Kemarin, Pantone mengumumkan bahwa warna tahun 2026 adalah putih. Dan tidak, ini bukan lelucon. Perusahaan pencocokan warna tersebut, yang memilih satu rona setiap tahun untuk menangkap sentimen konsumen global, menjatuhkan pilihannya pada “Cloud Dancer,” yang digambarkan sebagai putih yang “lentur dan seimbang.” Ada banyak hal yang bisa dibongkar dari perspektif budaya, dimulai dari keberanian untuk mengagungkan “whiteness” di era Donald Trump. Namun dalam konteks fashion, apa artinya?
BACA JUGA: Gaya Anggun Duchess Meghan dalam Busana Serba Putih di Most Powerful Women Summit
Menurut siaran pers Pantone, warna ini adalah “rona yang tenang dan menawarkan janji kejernihan.” Dengan kata lain, ini merupakan reaksi terhadap kekacauan yang sedang kita jalani. Mereka menjelaskan bahwa “cacophony yang mengelilingi kita menjadi semakin membebani, membuat kita sulit mendengar suara dari dalam diri.” Cloud Dancer digambarkan sebagai pernyataan sadar untuk menyederhanakan, meningkatkan fokus, dan memberi pelepasan dari distraksi eksternal. Tujuannya tampak seperti ketenangan, meski dalam konteks wardrobe, mungkin hasilnya tidak demikian.
Melihat presentasi Spring 2026, saya tak bisa tidak memperhatikan kecenderungan para desainer untuk membuka show mereka dengan ansambel serba hitam, terutama di New York. Calvin Klein, Diotima, Fforme, Colleen Allen semuanya memulai koleksi mereka dengan berbagai tampilan putih. Sekilas, pilihan ini terasa seperti penyegar palet layaknya sorbet dalam makan berlapis-lapis di fashion week. Namun bagi penonton, tampilannya lebih seperti kejutan besar. All-white look itu cukup mengguncang.
Dalam fashion, putih sering terasa keras, kaku. Saya teringat bagaimana Jil Sander, Martin Margiela, dan Yohji Yamamoto menggunakan kain putih dengan cara yang sama sekali tidak memberi ruang untuk kesalahan. Saat saya menulis ini, saya duduk di pesawat, dikelilingi pramugari dan pebisnis, banyak di antaranya mengenakan kemeja putih yang disetrika sempurna—sebuah pesan profesionalisme. Anda menerima jas lab putih ketika menjadi dokter. Putih itu steril, namun juga seragam. Putih adalah “penghubung besar” dalam wardrobe, hadir pada item klasik lintas selera, gender, dan kelas: T-shirt putih, kemeja putih crisp, tank ribbed—semuanya berasal dari layering sederhana dalam seragam militer.
Dan tentu ada konotasi bridal. Dalam budaya Barat, mempelai wanita mengenakan putih sebagai simbol kemurnian, kesucian, dan keperawanan, pesan yang jika dimaknai secara literal hari ini, jelas sudah sangat usang. (Saya tentu harus menyebutkan juga bahwa dalam budaya Timur, putih melambangkan duka.) Secara komersial, para pengantin kini membangun semacam “wardrobe pertunangan,” mengenakan putih untuk bridal shower, bachelorette trip, hingga rehearsal dinner sebelum hari besar. Hampir setiap brand merilis “bridal edit” untuk memanfaatkan pasar ini. Bagi non-brides, sulit rasanya menghilangkan asosiasi terhadap busana formal putih serta harapan kuno akan kemurnian yang melekat padanya.
Mengingat kita cenderung menyimpan putih untuk momen spesial, tidak mengherankan jika warna ini justru lebih terasa sebagai tren di red carpet. Met Gala tahun ini bertema dandyism, yang merujuk pada formalitas, dan banyak selebriti tampil dalam balutan putih: Diana Ross, Rosalía, Laura Harrier, Zendaya, Lewis Hamilton, dan banyak lagi. Di Cannes, Jennifer Lawrence tampil dengan gaun Dior putih berlipit dan Emma Stone dengan Louis Vuitton.
Namun kebanyakan orang tidak berdandan untuk red carpet. Pakaian putih terkenal sebagai yang paling sulit dijaga tetap bersih. Terlalu sempurna. Gambaran seorang perempuan ideal dalam balutan putih tanpa noda mungkin hanyalah fiksi. Sedikit noda makeup atau saus salad, dan semuanya berantakan. Putih tidak memberi ruang untuk bersembunyi. Semua ini terasa terkait dengan “clean girl aesthetic” yang mendominasi algoritma TikTok beberapa tahun terakhir—tren yang dikritik karena nuansa rasis di balik istilah “clean.”
Pantone telah memilih warna tahunannya sejak 1999. Warna-warna sebelumnya termasuk Honeysuckle, Aqua Sky, Living Coral, dan Ultra Violet, semuanya jika tidak cerah, setidaknya cukup penuh saturasi. Namun beberapa tahun terakhir, pilihannya justru sangat netral. Tiga edisi terakhir bergerak dari Peach Fuzz, nude berunsur oranye; ke Mocha Mousse, coklat yang creamy; dan kini Cloud Dancer. Yang satu ini terasa seperti netral paling “keras.”
Untuk musim gugur 2020 di tengah pandemi global, Pierpaolo Piccioli menampilkan koleksi couture serba putih untuk Valentino. Ia menyebutnya sebagai respons “ekstrem” terhadap kekacauan saat itu, sebuah respon yang bukan sepenuhnya penuh harapan. Kini, kekacauan mungkin terlihat berbeda, tetapi respons sartorial semacam ini kemungkinan akan tetap terasa sama ekstremnya.
BACA JUGA:
Dua Lipa Kenakan Gaun Putih dari Jacquemus yang Membuatnya Terlihat Seperti Seorang Pengantin
Memadukan Mocha Mousse, Tren Warna Baru dari Pantone untuk Tahun Baru
(Penulis: Camille Freestone; Artikel ini disadur dari: BAZAAR US; Alih bahasa: Kayra Himawan; Foto: Courtesy of BAZAAR US; Edited by SS)
