Seiring dengan peluncuran filmnya yang bertajuk W.E., sang superstar berbicara soal wanita, kekuatan , dan seksualitas.
Madonna tinggal di balik dinding tinggi sebuah bangunan yang merupakan gabungan dari tiga rumah townhouse, berlokasi di Upper East Side, New York. Ruang tamu, ruang makan, dan ruang duduk di rumah itu memiliki dekorasi klasik layaknya hotel high-end khas Inggris, dalam perpaduan nuansa hitam dan abu-abu nan mewah. Dengan lantai dan daun pintu berpalet hitam mengilap, lukisan orisinal karya Tamara de Lempicka yang berjajar di dinding, bahkan pelapis dinding yang terbuat dari bulu itik di kamar mandinya, tak mengherankan jika Madonna memilih benda-benda tersebut sebagai simbol kesuksesan. Karena pada kenyataannya, wanita ini begitu berani dan risiko yang ia ambil dalam kariernya telah berhasil mengubah pandangan dunia di era 1980-an. Saat berhadapan dengannya, sosok Madonna begitu mungil namun dengan tubuh yang sangat fit dan postur khas seorang penari. Wajahnya tampak lebih lembut daripada yang biasa terlihat di foto, dan siapa pun yang berbicara dengannya dapat merasakan bahwa ia sungguh tahu bagaimana harus bersikap. Berbalut celana panjang beige yang dipadukan dengan sweater berwarna senada dan kemeja putih serta boots, rambut pirangnya ditata model wavy yang simpel, Madonna menyambut Bazaar dengan penuh kehati-hatian.
Ketika Madonna tampil sebagai sosok ikonis, orang cenderung berpikir bahwa ia memilih untuk terlihat berani karena ia memang pribadi yang penuh ego dengan tekad yang kuat. Namun kenyataannya, sang mega bintang terlihat berani karena dalam hidupnya ia tak mendapatkan cukup perlindungan, rasa aman, dan kepercayaan diri. Di usia 53 tahun, Madonna tampak agresif, bijak, dan muda seperti halnya orang yang memiliki trauma masa kecil—ia kehilangan ibunya ketika berumur lima tahun. Dalam berbicara ia sangat berhati-hati, dan bahkan begitu rapuh. “Rasanya saya seolah tetap berada di high school, karena saya masih merasa jika kita tidak bisa fit in, hidup kita akan menderita,” tuturnya. “Bagi saya, hal itu belum berubah. Saya sangat sadar akan perbedaan dan bagaimana Anda harus bersikap jika ingin menjadi populer.”
Madonna kerap kali dicap sebagai provocatrix. Karya terbarunya, yakni film berjudul W.E., melengkapi daftar panjang aksi provokatifnya. Film yang ia sutradarai merupakan versi layar lebar dari cerita tentang Wallis Simpson, wanita asal Amerika Serikat yang pada tahun 1936 mampu mengguncang kerajaan Inggris akibat hubungannya dengan King Edward VIII. Setelah pemutaran perdananya di Venice Film Festival pada musim gugur tahun 2011, film ini ditayangkan di Amerika Serikat pada bulan Desember. “Membuat film itu sulit sekali. Mungkin inilah pekerjaan tersulit yang pernah saya lakukan,” ujarnya.
Di film yang skenarionya turut ditulis oleh Madonna ini mengisahkan tentang Wally (Abbie Cornish), seorang istri yang modern, muda, dan menawan yang memiliki segalanya namun terjebak dalam hubungan yang penuh kekerasan, dan sosok Wallis Simpson (diperankan oleh Andrea Riseborough) yang memiliki kesamaan meski hidup di zaman yang berbeda. Kisah dua wanita ini terjalin ketika Wallis masuk ke dalam pikiran Wally dan menjadi muse dan mentor bagi Wally, yang mengarahkan gadis itu untuk memegang kendali hidupnya.
“Saya percaya bahwa kita tak selalu memegang kendali atas apa yang kita lakukan. Kadang dalam perjalanan hidup, kita harus mengikuti keputusan orang lain,” ungkap Madonna. “Wally belajar mengenal jati dirinya, dan begitu pun saya, baik dalam perjalanan hidup saya maupun dalam perjalanan semua wanita.”
Topik ini begitu menarik bagi Madonna karena ia merasakan kontroversi yang berkelanjutan tentang sang Duchess of Windsor. “Saat saya tinggal di Inggris dan suatu ketika mengangkat topik mengenai Wallis Simpson dalam pembicaraan, mendengar namanya disebut saja mampu memicu kemarahan orang,” imbuhnya. “Film ini bercerita tentang kultus selebriti,” tambahnya lagi. “Kita gemar mengagungkan tokoh-tokoh dan memberikan cap pada karakter mereka. Dan ketika mereka tak bersikap seperti yang kita inginkan, kita pun menghukum mereka. Wallis Simpson menjadi terkenal secara otomatis ketika ia memenangkan hati sang raja, namun hal ini merupakan topik yang sangat dekat dengan diri saya.”
