Tinggalkan Sejenak Lanskap Virtual, Saatnya Kembali Terkoneksi di Dunia Nyata

Anak Butuh Main, Bukan Hanya Scroll.

Foto: Courtesy of Dok Bazaar


Pemahaman kita tentang kesehatan mental kini telah berkembang pesat dibandingkan 10 atau 15 tahun yang lalu. Kami, generasi X, menyerap banyak hal baru mengenai pentingnya keseimbangan hidup sebagai kunci utama bagi kesejahteraan mental. Untuk itu, kami berterima kasih kepada generasi milenial dan Gen Z yang telah “memaksa” kami untuk menyadari bahwa pertumbuhan diri sejati dimulai dari dalam. Kesehatan mental adalah hak hidup, yang dulu, mungkin, jarang disadari oleh generasi kami. Justru kebutuhan generasi kalianlah yang mendorong perkembangan baik ini.

BACA JUGA: iSWARA Hadir Untuk Mengedepankan Aspirasi Generasi Digital

Kini, tak sedikit anak muda yang dengan sadar menolak pekerjaan bergaji tinggi bila lingkungan kerjanya tidak mendukung keseimbangan hidup yang sehat. Dulu, kita bahkan tak menyadari bahwa itu adalah pilihan yang bisa diambil.

Lalu, pertanyaannya: mengapa generasi muda kini begitu peduli dan membutuhkan perhatian terhadap kesehatan mental? Bukankah setiap generasi memiliki tantangannya sendiri? Bukankah stres bisa membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat? Mengapa repot-repot menahan diri untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain, sementara rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau? Masalah sebaiknya diselesaikan, bukan ditangisi. Generasi terdahulu mengembangkan daya juangnya lewat pengalaman langsung menghadapi tantangan. Dunia luas dan penuh tantangan, hanya mereka yang tangguh yang bisa bertahan.

Namun sekarang, dunia terasa hanya selebar layar dalam genggaman. Minimnya interaksi nyata sedikit demi sedikit mengikis ketangguhan manusia.

Saya kemudian mendengarkan podcast Oprah yang mewawancarai Jonathan Haidt, penulis buku The Anxious Generation. Wajar bila buku ini bertahan lama di posisi teratas New York Times Bestseller, karena akhirnya, generasi yang lebih tua pun mulai memahami akar keresahan generasi di bawahnya.

Sebagai seorang psikolog sosial, Jonathan menjelaskan bahwa epidemi gangguan mental pada remaja kini muncul karena hilangnya masa bermain anak yang digantikan oleh layar gawai. Masa kanak-kanak berbasis permainan (play-based childhood) berubah menjadi masa kanak-kanak berbasis gawai (phone-based childhood), tren ini mulai muncul sejak 1980-an dan memuncak di awal 2010-an. Dampaknya besar: perkembangan sosial dan neurologis anak terganggu, munculnya gangguan kecemasan, kecanduan, rentang perhatian yang pendek, sulit fokus, kesepian, insomnia, perbandingan diri yang ekstrem, hingga perfeksionisme.

Oprah bahkan menyebut bahwa semakin sedikit anak muda yang bisa duduk tenang membaca buku. Setelah beberapa kalimat, mereka sudah terdorong untuk kembali memegang gawai. Banyak yang mengaku, satu jam adalah batas waktu terlama mereka bisa terpisah dari layar. Gelisah saat tak memegang ponsel, canggung saat harus berinteraksi nyata.

Dalam podcast lainnya bersama dr. Rangan Chatterjee, Jonathan juga menjelaskan bahwa dampak media sosial berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung suka kegiatan kelompok; perempuan mencari hubungan emosional lewat koneksi sosial. Ironisnya, banyak orang tua justru terlalu melindungi anak-anak mereka dari dunia nyata, namun kurang mengawasi aktivitas anak di dunia maya, yang sebenarnya lebih berisiko.

Predator online tersembunyi di balik anonimitas. Anak perempuan yang secara alami mendambakan koneksi sosial kini berinteraksi di dunia digital yang tak terbatas. Meski dampak juga dirasakan oleh anak laki-laki, efeknya terhadap anak perempuan lebih besar. Jonathan bahkan menyatakan, “Media sosial jauh lebih merusak bagi anak perempuan.” Ouch.

Gawai bukanlah pengganti orang tua. Anak-anak tetap butuh waktu bermain, baik sendiri maupun bersama teman. Bermain, tumbuh, dan berinteraksi adalah bagian penting dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Hanya lewat bermain bebas, anak belajar menghadapi tantangan dan mengembangkan daya tahan. Interaksi langsung itulah yang membentuk kemampuan menghadapi stres dan ketidakpastian.

Keinginan orang tua untuk menjaga anak agar tetap aman bisa jadi justru membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang mudah cemas. Contohnya, banyak anak laki-laki kini terbiasa menarik diri karena waktu bermainnya digantikan dengan permainan online yang dilakukan sendirian di kamar. Interaksi digital membuat mereka tampak “aman” di rumah, padahal sesungguhnya mengurangi kemampuan mereka dalam bersosialisasi secara nyata.

Tentu kita tak bisa menolak keberadaan teknologi. Kehidupan modern tidak bisa lepas dari gawai. Namun Jonathan menawarkan solusi yang dapat diterapkan orang tua masa kini: batasi penggunaan layar. Hindari penggunaan media sosial sebelum anak berusia 16 tahun. Berikan ruang dan waktu bermain sesuai usia mereka. Anak-anak membutuhkan stimulasi untuk membentuk daya tahan mental, sosial, dan emosional yang sehat. Kita ingin mereka tumbuh sebagai manusia yang sehat, tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental.

“It is a happy talent to know how to play.”— Ralph Waldo Emerson

Cukup sudah keresahan ini berlangsung. Dunia digital memang luas, namun hanya dunia nyata yang mampu membentuk ketangguhan sejati.

Jika Anda adalah orang tua atau calon orang tua, bacalah buku The Anxious Generation. Kita punya tanggung jawab besar terhadap generasi berikutnya. Jangan biarkan mereka tumbuh dalam kecemasan yang bisa dicegah. Dan sebagai tantangan pribadi: mampukah Anda membaca buku selama satu jam tanpa menyentuh gawai?

Percayalah, dunia jauh lebih luas dari layar di genggaman kita. Sekarang, izinkan saya menutup layar ini dan kembali membuka buku yang sedang saya baca. Semoga belum terlambat untuk memahami semua ini.

BACA JUGA:

Segera Rengkuh Dunia Gantikan Millennial, Bagaimana Karakteristik Generasi Z?

Halo, Generasi Beta! Siapkah Tujuh Generasi Sebelumnya Berdampingan dengan Mereka?


Baca artikel Bazaar yang berjudul “Bebas di luar layar” yang akan terbit di edisi cetak Harper’s Bazaar Indonesia - Juli 2025; Penulis: Dave Hendrik; Alih bahasa: Megan Isman; Foto: Courtesy of Dok Bazaar