Type Keyword(s) to Search
Harper's BAZAAR Indonesia

10 Film Asia Timur dan Asia Tenggara Terbaik untuk Ditonton Sekarang, Salah Satunya ada Film Indonesia

Dari The Farewell to Parasite, film-film berikut ini mampu menjangkau dan memperlihatkan budaya dari kehidupan masyarakat Asia Timur dan Tenggara.

10 Film Asia Timur dan Asia Tenggara Terbaik untuk Ditonton Sekarang, Salah Satunya ada Film Indonesia

Di tengah maraknya kebencian Anti-Asia selama pandemi ini, sangatlah penting untuk mendukung dan meningkatkan komunitas Asia kita. Melalui artikel ini, kami telah mengumpulkan sepuluh film favorit kami yang merayakan kegembiraan, keuletan, dan bakat dari Asia. Film-film ini tidak hanya mengungkap kondisi umum dari cinta, kesedihan, dan kerentanan, tetapi juga mencatat bentuk eklektik dari ekspresi dan kreativitas di seluruh Asia. Dari lanskap Hong Kong yang indah di In The Mood for Love hingga visual Hayao Miyazaki yang dinamis di My Neighbour Totoro, bersiaplah untuk dihibur, dicekam, dan terinspirasi.
 
 
1. In The Mood For Love (2000)
 

 
Eksposisi mimpi Wong Kar Wai hanya dapat dideskripsikan sebagai puisi visual. Berlatar tahun 1960-an di Hong Kong, film ini bercerita mengenai seorang pria dan seorang wanita yang pindah ke sebuah apartemen pada hari yang sama. Pada satu saat, mereka menyadari bahwa pasangan mereka berselingkuh. Hal tersebut pun membuat keduanya menghabiskan lebih banyak waktu untuk saling curhat yang lambat laun menumbuhkan rasa cinta di antara keduanya. Mereka menemukan diri mereka terkurung di dekapan satu sama lain, menjauhi kesepian paradoks yang melingkupi kota yang padat. Kisah cinta bukanlah hal baru, namun film tersebut mampu membuat kita mengeksplorasi kekacauan hidup yang dalam, khususnya dengan rasa sakit karena pengkhianatan, kenyamanan akan keintiman, dan hal-hal yang sering tak dapat terucapkan. 
 
2. Marlina the Murderer in Four Acts (2017)
 

 
Melalui film ini, penulis naskah sekaligus sutradara Mouly Surya mampu menyampaikan plot balas dendam yang didasari pandangan feminism dalam empat babak. Setelah suaminya meninggal, Marlina (Marsha Timothy) tinggal sendiri. Hal tersebut menarik perampok ke rumahnya, tak hanya untuk merampok ternaknya, tetapi juga tubuhnya. Film ini menghindari pertumpahan darah dan kekacauan yang berlebihan demi kelimpahan gaya yang tepat, di mana penonton disuguhi dan dimanja dengan interior yang teduh dan keindahan alam yang indah dari lanskap Indonesia. Kisah Marlina berubah menjadi feminis Barat, di mana kita mengikuti perjalanannya, dimulai dengan berjalan kaki, menaiki bus, menunggang kuda, hingga mencari keadilan dalam batasan ketat lanskap yang sangat patriarki.
 
3. A Simple Life (2011)
 

 
Selaras dengan judulnya, film ini dihadirkan untuk membuat para penonton merefleksikan arti dari kehidupan itu sendiri. Dengan sentuhan humanisme tak berujung yang diberikan oleh Ann Hui, film ini mempertanyakan apa artinya merawat orang lain, dengan semua kesulitan proses penuaan dan kematian yang tak terhindarkan. A Simple Life berfokus pada Ah Tao (Deanie Ip), yang telah menghabiskan hidupnya sebagai pengasuh empat generasi keluarga Tionghoa, setelah ia sendiri menjadi yatim piatu di usia muda. Ketika Ah Tao menderita strok, Roger (Andy Lau), satu-satunya anggota keluarga yang tersisa di Hong Kong, merawatnya. Dengan lembut, film ini mengisahkan cerita mengenai bagaimana dua orang memilih untuk mengungkapkan cinta dan perhatian, namun seringkali dengan cara yang tidak terucapkan. Hal tersebut dibangun dalam cara mereka bergerak, waktu yang mereka berikan, dan ketergantungan yang tak terbantahkan yang dimilikinya terhadap satu sama lain.
 
