Fashion dan feminisme kerap dianggap sebagai dua kutub yang bertentangan. Banyak yang mengkritisi bagaimana fashion seolah menjebak dan memenjarakan perempuan melalui propaganda media yang membentuk gambaran ideal akan “how a woman should look”.
Namun di sisi lain, kita harus turut merayakan betapa perkembangan spirit feminisme telah menggelora di tengah hiruk-pikuk industri fashion, dan fashion itu sendiri telah memberikan ruang bagi wanita untuk bebas memilih apa yang baik untuk mereka tanpa intervensi maupun validasi dari kaum pria.
Namun sebelum kita membahas lebih lanjut, ada baiknya menelusuri kembali makna sesungguhnya dari feminisme itu sendiri.
Pada dasarnya, feminisme adalah gerakan maupun ideologi yang memperjuangkan kesetaraan hak dalam ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, dan personal bagi kaum wanita.
Dan perhatian feminisme terletak pada bagaimana membangun dunia di mana setiap wanita memiliki kesempatan untuk hidup layak, bebas dari tindak kekerasan, mendapatkan askes pendidikan, perencanaan keluarga (dan sistem reproduksi), dan tentu saja karier, yang keseluruhannya benar-benar setara dengan kaum pria.
Sesederhana itu saja. Sehingga segala stereotype bahwa feminis adalah pembenci laki-laki, anti menikah, dan (apalagi) anti fashion rasanya terdengar tidak masuk akal. Karena sesungguhnya, dan menariknya, makna feminisme sama sekali tidak sedangkal itu.
Dan ketika berbicara tentang feminisme dalam fashion, merunut dari perjalanan panjang sejarah gerakan feminisme, kedua hal tersebut justru sangat berkaitan dan memberikan kontribusi satu sama lain.
Menilik jauh ke belakang, pergerakan feminisme bermula pada saat pecahnya perang dunia pertama. Momen tersebut menjadi titik di mana perempuan mendapatkan akses otonomi untuk mencari penghasilan sendiri.
Untuk pertama kalinya perempuan diperbolehkan untuk bekerja di ranah industri, dan dari situlah desainer legendaris Coco Chanel menghadirkan pakaian berdesain praktis untuk memenuhi kebutuhan para perempuan bekerja.
Coco Chanel mulai merancang dan menjual blazer berbahan flanel, celana panjang, rok bersiluet lurus dengan material linen, atasan bergaya pelaut, long jersey sweater, serta padanan rok dan jaket yang terinspirasi dari pakaian pria.
Dengan buah karya Coco Chanel, para wanita dapat bergerak dengan jauh lebih leluasa dan perlahan penggunaan korset pun ditinggalkan, terutama bagi wanita bekerja. Gebrakan ini menjadikan nama Coco Chanel sebagai pionir penggerak feminisme dalam fashion.
Era '60-an merupakan masa yang penting bagi sejarah industri fashion, dan feminisme menjadi salah satu faktor yang membawa pengaruh besar ke dalamnya. Pada era ini, dunia fashion mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan kontribusi dari berbagai pergolakan sosial politik yang ada.
Isyu kesetaraan mulai mencuat dan gigih diperjuangkan, dan sejumlah perancang mode pun menginterpretasikan semangat tersebut melalui cara-caranya yang menarik. Yves Saint Laurent menciptakan Le Smoking, yang kemudian berhasil mengangkat gaya androgyny sebagai tampilan yang populer hingga masa kini.
Ada pula Mary Quant dengan inovasi rok mini yang kemudian disebut-sebut sebagai salah satu bentuk kebebasan kaum wanita (dalam berbusana), dan untuk pertama kalinya wanita bebas memamerkan kakinya. Yes, you can show some skin!
Semangat feminisme pun kian tercitrakan pada beberapa tahun terakhir, ketika rumah mode bergengsi mengangkat tema empowered womanhood baik ke dalam presentasi koleksi mereka maupun pada kampanye iklan.
Kendati fashion sempat diwarnai dengan berbagai iklan yang mengobjektifikasi kaum wanita, kini mayoritas ad campaign dari label-label fashion justru menampilkan citra perempuan yang tangguh dan mandiri.
Bahkan pada sejumlah iklan maupun halaman fashion spread, ditampilkan bentuk visualisasi betapa wanita juga mampu melakukan aktivitas berat yang selama ini dikonotasikan sebagai bentuk kemachoan kaum pria.
Setidaknya, fenomena-fenomena tersebut memberikan udara segar bagi spirit feminisme itu sendiri dengan menunjukkan bahwa wanita setara dengan pria.