“Saya rasa, perilaku dan gaya hidup saya kerap menantang norma-norma sosial, seperti film ini,” jelasnya. “Saya melihat banyak persamaan dan hubungan antara keduanya.”
Aktris Andre Riseborough menemukan kebebasan saat bekerja sama dengan wanita powerful dalam film yang berpusat pada wanita. “Saya tertarik pada sosok yang kuat dan luar biasa, selain dari persona yang dilihat publik, dan saya tidak kecewa,” ungkapnya tentang Madonna. “Saya merasa sangat puas.”
Karya Madonna selalu mencapai puncak ketika ia masuk ke dalam perannya secara total, dan inti film ini menceritakan kebangkitan seorang wanita yang tadinya berstatus korban (dua wanita tepatnya, karena Wallis Simpson juga mengalami kekerasan dalam pernikahan pertamanya) hingga menjadi perempuan yang mampu menentukan nasibnya sendiri. Perjalanan seorang wanita memang jarang sekali menjadi fokus dalam sebuah film besar. Peran pria di film ini juga tak biasa: mereka ditampilkan dengan penggambaran tokoh yang pada umumnya dimainkan oleh wanita, seperti pada tokoh penjahat dan objek seks.
Tak dapat dipungkiri, banyak kritik pedas yang diterima Madonna akibat film ini, karena budaya kita sepertinya masih sulit menerima tokoh wanita yang memiliki power. Sementara menyutradarai film ini merupakan sebuah peran yang powerful, dan wanita ditempatkan sebagai inti dari film ini. Bagaimana keyakinan diri Madonna muncul sedemikian kuat? “Saya tak tahu,” jawabnya. “Saya pikir, sebagai orang kreatif, dalam segala hal yang saya kerjakan atau cara yang saya temukan untuk mengekspresikan diri, saya secara konsisten menemui perlawanan dalam beberapa hal. Saya berpikir bahwa masyarakat masih belum merasa nyaman dengan seksualitas wanita. Hal itu selalu datang dari pandangan pria, dan wanita dijadikan objek oleh kaum pria dan herannya, wanita merasa nyaman dengan perlakuan tersebut. Namun ironisnya ketika wanita melakukannya, mereka justru tak nyaman dengan hal itu. Menurut saya, penyebabnya adalah kondisi dan situasi yang ada.”
“Saya tak memiliki ibu yang membantu saya menghadapi masalah, ataupun role model wanita. Tumbuh di tengah keluarga Katolik Italia di Midwest membuat saya terbiasa dengan politik gender, saat melihat kakak laki-laki saya bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan, sementara perempuan diwajibkan memakai baju yang sesuai dengan aturan dan norma-norma. Kami diharuskan mengenakan rok yang panjangnya menutupi lutut, baju dengan kerah tinggi dan serba tertutup, tak boleh memakai makeup, dan tak boleh melakukan hal-hal yang menarik perhatian. Ayah saya sangat kaku dan old-fashioned, beliau mengatakan, ‘If there were more virgins, the world would be a better place.’”
“Saya yakin, sekarang beliau tidak akan berkata demikian,” lanjutnya. “Beliau mungkin ketakutan. Seperti pada saat saya kecil. Dan ketika di high school, saya menyaksikan apa yang harus dilakukan gadis-gadis populer untuk menarik perhatian lawan jenis. Saya tahu, saya tak bisa seperti itu. Jadi, saya memutuskan untuk melakukan hal sebaliknya. Saya menolak memakai makeup, dan saya membiarkan rambut tumbuh di ketiak.”
Madonna muda pun ‘disiksa’ oleh teman-temannya. “Laki-laki di sekolah mengejek saya,” sambungnya. “Mereka memanggil saya ‘hairy monster.’” Barulah ketika menginjak remaja, Madonna berkunjung ke gay club dan ia pun mulai menemukan jati dirinya. “Para pria straight tak menganggap saya menarik,” ungkapnya. “Saya pikir, mereka takut pada saya karena saya berbeda dari perempuan lain. Saya selalu ditanya, ‘Mengapa saya melakukan ini? Mengapa penampilan saya seperti itu?”
Kini pertanyaan yang ditujukan kepada Madonna sudah berubah, terlebih karena ia telah memiliki empat anak: Lourdes (15 tahun), Rocco (11 tahun), serta David (6 tahun) dan Mercy (5 tahun) yang diadopsinya dari Malawi. Saat ditanya tentang filosofinya dalam membesarkan anak, ia menjawab, “Saya selalu bilang kepada Lourdes untuk mengutamakan sekolah di atas hal lainnya.” Dan kebijakan ini berlaku juga untuk clothing line Material Girl yang dilansir tahun lalu. “Lourdes memiliki minat yang besar pada fashion, dan dia membantu mendesain koleksi Material Girl. Saya hanya mengamati dari belakang. Saya membaca blog-nya dan mengeditnya, lalu menegurnya saat dia malas menulis.”
