Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Menyulam Sejarah dan Gaya Lewat Berkain

Saat rasa bahagia menjadi dasar kecintaan pada budaya dan sejarah, bagaimana generasi muda menjadikan kain dan kebaya Nusantara bagian dari keseharian mereka?

Menyulam Sejarah dan Gaya Lewat Berkain
Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Saat membicarakan warisan budaya Indonesia, gaya yang memadukan elemen etnik sering kali tidak langsung terlintas di pikiran saya. Hingga suatu ketika, pada tahun 2018, saya melihat salah satu kain dari koleksi Sejauh Mata Memandang. Tanpa berpikir panjang, saya langsung membelinya meski belum tahu bagaimana cara memakainya. Ternyata, kain itu menjadi titik awal kecintaan saya pada kain, karena bisa dipakai dengan berbagai cara, sebagai dress lilit, rok lilit, hingga luaran sehari-hari. Dari pengalaman itu, saya mulai lebih menghargai kain dan ingin mengoleksi lebih banyak lagi.

BACA JUGA: Baur Kain Tradisional dengan Gaya Modern: Ambilah Inspirasi dari Tampilan Para Selebriti Ini

Selain kain, tentu tak bisa dilepaskan dari kebaya. Belakangan ini, muncul kampanye #KitaBerkebaya yang digagas Bakti Budaya Djarum Foundation untuk melestarikan budaya bangsa. Banyak selebritas dan tokoh Tanah Air terlihat mengenakan kebaya dengan gaya mereka masing-masing tetapi tetap terasa modern, relevan dengan zaman, namun tetap kental dengan identitas Indonesia.

Tampilan busana terasa semakin istimewa dengan kehadiran kain yang begitu kuat maknanya. Tak sedikit yang sepakat bahwa kebaya dan kain kini tak lagi sekadar busana tradisional atau simbol nostalgia.

Masih ingat dengan tagar #BerkainBersama yang sempat populer sekitar 2021–2022? Saat itu, banyak anak muda mengunggah foto mengenakan kain dalam gaya sehari-hari. Ada yang memadukannya dengan denim, kaus sederhana, bahkan sneakers. Tren itu membuat saya semakin bersemangat bereksperimen, sekaligus menyadari bahwa kain tradisional tidak harus terbatas pada acara formal. Padahal sebelumnya, saya dan teman-teman seumuran selalu mengaitkan kain dengan momen khusus seperti pernikahan, acara resmi, atau kunjungan ke tempat yang mengharuskan berkain. Inspirasi gaya pun saat itu masih terbatas.

Ternyata saya tidak sendiri. Dalam obrolan dengan Bev Tan yang dikenal lewat akun Instagram @odetoless, ia berbagi kisah serupa. Bev bercerita bahwa kain pertamanya yang berkesan adalah kain Pagi Sore bermotif ayam dari Sejauh Mata Memandang. “Ada sesuatu yang terasa dekat dari kain itu, mungkin karena simbol warnanya atau cerita di balik motifnya,” ungkapnya. Meski awalnya ia belum tahu cara memakainya dengan tepat hingga kain tersebut lebih sering tersimpan di lemari, justru dari sanalah perjalanannya dengan kain dimulai, hingga akhirnya ia mantap untuk benar-benar belajar mengenakan kain dalam keseharian.

Pengalaman yang berawal dari ketidaksengajaan ini ternyata juga dirasakan oleh teman saya. “Awalnya ketika melihat kain nusantara dijadikan runner dan dekorasi restoran, saya merasa warna-warnanya sangat atraktif saat dipadukan dengan hidangan. Lalu saya berpikir, lucu juga kalau kain seperti ini dikenakan di tubuh,” ujar Michelle Othman selaku Senior Fashion Editor Harper’s Bazaar Indonesia.

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Selain daya tarik visual, ada pula yang rasa cintanya terhadap kain lahir dari pengalaman personal. Seperti Rania Yamin, keturunan keluarga Mangkunegaran sekaligus content creator yang dikenal sebagai salah satu pelopor gaya berkain dalam keseharian generasi muda. Awalnya saya mengira, wajar bila ia menyukai kain Nusantara karena latar belakang keluarganya. Namun ternyata, alasan utamanya justru berangkat dari kenyamanan.

"Sejak kecil aku sudah dibuatkan kebaya dan kain khusus. Pertama kebaya putih dengan kain biru, semacam tenun yang berbeda dari kain favoritku sekarang. Di Mangkunegaran, sehari-hari memang semua orang terbiasa berkain, jadi sejak kecil aku sudah terbiasa melihat perempuan di sekitarku mengenakan rok dan kain. Saat aku mengenakan kain, rasanya sejuk dan ringan, terutama kain sutra lama yang tipis. Dari kenyamanan itu akhirnya tumbuh kecintaanku terhadap motif-motif kain," jelas Rania.

