciato

Perempuan itu adalah Laura Braggion, salah satu pendiri Bottega Veneta sekaligus direktur kreatif perempuan pertama rumah mode tersebut.

Tak heran jika sosok Laura kemudian menjadi sumber inspirasi bagi koleksi Spring 2026 garapan Louise Trotter yang baru saja resmi melangkah sebagai direktur kreatif Bottega. “Saya membayangkan perjalanannya ke New York, bagaimana ia membawa identitas perempuan Italia lalu menemukan kebebasan di sana,” ujar Louise di balik panggung. Laura sendiri yang membuka butik pertama Bottega di kota itu pada 1972. Tahun depan, rumah mode ini akan merayakan 60 tahun usianya.

Bottega Veneta
COURTESY OF BOTTEGA VENETA

Koleksi debut Louise jelas memperlihatkan penghargaan pada warisan Bottega Veneta: potongan yang puitis, detail konstruksi yang presisi, dan busana yang terasa hidup saat bergerak di tubuh. Namun, ada juga keberanian segar lewat siluet besar, tailoring tegas, hingga permainan volume. Semua ini seakan rangkuman perjalanan panjang Louise di dunia mode dari Whistles, Joseph, Gap, Tommy Hilfiger, Calvin Klein, hingga Lacoste dan Carven. Menariknya, ia kini menjadi satu-satunya perempuan yang memimpin rumah mode di bawah naungan Kering.

Pertunjukan digarap dengan sentuhan dramatis dari seniman sekaligus sutradara Steve McQueen, yang memadukan dua versi lagu “Wild Is The Wind” milik Nina Simone dan David Bowie. Pilihan ini simbolis, karena versi Nina Simone dirilis tahun 1966, tahun berdirinya Bottega Veneta.

Di atas runway, gaun-gaun tampak seperti “jatuh” alami berkat konstruksi kain berkanvas. Rok pensil diberi sentuhan playful dengan rumbai fiberglass ombré yang berayun seiring langkah model. Ada pula kemeja kotak-kotak berkerah besar, setelan tailoring maskulin, hingga atasan boxy dengan siluet longgar.

Materialnya beragam: satin kulit, wol Italia berkualitas tinggi, serta anyaman Intrecciato yang khas. Satu look yang menonjol: jaket kulit coklat dengan pinggang mengecil dipadu celana longgar. Sementara itu, tas-tas baru tampil “scrunchy” dan lentur, terinspirasi dari clutch ikonik yang pernah dipakai Hutton di film American Gigolo.

Bottega Veneta
COURTESY OF BOTTEGA VENETA

Aksesori lain tak kalah menarik, mulai dari stola Intrecciato yang dililit santai di leher, hingga sepatu dengan detail simpul besar di bagian tumit. Semuanya seakan menegaskan bahasa desain Bottega yang mengandalkan craft dan material, bukan logo mencolok.

Bagi Louise, arsip Bottega era akhir 1960-an menjadi titik awal. “Saya menemukan fungsionalitas yang lembut dalam tas, sekaligus keberanian perempuan yang saat itu mulai bebas mengekspresikan diri,” ujarnya. Prinsip itu ia bawa ke koleksi ini: percaya diri tanpa perlu simbol atau monogram berlebihan.

Pertunjukan ini terasa intim dan penuh makna, bukan sekadar pameran busana. Louise berhasil merangkai kembali kisah pendiri Bottega dan menenunnya dalam koleksi barunya, sambil membuka jalan menuju era baru rumah mode tersebut.

BACA JUGA: Louise Trotter Resmi Menjadi Direktur Kreatif Bottega Veneta

(Penulis: Brooke Bobb; Artikel ini disadur dari: BAZAAR US; Alih bahasa: Kayra Himawan; Foto: Courtesy of BAZAAR US)