Ia pun melanjutkan, “Saya mendorong anak-anak untuk banyak bertanya. Saya tak mau mereka datang kepada saya dan berkata mereka ingin melakukan sesuatu karena semua orang melakukannya. Anda harus menyatakan alasan di balik pilihan Anda, keuntungan apa yang akan Anda dapatkan, dan apa artinya bagi Anda. Jika tidak demikian, Anda bagaikan robot. Anda tak berpikir untuk diri Anda sendiri. Ke mana Anda akan membawa hidup Anda dengan attitude seperti itu?”
Madonna dengan terang-terangan menceritakan efek dari status selebritinya pada anak-anaknya. “Suatu ketika saya sedang berjalan bersama Lourdes. Saat itu dia sedang merasa kurang sehat,” tuturnya. “Dia mengenakan celana tracksuit dan T-shirt, dan ketika muncul paparazzi, dia langsung membalikkan badan dan kehilangan kepercayaan diri. Memiliki anak remaja merupakan sebuah tantangan, apalagi memiliki anak remaja di New York City, dan terlebih lagi, dia adalah anak dari seorang terkenal. Saya sadar betul tekanan yang dialaminya, dan saya kerap meminta maaf atas hal ini. Namun hal ini memicu diskusi kami tentang apa yang real dan yang tidak.”
Selain beradaptasi dengan negara baru dan sekolah-sekolah baru sebagai single mother (ia pindah kembali ke New York sejak dua tahun lalu), Madonna kini menjalin hubungan dengan seorang breakdancer asal Prancis, Brahim Zaibat. Menanggapi hubungan dengan kekasihnya ini, ia berkomentar, “Saya tak terlalu suka menyebutnya sebagai lover, karena terdengar seperti seseorang yang datang untuk sekadar berhubungan seks dengan Anda. Saya membutuhkan pria yang lebih dari itu. Seseorang untuk berbagi kehidupan pribadi saya. Itu sangatlah penting bagi saya. Yang tak kalah penting, anak-anak mengagumi dan menghormati partner yang saya pilih untuk saya. Terutama anak-anak laki-laki saya, mereka memiliki ayah [yaitu sang mantan suami, Guy Ritchie], namun juga membutuhkan pria sebagai role model mereka. Jadi, saya selalu mengingat hal berikut: Apa yang pria ini contohkan kepada anak-anak saya, pria seperti apa dia, nilai-nilai apa yang dianutnya, energi seperti apa yang ia pancarkan? Karena hal ini begitu penting dan mudah ditularkan.”
Kualitas apa yang ia ingin anak-anaknya contohkan dari sang partner? Dengan mantap ia menjawab, “Rasa hormat terhadap wanita dan mengerti bahwa mereka harus berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dua hal itulah yang terpenting.”
Wallis Simpson tentunya memiliki reputasi sebagai wanita dengan daya tarik seksual yang luar biasa. “Saya tak sepenuhnya percaya akan hal itu,” imbuh Madonna. “Namun saya yakin dia adalah wanita yang powerful, sehingga tak heran bila banyak orang mengarang cerita tentang dia. Ketika wanita diyakini sebagai sosok powerful, dan melakukan hal-hal yang tak semestinya mereka lakukan, mereka dicap sebagai sexual predator.” “Masyarakat tak habis pikir bagaimana Wallis mampu menaklukkan seorang raja,” jelasnya. “Dalam pandangan konvensional, wajahnya tidak cantik dan bentuk tubuhnya tak berlekuk seksi; dia juga telah dua kali bercerai, dan pada saat dia menikah dengan sang raja, dia tak seharusnya memiliki anak. Usianya sudah melampaui batas bagi seorang wanita untuk menikah.”
Madonna menegaskan bahwa usianya kerap menjadi perhatian publik. “Tiap kali saya membaca berita tentang diri saya, usia menjadi sesuatu yang disebutkan setelah nama saya,” tuturnya. “Mereka menulis, ‘Inilah Madonna, jangan lupa bahwa dia sudah berusia sekian tahun. Dia dan semua orang semestinya ingat akan usianya.’ Ketika Anda mengkritik usia seseorang, Anda membatasi ruang gerak mereka."
Ia melanjutkan, “Yang paling penting adalah Anda menikmatinya— menjadi provokator, melakukan hal-hal yang hanya ada di dunia anak muda, menjadi pemberontak, dan memulai revolusi.” (Oleh Naomi Wolf, Fotografi oleh Tom Munro)