Filosofi Berkain

Berkain pada dasarnya adalah aktivitas atau gerakan mengenakan kain tradisional seperti batik, tenun, songket, hingga lurik baik dalam momen formal maupun nonformal. Indonesia yang kaya akan warisan budaya memiliki begitu banyak ragam kain, dengan jutaan motif, warna, sejarah, nilai filosofis, dan cara pemakaian yang unik.

Ketika saya menanyakan filosofi di balik kebiasaan berkain, Rania Yamin menjawab dengan sederhana. “Saya tidak punya filosofi khusus, saya hanya suka memadupadankan motif-motif buatan nenek moyang kita. Dengan begitu, ensambel yang saya kenakan punya makna. Alih-alih filosofi, saya menjadikannya prinsip dalam berbusana: jangan takut memakai kain atau motif yang ramai, karena itu bentuk penghargaan terhadap leluhur kita,” tuturnya. Rania pun mengungkap kegemarannya pada motif bunga Wijaya Kusuma, warisan dari eyang buyutnya.

Setiap kain Nusantara memang memiliki estetika dan keunikan tersendiri. Lebih dari sekadar busana, kain adalah benda tak lekang oleh waktu, simbol sejarah dan budaya yang patut dilestarikan. Saat seseorang mengenakan kain, seolah mereka tak hanya berpakaian, melainkan juga menyuarakan cerita di balik kain tersebut, layaknya memakai sebuah karya seni.

Bev Tan menambahkan, “Berkain bisa dianggap sebagai gerakan perlawanan halus terhadap fast fashion, karena kain itu abadi. Ia tidak terikat tren, kain juga mengikuti tubuh kita seiring perubahan, bukan memaksa kita untuk menyesuaikan diri dengannya.”

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Kain dan Gaungnya Kini

Keberadaan organisasi anak muda yang giat menggaungkan aktivitas berkain menjadikan kain tradisional semakin dekat dengan keseharian generasi masa kini. Dari tampilan kasual saat nongkrong di kedai kopi hingga jalan-jalan di pusat perbelanjaan, kain kini hadir sebagai elemen fashion yang inspiratif. Apalagi, di era media sosial, gaya berkain yang muncul dengan cepat bisa direka ulang menjadi bagian dari street style sehari-hari.

Menurut Rania, hadirnya inspirasi gaya jalanan dengan kain membuat anak muda semakin berani mencoba tanpa merasa terikat oleh pakem budaya yang kaku. “Saya salut sekali dengan generasi sekarang. Mereka pakai kain tanpa terlalu memikirkan pakemnya, karena kalau terlalu terpaku justru jadi tidak nyaman dan memusingkan diri sendiri. Padahal kain itu harus terus diselaraskan dengan zaman agar makin berkembang. Tentu saja, selama tidak dikenakan di lingkungan Keraton, berkain seharusnya bisa memberi rasa bahagia bagi kita semua,” jelasnya.

Menyatukan kain Nusantara dengan gaya street style membuatnya terasa dekat dengan kehidupan modern, lebih approachable, dan tidak lagi kaku. Namun, dari sisi bisnis, masih ada tantangan dalam menarik minat generasi muda. Meski pilihan kain dari segi desain dan harga kini cukup beragam, banyak penjual belum maksimal memanfaatkan media sosial atau e-commerce. Beberapa toko kain bahkan masih terkesan “intimidatif” dengan suasana gelap atau desain yang kurang ramah bagi anak muda.

Foto: Courtesy of BAZAAR Indonesia

Rania mencontohkan, batik tulis dengan harga terjangkau sebenarnya sudah ada, tetapi belum ada platform online yang benar-benar menjadi top of mind. Inilah mengapa Pasar Wastra buatan Swara Gembira cukup diminati, karena menawarkan batik cap dengan harga ratusan ribu, sesuatu yang jarang ditemukan. Ia juga menegaskan, kain hanya bisa disebut batik bila menggunakan teknik tulis atau cap, bukan sekadar kain bermotif batik.

Bev Tan menambahkan, penjual kain Nusantara perlu lebih memperhatikan gaya hidup generasi muda dari cara mereka berpakaian sekaligus cara mereka berbelanja. “Yang tidak kalah penting, hadir secara online,” ungkapnya, sambil menyebut Javapitu sebagai salah satu toko kain favoritnya yang mudah diakses digital.

Seperti pepatah “dari mata turun ke hati,” hampir semua orang jatuh cinta pada kain bermula dari hal sederhana: motif yang indah, warna yang unik, kemudahan padu padan, hingga kenyamanan. Dari rasa gembira inilah, tumbuh kecintaan yang lebih dalam terhadap wastra Nusantara.

BACA JUGA: 

Intip 5 Label Fashion Lokal yang Meleburkan Kain Tradisional ke Dalam Gaya Modern

Aruna: Koleksi Imlek Perdana dari Sejauh Mata Memandang

(Baca artikel Talking Points yang berjudul Hikayat Kain & Generasi Muda yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Agustus 2025; Penulis: Astrid Bestari; Alih bahasa: Amadea Saskia Putri; Foto: Courtesy of Dok. Bazaar Indonesia)