Selain itu, industri fashion juga memberikan banyak kesempatan bagi para wanita untuk mengembangkan dan memberdayakan dirinya baik secara profesional maupun personal. Industri fashion adalah sebuah dunia bisnis yang sangat besar dan diasosiasikan dengan kaum wanita, serta didominasi oleh wanita sebagai motor utamanya.
Dalam industri ini pula wanita mampu menduduki posisi-posisi tinggi dalam perusahaan, baik pemimpin redaksi, direktur kreatif, maupun CEO, serta terus dipacu untuk mengembangkan potensinya demi mencapai puncak kesuksesan.
Namun perhatian feminisme dalam fashion tidak terbatas pada fakta itu saja. Bagaimana fashion dapat menjadi sebuah medium yang empowering bagi kaum wanita menjadi hal yang sangat krusial.
Propaganda media akan bagaimana seorang wanita harus tampil menarik menciptakan problematika tersendiri karena standar yang dikampanyekan cenderung tidak dapat dicapai oleh kebanyakan wanita.
Dan berbicara kaum wanita di sini tidak terbatas pada mereka yang dikarunia tubuh berukuran XS saja, namun kaum wanita pada umumnya dengan segala kekurangan dan kelebihan bentuk tubuhnya.
Bagaimana industri fashion dapat menyediakan rangkaian busana yang fit untuk setiap bentuk tubuh dan membuat setiap pemakainya merasa nyaman dan percaya diri. Memiliki segenap kebebasan dalam merayakan fashion juga merupakan bentuk semangat dari pergerakan feminisme.
Faktanya, wanita lebih sering mendapatkan kritik pedas tentang apa yang mereka pakai dibandingkan dengan kaum pria.
Padahal, setiap wanita bebas mengenakan pakaian, aksesori, dan segala atribut fashion seperti yang mereka inginkan, dan menentukan sendiri idealisme estetika penampilan yang mampu merefleksikan esensi dari gaya personalnya sekaligus membuatnya nyaman, tanpa mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti dicela atau dipermalukan karenanya.
Barangkali poin ini terasa sulit bagi setiap orang, terlebih mengingat betapa kita memiliki tendensi untuk bersikap judgemental terhadap penampilan seseorang. Dan bahkan perlu diakui pula betapa dunia fashion diwarnai oleh individu yang tidak segan-segan untuk 'menghukum' orang lain yang—di mata mereka—berpakaian tanpa mengikuti kaidah fashion.
Aktivis perempuan Dhyta Caturani menegaskan, “We judge, everyone judge. Tapi penting untuk kembali melihat bagaimana cara kita memanifestasikannya? Apakah kita mengeluarkannya untuk menyerang atau menyakiti orang lain? Atau kita simpan saja sendiri? Karena pada akhirnya, setiap orang bebas mengekspresikan cara ia berbusana atau bergaya, apalagi jika itu membuatnya merasa empowered, percaya diri, dan bahagia.”
Sejatinya fashion adalah hal yang universal, dan dengan semangat feminisme kita ditantang untuk dapat mengakui kebebasan orang lain dalam hal cita rasa berbusana.
Karena pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan penuh untuk menentukan bagaimana mereka akan berpakaian, apa yang hendak mereka kenakan, apakah mereka mengikuti suatu tren fashion tertentu, atau bahkan dengan tidak mempedulikan penampilan mereka sama sekali.
Maka apabila ada wanita yang berdandan seksi, bergaya dengan mengenakan atribut agama dan/atau budaya, tampil eksentrik dalam busana dan aksesori yang tak lazim dikenakan banyak orang, mengadopsi gaya maskulin, hingga mengenakan busana bersiluet serba longgar yang tentunya—bagi laki-laki—tidak tampak menarik sekali pun, semua itu sah-sah saja selama yang bersangkutan nyaman dan senang dengan hal tersebut.
Karena pada hakikatnya, kita sebagai manusia, bebas menentukan pilihan-pilihan hidup untuk kita jalani sendiri. Apalagi segala hal yang berkaitan dengan fashion.
Maka alangkah indahnya ketika wanita tak hanya terpaku pada konsep “dress to impress” saja, namun juga memahami pentingnya konsep “dress to express”.
Karena ketika kita terjebak dalam misi untuk menanamkan kesan pada orang lain (terlebih lagi pada lawan jenis), boleh jadi apa yang kita tampilkan sebenarnya tidaklah sejalan dengan diri kita sendiri.
Sedangkan ketika kita memilih untuk tampil sesuai karakter pribadi kita, dengan gaya yang kita sukai, dan memberikan sensasi empowering ketika kita mengenakannya, itulah kemerdekaan yang sesungguhnya yang selaras dengan semangat feminisme.
(Foto: dok. Bazaar)