Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

Marissa Anita Mengupas Pergeseran Lanskap Sinema Indonesia

Ketika platform streaming OTT berhasil menggoyang sekaligus memajukan industri film Indonesia, Marissa Anita menelusurinya melalui perbincangan bersama para pelakunya.

Marissa Anita Mengupas Pergeseran Lanskap Sinema Indonesia

Layanan streaming OTT (Over-The-Top) memengaruhi dunia perfilman, termasuk di Indonesia. Para pembuat film, baik yang sudah berpengalaman maupun yang baru mulai, punya pendapat yang berbeda-beda tentang kemunculan layanan OTT, baik dari luar negeri maupun dari Indonesia sendiri.

Kevin Ryan Himawan, produser dan co-founder Soda Machine Films sudah beberapa kali bekerja sama dengan Netflix. Menurutnya, layanan streaming seperti Netflix membantu perkembangan film Indonesia. Mereka punya standar tinggi dalam cerita, karakter, gambar, dan suara. Ia juga bilang Netflix mau mengeluarkan dana besar untuk menghasilkan tayangan yang bagus.

“Mereka sangat respect terhadap kreator,” tambah Lucky Kuswandi, sutradara dan “partner-in-crime” Kevin di Soda Machine Films. 

“Mereka mau memastikan visi kita apa pun itu tersampaikan ke penonton. Mereka terbuka dan progresif dengan topik yang ingin kita bahas. Meski begitu, it's not easy juga. It’s very high stakes karena mereka invest besar di sini. Kita tentu ingin mendapatkan kepercayaan dari mereka dan di saat yang sama kita juga masih bisa bersikap tegas secara kreatif atas apa yang kita buat,” kata Lucky. 

Sutradara A Normal Woman ini mengapresiasi kerja sama dengan Netflix karena mau memberikan ruang bagian untuk eksplorasi dengan gaya berceritanya sendiri terkait topik-topik yang terasa sangat internal seperti identitas, pemberdayaan dan realisasi diri. 

netflix Nightmares & daydreams
(Foto: Courtesy of Netflix)

Sejak hadir di Indonesia pada 2016, Netflix sudah bekerja sama dengan banyak pembuat film terbaik di sini. Mereka antusias membuat berbagai jenis film dan serial bersama kreator Indonesia, seperti serial sci-fi horor Nightmares and Daydreams dari Joko Anwar, film aksi berdarah Shadow Strays dari Timo Tjahjanto, hingga film zombie ala Indonesia dari Kimo Stamboel. Kerja sama ini membuat penonton punya lebih banyak pilihan, baik dari segi genre, pembuat film, maupun aktor.

“Kita memberikan kebebasan bagi kreator untuk berekspresi dengan cara yang mereka belum tentu bisa lakukan ketika membuat film untuk bioskop. Kita sudah memiliki jadwal produksi dengan semua hingga tiga tahun ke depan,” kata Putri Silalahi, Kepala Humas Netflix Asia Tenggara. 

Layanan OTT memberikan cara kerja baru dalam membuat film. Kalau dulu waktu persiapan terasa terlalu singkat, sekarang jadi lebih masuk akal. Sebelumnya, para pembuat film sering merasa terburu-buru karena rumah produksi menargetkan dua film dalam setahun. Tapi sekarang, situasinya mulai berubah.

Produser Kevin Ryan menekankan pentingnya persiapan yang solid sebelum syuting yakni butuh waktu tiga hingga empat bulan. “Jadi setelah proyek dinyatakan layak produksi, biasanya saya meminta proses soft prep di mana terjadi diskusi dengan sutradara dan line producer dahulu untuk menyiapkan rencana kasar, timeline, hingga siapa aja head of department yang akan bergabung dalam proyek ini. Harapannya soft prep ini menjadi fondasi awal supaya proses persiapan bisa berjalan dengan lancar dan terstruktur dengan baik, tidak kurang maupun lebih,” katanya. 

Waktu yang cukup juga menjadi penting bagi sutradara dan produser Aco Tenriyagelli. Ia bahkan lebih mengedepankan diskusi tentang waktu produksi terlebih dulu baru bicara anggaran. “Dealing pertama kali bukan anggaran, melainkan timeline dulu. Saya butuh waktu menulis yang lama dan pre-production yang agak panjang. Mungkin dari development sampai barangnya jadi butuh satu sampai satu setengah tahun,” kata Aco. 

Bekerja sama dengan OTT lokal dan internasional membuat Aco lebih mengenal dirinya sebagai pembuat film dan tahu cara kerja yang paling cocok untuknya. Ia pernah merasa terburu-buru karena harus mengejar target produksi setiap tahun. Tapi di sisi lain, ia juga pernah merasa lelah karena proses persetujuan dari OTT yang terlalu lama.

