"Saya selalu berpikir bahwa transisi yang dilakukan karena kebutuhan lalu menjadi simbol mode adalah suatu hal yang menarik," ungkap desainer asal Inggris, Patrick McDowell. "Kita semua bisa melihat dari keberadaan mantel trench yang berasal dari era Perang Dunia I yang mana kali ini menjadi busana wajib hampir semua orang, namun pada saat itu merupakan sesuatu yang cutting edge, sebuah inovasi militer."
Ia pun kemudian menyampaikan opininya tentang "trench coat" di tahun 2020 atau lebih tepatnya, masker, sesuatu yang menjadi kebutuhan mengejutkan di dunia aksesori pada awal tahun ini. Ia pun turut mempromosikan masker wajah dengan membagikan tutorial cara membuat DIY masker wajah, yang bertujuan dapat dijadikan inspirasi di bulan Maret lalu dengan hanya mengandalkan benda yang mudah ditemukan di rumah seperti seprai, handuk dapur, jarum, dan benang.
"Sebenarnya, ketika saya mengirimkan Anda tutorial tersebut, saya berpikir "Aduh itu tampak membosankan", ya karena itu hanya masker wajah yang terbuat dari kain putih, karena sekarang saya justru mengenakan masker bahan sutra berwarna biru, oh, dan saya juga memiliki masker berwarna merah muda," ungkapnya. "Seperti hal lainnya di industri mode, jika Anda menyukai apa yang Anda kenakan, tentu Anda akan merasa lebih baik bukan?"
Yang mana kemudian, setelah hampir 3 bulan kita semua resmi harus mengenakan masker penutup di publik seperti di transportasi publik dan hampir 2 bulan kita diwajibkan mengenakannya di dalam toko, sekarang masker menjadi sesuatu yang wajib dan dapat dibeli di banyak toko maupun dibuat secara rumahan.
Dari mulai Off-White dan Burberry, 3.3 Phillip Lim, The Vampire's Wife, Mulberry, Staud, Tory Burch, dan Erdem, ada sebanyak 903,503 pencarian masker wajah di situs Etsy, bahkan Anda bisa membeli masker sebanyak 50 potong dari Amazon atau memiliki masker dengan taburan bebatuan berlian putih dan hitam seharga 1,5 Juta Dollar Amerika Serikat.
"Sejak masker wajah telah berevolusi menjadi sebuah normal baru, kami menerima banyak sekali pesan dari para pengikut kami agar turut merilis koleksi masker wajah dan tidak hanya untuk pengantin wanita," ucap Hermione de Paula, yang melalui lini busana pengantinnya telah merilis mask kityang berisikan pita, pouch, sarung tangan dan syal, kipas, sekaligus masker kain dengan bordir untuk para pengantin wanita. Ia pun kewalahan dengan banyaknya permintaan yang datang.
"Saya awalnya ragu untuk turut lompat ke dalam situasi krisis dunia dan kehancuran seperti ini dengan menciptakan sesuatu yang fashionable. Bagaimana pun, karena industri pernikahan sudah diizinkan untuk dibuka kembali dan para pengantin wanita memiliki harapan untuk merayakan hari spesial mereka bersama orang-orang yang mereka cintai, tentu penting untuk kami agar dapat menyediakan solusi yang baik kepada para klien kami," jelasnya. "Saya ingin mereka dapat mengkoordinasikan gaun pernikahan mereka dengan masker wajah mereka sehingga masker tersebut juga dapat mencerminkan gaya personal mereka."
Nyatanya, ada beberapa kesinambungan antara masker dan sejarah masker yang dapat ditemukan, yang mana masker diasosiasikan sebagai simbol ketakutan dan biologi, sekaligus identitas sosial.
"Ada beragam sejarah masker," ucap Caroline Stevenson, Kepala Ilmu Budaya dan Sejarah di London College of Fashion, yang mereferensikan kepada munculnya wabah di era terdahulu. Para dokter di banyak komunitas, yang bahkan belum tentu dididik secara profesional tetapi terpaksa harus mengurus banyak tubuh manusia, mereka harus mengenakan masker yang menyerupai bentuk paruh yang diisi oleh rempah-rempah untuk menghindari mencium bau aroma busuk.
Mereka kemudian mengenakan jubah dari lilin dan dibekali tongkat untuk mendorong tubuh manusia, yang mana hal itu sangat seram untuk disaksikan. "Manusia telah mengenakan masker dari sebelum mereka dikenalkan oleh konteks bahasa medis dan sebelum mereka mengetahui ilmu pengetahuan tentang kuman dan bagaimana kuman dapat menyebar.
Namun, mereka tahu bagaimana wabah dapat menyebar dari satu individu ke individu lainnya melalui kontak langsung antar manusia, tetapi orang-orang dahulu kira hal itu terjadi diakibatkan peran iblis dan setan yang menyebarkannya," ungkap Stevenson. Menangkap hal tersebut, masker dahulu tidak hanya berhubungan dengan perlindungan diri namun juga sebagai, alat spiritual.
Tetapi, pada tahun 1162, masker sudah memiliki peran signifikan di Venesia dan di perayaan karnaval, namun saat itu masker diasosiasikan dengan penunjang hiburan (masker di selebrasi Venesia terbuat dari kaca, kulit, dan bulu), anonimitas dan navigasi akan struktur sosial yang kaku, yang membedakan si kaya dan si miskin, berubah ketika mereka mengenakan masker dan bisa menjadi sosok yang berbeda.
