Bulan Oktober lalu, kembali diadakan Ubud Writers & Readers Festival yang ke-16. Sebagai salah satu dari lima festival sastra terbaik di dunia untuk tahun 2019 versi The Telegraph UK, perhelatan kali ini menghadirkan lebih dari 180 pembicara dari 30 negara. Mereka akan tampil bergiliran dalam 70 sesi diskusi menarik yang diangkat dan dikembangkan dari tema tahun ini, Karma.
Tema Karma kemudian disalurkan secara holistis ke dalam berbagai program dari festival tersebut. Tema itu pun membantu mengeksplorasi dan merayakan aksi para penulis, seniman, pegiat dari seluruh Indonesia dan dunia, dengan kesadaran akan konsekuensi dari tindakan mereka yang berdampak pada masa depan kolektif bersama. Seluruh program, diskusi, penampilan sampai after dark events digarap atas dasar dua poin utama: keputusan dan konsekuensi.
Setelah acara pembukaan di hari pertama, festival ini dilanjutkan pada keesokan harinya. Ada 170 program menarik yang diisi oleh lebih dari 180 pembicara dari 30 negara untuk perhelatan tahun ini. Sesi panelnya pun beragam, mulai dari Karma and Kindness yang menelisik hubungan karma dan kebaikan, How Can Bali Survive yang membahas tentang langkah untuk bertahan dari perubahan sosial, budaya, dan ekologis di Bali, sampai panel yang menghadirkan Made Taro, seorang pendongeng cerita rakyat legendaris Bali yang dianugerahi Lifetime Achievement Awards UWRF tahun ini. Ada juga peluncuran buku Fall Baby oleh Laksmi Pamuntjak dan pameran seni Gundala: A 50 Years Journey, sampai pemutaran film Aruna dan Lidahnya.
Sesi acara yang lebih santai juga digelar di festival ini. Salah satunya adalah sesi bersama perancang Didiet Maulana dalam Indonesian Chic yang dipandu oleh Editor-in-Chief Cosmopolitan Indonesia, Filisya Thunggawan. Ada juga sesi adu puisi di Poetry Slam sampai pesta malam penutupan yang menampilkan hiburan musik dan tari.
(Foto: Courtesy of Ubud Writers & Readers Festival)