“Ketika ngobrol sama OTT internasional, kita dikasih ruang yang nyaman terkait timeline. Tapi di saat yang sama, ketika bicara dengan korporasi yang lebih besar, orang yang terlibat semakin banyak lagi. Kalau sama OTT Indonesia, kita cuma satu langkah bicara langsung dengan decision maker. Kalau sama OTT internasional, mereka harus kirim ke regional, regional harus kirim ke atasnya lagi. Cerita-ceritaku kebanyakan hal-hal lokal yang mungkin ada gap dengan mereka - tentang budaya, tentang bagaimana manusianya bertutur, set-nya harusnya aku kasih tahu konteksnya. Jadi kayak ada proses panjang lagi. Itu adalah hal yang melelahkan untuk aku. Saya pernah ada titik yang, I think I’m just going to drop the project, karena merasa nggak sehat buat saya proses yang terlalu panjang,” pungkas Aco. 

Quarantine Tales
(Foto: Courtesy of IMDb)
"Film pendek adalah laboratorium kita untuk tahu gaya kita sebagai sineas ini seperti apa sih. Film pendek bisa jadi ruang eksplorasi suara kita dalam membuat film."- Aco Tenriyagelli, Sutradara & Produser.

Bagi Kevin Ryan, cara kerja yang terkesan banyak aturan justru bukan masalah. Proses revisi dan umpan balik dari OTT malah membuatnya makin jago bernegosiasi dan jadi penengah antara sutradara dan OTT. Tujuannya agar ide kreatif dari kedua pihak bisa sejalan. “Kita harus bisa jadi agen ganda,” kata Kevin. Ia juga suka sistem kerja OTT yang rapi, terutama saat kerja bareng Netflix. “Mereka punya satu drive berisi semua dokumen yang terus diperbarui, jadi kami bisa fokus syuting tanpa ribet soal dokumen.” Setiap pembuat film memang punya cara kerja yang berbeda. Walaupun Aco kurang cocok dengan proses birokrasi OTT internasional yang panjang, ia tetap menikmati kerja samanya dengan Netflix, terutama saat film pendeknya masuk dalam Quarantine Tales pada 2020.

“Waktu kita bikin Quarantine Tales dalam bentuk omnibus saat pandemi, itu adalah salah satu gebrakan Netflix yang menarik. Jalur sineas membuat film panjang adalah melalui film pendek. Film pendek adalah laboratorium kita untuk tahu gaya kita sebagai sineas ini seperti apa sih. Film pendek bisa jadi ruang eksplorasi suara kita dalam membuat film,” kata Aco. Baginya, OTT punya posisi penting menjadi ruang siar film-film pendek. OTT yang selama ini memberikan etalase buat film pendek adalah Bioskop Online, Netflix and Maxstream milk Telkomsel. 

Sutradara dan produser yang sedang naik daun ini baru-baru ini bekerja sama dengan Maxstream untuk membuat kompetisi film pendek bertema Secinta Itu Sama Sinema. Ia sangat menghargai kompetisi seperti ini karena Maxstream mau mendukung munculnya talenta baru dan memberi ruang bagi mereka untuk bereksperimen dalam bercerita.

“Berkarya sebebas mungkin,” kata Lesley Simpson, Vice President Digital Lifestyle Telkomsel. “Dari kompetisi ini, kita memilih tiga pemenang yang memang betul sangat eksperimental. Tiga-tiganya punya angle yang berbeda: satu drama, satu komedi, dan satu lagi dari mata anak-anak.”

"Kalau jadi filmmaker menurut saya dipuji itu baik, dikritik juga tidak apa-apa. Yang paling bahaya ketika enggak ada yang ngomongin."- Lesley Simpson, Vice President Digital Lifestyle Telkomsel.

Menurut Lesley, Maxstream terbuka dengan cerita eksperimental karena ia percaya cerita seperti ini ada pasarnya. Ia menyebut bahwa film- film seperti Inception, Everything Everywhere All At Once dan serial Squid Games mungkin tidak masuk kategori genre arus utama, tetapi terbukti diterima masyarakat luas. 

“Penjual tiket (film-film ini) cukup baik dan filmnya dibicarakan. Kalau jadi filmmaker menurut saya dipuji itu baik, dikritik juga tidak apa-apa. Yang paling bahaya ketika enggak ada yang ngomongin,” kata Lesley. 

Salah satunya film yang menang dalam kompetisi Secinta Itu Sama Sinema adalah Little Rebels Cinema Club besutan Khozy Rizal, sineas kelahiran 1995, yang memulai karier sebagai penulis dan sutradara tiga tahun lalu. Film ini tidak hanya berhasil menghibur penonton di Indonesia waktu JAFF 2024 lalu, tetapi juga telah tayang perdana di luar negeri di salah satu film internasional terbesar dunia, Berlin International Film Festival, dalam kategori Generational Kplus Competition 2025. 

Menurut Lesley, penting ada yang memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada sineas baru. “Khozy sebagai sutradara film ini membawa kebanggaan bagi Indonesia,” kata Lesley. 

Film Indonesia semakin mendunia. Kehadiran OTT internasional secara tidak sengaja meningkatkan kualitas penceritaan film-film kita. 

"Di streaming, kita nggak punya kontrol ke penonton. Kemungkinan penonton skip dan press forward itu sangat tinggi. Kalau streaming lebih banyak distraksi. 