"Masker menyatukan orang-orang eksentrik bersama-sama dan mengizinkan mereka untuk saling melakukan hal-hal tak lazim yang biasanya tidak diperbolehkan di lingkungan normal," ungkap Stevenson. Dengan mengenakan masker, para individu tersebut dapat melakukan pembangkangan dan perlawanan yang melanggar hukum gereja Katolik di Venesia selama bertahun-tahun lamanya. Nmaun, selama era renaissance, masker mulai dikenakan kembali dalam aktivitas sehari-hari.
Selama wabah flu Spanyol di tahun 1918, berbagai penelitian dari jurnal pribadi dan catatan harian pribadi mencatat bahwa para pemakai masker sudah mulai lebih kreatif, layaknya parap penjual masker kain saat ini melalui situs Etsy yang dikabarkan telah menyentuh angka 346 Juta Dollar Amerika Serikat. Selain itu, masker juga telah menjadi benda yang umum di benua Asia, dikarenakan polusi yang melanda wilayah mereka. Untuk momen di luar panggung runway, Anda juga bisa melihat banyak sosok yang muncul di street style scene di luar Seoul Fashion Week mengenakan masker, sementara di atas panggung runway, brand Marrine Serre menampilkan masker beraliran avant garde rancangan mereka pada bulan Februari lalu. Ada juga penyanyi Country, Orville Peck mempopulerkan masker dengan detail fringe yang menjadi ciri khas dirinya sejak sebelum pandemi.
"Aksesori akan menyampaikan banyak hal tentang apa yang sedang terjadi di sebuah lingkungan pada saat itu," ucap Elizabeth Way, asisten kurator di The Museum - FIT, yang memulai bekerja untuk melangsungkan ekshibisi bersama kurator Melissa Marra-Alvarez, yang bergerak di bidang pendidikan dan riset, hal tersebut ia lakukan dua tahun lalu dengan menamakan ekshibisi tersebut Head To Toe, yang menceritakan sejarah aksesori wanita, yang mana masker juga termasuk di dalamnya.
"Jika Anda berpikir untuk mengenakan masker, mereka menjadi sesuatu yang sangat jelas di bagian wajah kita, sehingga ada orang yang mengenakannya untuk melindungi diri, dan ada juga yang menjadikannya sebagai simbol solidaritas. Ketika Anda menginjeksikan nuansa mode ke dalamnya, masker juga bisa menjadi penanda identitas diri," ucap Marra-Alvarez.
Namun Elizabeth kemudian menjelaskan: "Dalam berbagai hal, mereka lebih terpampang dengan nyata dibandingkan aksesori lain yang kita kenakan di area sekitar wajah dan karena itu mereka menjadi bagian dari mode dan penanda pergerakan sosial, karena mereka sangat kelihatan."
Beberapa desainer kini mencoba untuk tidak menjadikan masker sebagai sinyal bahaya atau simbol ketidakamanan. Desainer asal Amerika Serikat, Raquel Allegra menambahkan masker ke lookbook sekaligus rumah mode Versace. "Saya merasa dihakimi. Merasa tidak nyaman sama sekali, dan merasa agar orang-orang menjauh, namun itu dahulu. Sekarang saya merasakan hal sebaliknya, saya justru merasa tak nyaman dekat dengan orang yang tidak mengenakan masker. Masker adalah simbol bentuk pertanggung jawaban kita untuk diri sendiri dan orang lain."
Seorang desainer asal Korea Selatan, Jackie Leo, dari brand J JS Lee, juga merasakan hal yang sama. Dahulu ketika ia membuat masker untuk para teman, keluarga, dan pekerja di toko swalayan pada bulan Maret, ia juga mendapatkan kebencian. "Apakah kamu sakit?", ucapnya karena orang-orang segera berpikir bahwa ia sakit ketika mengenakan masker, dan orang menatapnya dengan aneh, ia juga menerima surel yang menuduhnya hanya menciptakan ketakutan berlebih terhadap orang sekitarnya.
"Ini hanyalah persoalan budaya," ucapnya. Ketika selebriti mengenakannya, mereka tampak keren, namun ketika non selebriti mengenakannya orang akan mengasosiasikannya dengan bandit atau perampok bank. "Ketika Anda menutupi wajah Anda, orang kira Anda ingin menyembunyikan sesuatu," ungkapnya. Dengan diharuskannya kita mengenakan masker yang menutupi bagian hidung dan bibir, hanya mata yang tampak terlihat, dan di budaya barat, mereka memang tidak ahli dalam melakukan eye contact. Bahkan di emoji milik kita, semua emosi digambarkan melalui perubahan gerak mulut, dari mulai senang, bahagia, tertawa, atau kesal. "Emoji orang Asia justru terletak di bagian mata," ungkap Lee.
Masker tidak hanya menyampaikan apa yang kita rasakan saat mengenakannya, tapi menjadi simbol sinyal untuk orang sekitar. "Masker menjadi semacam kaos saat ini," Ucap Elizabeth Way, bahkan masker sudah menjadi potensi alat untuk berpolitik, yang dilakukan beberapa selebriti seperti, Shia LaBeouf, yang mengenakan masker untuk memberi tahu siapa presiden yang akan ia pilih di pemilihan capres selanjutnya. Stevenson juga membandingkan masker dengan tote bag untuk tujuan promosi.
Pertanyaanya kali ini: Apakah kita juga akan menimbun banyak masker? Mungkin hanya sejarah yang bisa menjawabnya nanti.
(Penulis: Jessica Bumpus; Artikel ini disadur dari Bazaar UK; Alih bahasa: Astrid Bestari; Foto: Courtesy of Bazaar UK)