Baru-baru ini, Charlize Theron mengungkapkan bahwa dirinya menderita sindrom imposter ketika ia menggarap film barunya yakni Bombshell. Sindrom ini sudah biasa dialami banyak orang, bahkan oleh mereka yang sukses.
Aktris kelahiran Benoni tersebut mengaku bahwa dirinya merasa takut saat menerima perannya sebagai Megyn Kelly. Ia menganggap bahwa masih ada orang lain yang bisa melakukan ini lebih baik.
Mereka yang mengalami sindrom imposter merasa jika dirinya tidak cukup kompeten atau tidak layak untuk berada di posisi mereka saat ini. Hal itu dijelaskan oleh Tara Swart yang berprofesi sebagai ahli neurosains. "Anda mungkin akan lebih menganggap bahwa kesuksesan Anda berasal dari faktor keberuntungan atau kesalahan orang lain daripada menyadari akan kemampuan dan kerja keras diri sendiri," terangnya.
Secara sadar atau tidak, perasaan yang demikian dapat mengarah pada kecenderungan self-sabotage. Hal ini pun dikemukakan oleh laporan terbaru yang dirilis melalui situs Stylist.
Dikutip dari laman tersebut, Ellie Goulding juga baru-baru ini menderita sindrom yang sama dan mengarah pada kondisi yang merusak diri sendiri. "Saya tahu bahwa saya memilih pekerjaan ini, tetapi tidak ada yang membantu saya untuk menghadapi suka dan duka yang ikut mengiringinya," ujar sang penyanyi pada World Mental Health Day.
"Saya benar-benar tahu bahwa kecemasan saya ini adalah dampak dari sindrom imposter, kondisi di mana saya tidak cukup percaya pada diri saya sendiri dan berpikir bahwa saya tidak layak bahagia. Akibatnya, saya menghancurkan kesuksesan saya sendiri," lanjutnya.
Jadi, mengapa kita menyabotase diri sendiri? Judy Ho dari Psychology Today memaparkan bahwa kondisi ini adalah respon natural dari naluri kita untuk menghindari ancaman dan adanya perasaan lega yang muncul ketika kita menjauhi ancaman tersebut. Ketika keinginan untuk melepaskan diri dari ancaman lebih besar daripada sesuatu yang ingin kita raih, maka dapat dikatakan bila kita menghancurkan diri sendiri.
Judy juga menjelaskan, ada empat elemen yang akan dapat mengarah pada self-sabotage. Di antaranya adalah kepribadian yang mudah goyah atau kurang percaya diri, beranggapan negatif terhadap kemampuan diri sendiri, ketakutan akan sesuatu yang tidak jelas, dan butuh dikontrol.
"Pada dasarnya kita dilahirkan untuk mewujudkan impian sebab kita akan merasa bahagia bila dapat meraihnya. Perilaku ini dipengaruhi oleh rangsangan hormon dopamin yang membuat kita terus mengulangnya," jelas Judy.
"Biokimia di otak kita tidak begitu membedakan antara perasaan menyenangkan yang kita alami ketika berusaha mendapatkan apa yang telah kita cita-citakan dan perasaan 'baik' yang kita terima ketika menghindari sesuatu yang tampak mengancam. Khususnya pada kondisi self-sabotage," tambahnya.
Judy lantas menyarankan bahwa hal terbaik yang bisa Anda lakukan adalah dengan memahami dari mana perasaan tersebut muncul dan berusaha melawan pikiran-pikiran negatif yang memenuhi kepala Anda.
(Penulis: Jessica Davis; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih bahasa: Erlissa Florencia; Foto: Courtesy of Bazaar UK)