“Ini memberikan kesempatan kita untuk membuat sesuatu yang sifatnya global. Karya kita bisa ditonton dunia dan ada di platform yang sama dengan Bridgerton dan The Crown. Kita jadi lebih harus step up dari biasanya."- Lucky Kuswandi, Sutradara dan Penulis.

ali and ratu ratu queens
(Foto: Courtesy of Netflix)

Menurut Lucky, menulis cerita untuk OTT itu tantangan baru karena perilaku penonton OTT dan bioskop yang berbeda. 

“Di streaming, kita nggak punya kontrol ke penonton. Kemungkinan penonton skip dan press forward itu sangat tinggi. Kalau streaming lebih banyak distraksi. Jadi kita belajar apa yang kita tampilkan di sepuluh menit pertama film, bagaimana cara kita menyampaikan permasalahan secepat mungkin, dan bagaimana cara kita membuat penonton terus tertarik untuk menonton. Saya harus memperhatikan cara bertutur film itu,” kata sutradara Ali dan Ratu Queens ini. 

Memang benar Netflix punya teknologi untuk menganalisa menit-per-menit ini. “Kita punya data real-time engagement penonton,” kata Putri Silalahi, Kahumas Netflix. “Ini membuat proses belajar untuk kedua pihak, para pelaku industri film dan Netflix. Sineas belajar bagaimana membuat konten yang bagus untuk penonton. Netflix juga belajar membuat konten bagi audiens yang menonton sambil masak atau melakukan aktivitas lain. Ini membuat kita keluar dari comfort zone karena kita semua belajar lagi,” kata Putri. 

Di industri film Indonesia, tempat kerja yang nyaman dan aman semakin dianggap penting. “Syuting sehat” menjadi istilah yang sering digunakan oleh pembuat film yang berpikir maju. Yang dimaksud dengan ini adalah jam kerja yang seharusnya 12 hingga 14 jam, tidak lebih dari itu. Sayangnya, hal ini masih menjadi masalah besar di industri film Indonesia.

Kevin Ryan pernah bekerja sama dengan Disney dan Netflix. “Buat mereka, tidak boleh ada kata overtime. Kecuali memang masalah cuaca yang tidak bisa kita hindari atau ketika memang ada kejadian force majeure. Misal ada hari yang overtime, berati calling-an besoknya harus mundur. Semua staf produksi harus ada waktu tidur 7-8 jam. Ini penting untuk kemajuan industri,” katanya. 

Standar produksi Netflix memang ketat karena mengikuti aturan dari Amerika Serikat. “Ada banyak pelatihan yang kami berikan termasuk respect training,” kata Putri Silalahi, Kahumas Netflix. 

Untuk memberi ilustrasi apa pelatihan ini, di situs Netflix tertulis: “Betapa pun briliannya seseorang, tidak ada tempat bagi orang-orang yang tidak memperlakukan rekan kerja mereka dengan sopan dan hormat. Bila Anda memiliki orang-orang berbakat yang bekerja sama dengan baik-saling mempercayai maksud masing-masing dan menghargai perbedaan mereka-semua orang akan lebih sukses.”

Netflix juga mencoba memperkenalkan aturan bekerja untuk aktor di bawah umur. “Aktor anak punya perlakuan spesial karena waktu syuting tidak boleh mengganggu waktu sekolah. Kita punya aturan-aturan ini namun pada akhirnya semua kembali ke sutradara dan produser. Jika mereka ingin punya set (tempat bekerja) yang sehat, maka set mereka akan sehat.”

Semakin ke sini, OTT sepertinya semakin ajeg dalam hati penikmat film. Lantas bagaimana dengan nasib bioskop di Indonesia? Menurut pengamatan Lucky Kuswandi, OTT dan bioskop punya tempat masing-masing bagi penonton Indonesia. “Kita masih lebih baik dari Amerika Serikat. Amerika sekarang tidak lagi membuat film anggaran menengah untuk tayang di bioskop. Semuanya film anggaran besar. Makanya semua film di bioskop franchise, atau film lama dibuat ulang. It’s all about IP.”

Lucky tumbuh besar di tahun ‘90-an di saat Hollywood masih membuat film dengan anggaran menengah. Film seperti Merchant Ivory dan The Piano masih masuk bioskop saat itu. 

“Sekarang kalau mau nonton film kaya gitu jadinya ke streaming. Jadi lebih berasa ada gap antara teatrikal dan streaming. Di Indonesia, menurut saya belum segitunya. Kita masih punya film seperti Home Sweet Loan dan film-film karya Yandy Laurens yang diputar di bioskop. So I think it’s good. I think theatrical and streaming shouldn’t eat each other. Its important to find a way that both can co-exist,” tutup sineas Lulusan Art Center College of Design di California tersebut. 

Baca artikel Talking Points yang berjudul "Jagat Baru Sinema Indonesia" yang terbit di edisi cetak Harper's Bazaar Indonesia - Maret 2025; Disadur oleh: Megan Ismani; Foto: Courtesy of INKDROP©123RF