4. Dear Ex (2020)
 

 
Rasa haru dan soul-stirrer dalam film ini dikombinasikan dalam komposisi yang setara. Dear Ex menawarkan wawasan yang jujur mengenai kompleksitas keluarga Taiwan modern. Seorang remaja, Cheng-xi (Joseph Huang), menemukan dirinya terlibat dalam konflik rumah tangga setelah ayahnya, Zhengyuan (Spark Chen), meninggal karena kanker. Setelah menerima surat wasiat, ia menemukan dirinya berada di antara dua pihak yang memintanya menyerahkan semua uang dalam surat wasiat yang ia terima itu, yaitu ibunya, Sanlian (Hsieh Ying-hsuan), dan kekasih gay ayahnya, Jay (Roy Chiu). Sanlian berjuang mati-matian mengajukan klaim atas uang almarhum suaminya untuk menghidupi keluarganya. Pada lain sisi, Cheng-xi memutuskan untuk tinggal bersama Jay karena terpesona oleh hubungannya dengan mendiang ayahnya. Di film ini, setiap karakter memiliki kelemahan dan bahkan terkadang terkesan kejam. Namun, mereka secara bersamaan memiliki kemampuan untuk mencintai dan peduli terhadap satu sama lain. Para sutradara membuat kompleksitas kemanusiaan dengan sapuan warna yang disusun dari palet yang paling sederhana.
 
5. Burning (2019)
 

 
Didasarkan pada cerita pendek karya Haruki Murakami, film thriller ini adalah film yang berlaju secara lambat, mulai dari percikan kecil hingga menjadi sebuah api besar. Disutradarai oleh Lee Chang-dong, Burning berpusat pada cerita Jong-su, seorang calon penulis, yang bertemu dengan Hae-mi, seorang kenalan lama. Berhati-hatilah karena film ini tidak memberikan kisah percintaan yang biasa. Ketika mereka mencoba menghidupkan kembali persahabatan yang telah pudar, Ben, seorang pria kaya dengan hobi yang aneh, hadir dalam hidup keduanya. Burning memberikan kritik tajam terhadap pembagian kelas yang memecah Korea Selatan, mengekspos kebencian kelas yang tumbuh, yang tentunya membuat film tersebut sangat terasa menyala. ‘Api’ dari film thriller misterius ini secara bersamaan membara dan juga mengerikan.
 
6. The Farewell (2019)
 

 
Awkwafina menampilkan penampilan yang mencengangkan dalam perannya sebagai Billi, seorang wanita muda kelahiran Tionghoa-Amerika yang terpecah akan identitas gandanya dan bergulat dengan tradisi yang kini tampak asing baginya. Billi menemukan bahwa nenek tercintanya, Nai Nai-nya, telah didiagnosis kanker dan keluarganya telah memutuskan untuk merahasiakan informasi ini dari wanita tua itu. “Orang Cina memiliki pepatah: Ketika orang terkena kanker, mereka mati,” kata ibu Billi (Diana Lin). “Tetapi, bukan kanker yang membunuh mereka, melainkan ketakutan.” Billi tidak setuju karena menurutnya Nai Nai memiliki hak untuk tahu kondisi kesehatannya. Dengan kedok pernikahan, keluarga tersebut melakukan perjalanan kembali ke Cina untuk mengucapkan selamat tinggal kepada ibu pemimpin keluarga yang tangguh namun penuh perhatian itu. Film ini adalah eksposisi tentang kebimbangan dan kesulitan yang memusingkan, yang datang dengan menyulap berbagai budaya dan menavigasi garis tipis antara kejujuran dan cinta.
 
7. My Neighbour Totoro (2013)
 

 
Bagi Anda semua yang belum pernah menonton film besutan Hayao Miyazaki, film yang satu ini adalah debut yang sempurna. My Neighbour Totoro menghadirkan dunia tempat kita semua harus hidup: Tidak ada hewan menakutkan yang bersembunyi dalam kegelapan dan di mana gadis-gadis muda dapat berkeliaran di hutan tanpa rasa takut. Ketika Satsuki yang berusia 10 tahun dan adik perempuannya yang berusia empat tahun pindah ke sebuah rumah di pedesaan, mereka menemukan bahwa hutan di di dekat rumahnya itu dihuni oleh makhluk gaib yang disebut Totoros. Anda akan diajak untuk mengikuti petualangan magis mereka dengan teman-teman baru mereka, membenamkan diri ke dalam dunia cat air yang kaya akan visual dan tentunya memikat.
 
8. I’m a Cyborg, But That’s Okay (2006)
 

 
Setelah menyajikan tiga film mengenai balas dendam yang disuguhkan dengan sempurna, Park Chan-Wook memberikan sebuah tayangan yang jauh berbeda dari karya-karya sebelumnya. Ia tak ragu untuk menciptakan sebuah kisah komedi romantis yang sangat aneh namun indah. Berlatar di rumah sakit jiwa, film ini menceritakan kisah Young-goon (Su-jeong Lim), seorang wanita muda yang percaya bahwa dirinya adalah cyborg, di mana ia hanya perlu menjilat baterai untuk bertahan hidup. Ia mengembangkan hubungan dengan seorang kleptomania, Il-Sun (Rain), yang mengambil peran menyelamatkan wanita muda dari kelaparan yang mematikan. Film ini kaya akan warna-warna pastel dan sinar matahari yang bergaris-garis, mengungkapkan keindahan dalam pengaturan yang paling tidak konvensional.
 
9. Parasite (2019)
 

 
Pada tahun 2019, Bong Joon-Ho mencetak sejarah baru dalam Oscar melalui filmnya yang berjudul Parasite. Film tersebut berhasil menjadi film berbahasa asing pertama yang membawa pulang penghargaan 'Film Terbaik'. Satir sosial yang kelam berpusat di sekitar keluarga miskin, keluarga bermarga Kim, yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan. Ketika pekerjaan sebagai tutor pribadi dalam rumah tangga keluarga Park yang kaya muncul, keluarga Kim menyusun strategi untuk mendapatkan pekerjaan dengan menyamar sebagai pekerja yang sangat terampil. Kehadiran kritik sosial oleh Bong Joon-Ho sama pedasnya dengan penyampaian pesan secara sinis. Film ini menentang kategori yang disematkan. Sebaliknya, ia membuka kotak baru: Lezat, mengejutkan, dan benar-benar orisinal. Parasite akan menciptakan dan memunculkan rasa mencekam bagi para penontonnya. 
 
10. Shirkers (2018)
 

 
Pada tahun 1992, Sandi Tan, warga Singapura yang berusia 19 tahun, menulis dan membintangi sebuah road film yang imajinatif. Ia mengumpulkan teman-teman terdekatnya untuk membantunya mengedit dan memproduksi tontonan tersebut. Namun, rekamannya, yang diambil pada 70 tabung film 16mm, diambil oleh sutradaranya, yaitu seorang pria Amerika paruh baya yang misterius, Georges Cardona. Dalam film dokumenter eksperimental baru itu, Sandi Tan mengambil rekaman tersebut 20 tahun kemudian dan mendigitasinya untuk membuat karya yang sama sekali berbeda. Shirkers, sebuah film sekaligus memoar, mampu mengulang masa mudanya yang ceria dan dewasa sebelum waktunya, sembari mengomentari kekerasan yang dilakukan oleh seorang pria, yaitu dengan cara mencuri dan menghambat usaha kreatif dari penulis wanita. Dokumenter tersebut hadir dalam kejernihan rekaman digital dengan rekaman analog impian masa mudanya, mengambil kembali ceritanya dan mengubahnya menjadi piéce de resistance yang menawan. 
 
(Penulis: Cynthia Peng; Artikel ini disadur dari Bazaar UK Alih Bahasa: Fatimah Mardiyah; Foto: Courtesy of Bazaar UK).