Sebagai seorang introvert yang tinggal sendirian, seminggu satu kali biasanya saya merindukan kehadiran teman-teman dekat saya. Saya biasanya menghindari hanya bebicara melaluitext messageatau melalui telepon. Kok rasanya kurang terpenuhi kebutuhan ini. Jika memang bisa yang paling saya nikmati adalah bejumpa tatap muka dan terlibat dalam obrolan hangat. Kadang tak selalu mengenai hal penting, hal remeh-temeh pun bagi saya terasa lebih memberi arti bila dilakukan bertatap langsung. Hanya dari obrolan langsung inilah saya merasa terkoneksi. Mereka yang dekat sudah paham bila berada bersama saya, jarang dan sebisa mungkin tindak menyentuh handphone. Mereka mengerti saya paling menghargai atensi penuh yang terbina saat bersama. Hanya dengan cara seperti itulah, waktu yang diluangkan bersama dapat berikan arti bagi saya. Beberapa kenalan saya menyebut tabiat saya ini kuno dan ketinggalan zaman.
"Repot deh lo, ekspresi kangen sama temen, tuh sekarang banyak caranya. Senggol-senggolan di komen, kirim reels, gojekin makanan, face call. Repot amat, sih pake harus ketemu segala. Macet jalanan Jakarta, deh. Lama kalau cari waktu janjian!”
“Semua kerjaan adanya di handphone, dunia dalam genggaman. Multitasking saja kita, bisa ‘kan? Ngobrol sambil kerja!”
Bisa, tapi tak mau.
Bisa-bisa saja kok kita bertemu berada bersama namun semua sibuk memandang layar di genggaman. Tidak terlibat dalam obrolan yang berarti. Bukan pemandangan baru hal ini kini. Together alone. Duduk bersama di kafe tapi tak ada koneksi yang terjadi selain dengan layar masing-masing. Di rumah, keluarga duduk di meja makan sambil makan namun mata tersita di layar gadget. Saling senggol di media sosial minta meet up tapi kemudian saat bertemu semua sibuk menikmati konten layarnya. Don’t get me wrong, I am quite active on my social media too. I am merely stating out that what really fulfilled my needs is real meaningful conversations. Entah mengapa, koneksi di layar tetap terasa kering buat saya.
Sosok dr. Rangan Chatterjee, General Practitioner dan author di podcast-nya membahas manfaat good effective conversations dengan Nihal Arthanayake, Professional Conversationalist. Baru dengar, ‘kan kalau ada titel pekerjaan Professional Conversationalist. Sebenarnya Nihal Arthanayake juga adalah seorang broadcaster dan presenter TV, bahkan ia pernah mendapatkan penghargaan interviewer of the year dari BBC Radio & Music Award.
Nihal sangat menghargai pentingnya genuine conversation antar sesama manusia. Kini ia membagikan ilmunya tersebut di bukunya Lets Talk: How To Have Better Conversation. Hanya melalui obrolan tulus yang terjadilah, manusia sebenarnya mendapatkan pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Emosi yang sehat tentu berbuntut pada kesehatan fisik, kerena keduanya saling terkoneksi. Menurut Nihal, mengapa saat ini semakin banyak orang yang menderita gangguan mental adalah karena mereka merasa kesepian.
Sendirian, merasa terisolasi, tak dipahami, dan tak dihargai. Akar dari ini semua adalah karena hilangnya koneksi yang terjadi antar sesama manusia. Bagaimanakah cara alami manusia membina koneksi satu dengan yang lain? Jawabannya melalui obrolan. Only through effective and good conversations, we get what we need. Feeling seen and valued.
Nihal dengan tegas ungkapkan, baginya posting di media sosial bukanlah bentuk komunikasi dua arah. Posting on social media are not conversations. Social media is performative. A series of monologue, it is not a dialogue. Pemahaman mobile phone adalah sebuah disrupsi pada koneksi manusia sebenarnya bukanlah hal baru. Ilusi kita kini dapat dengan mudahnya terhubung dengan begitu banyak orang melalui media sosial membutakan kita pada kebutuhan alami manusia untuk bertumbuh. Real genuine connections. Humans are wired for good connections that are build through good conversations. Menilik sejarah manusia, semua ide besar yang tercipta tumbuh dari good conversations. Bangsa Yunani kuno gemar sekali berkumpul dan saling berbagi ide dan bertukar cerita.
The history of human kind is based on great conversations. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan manusia. Coba lihat lagi sejarah bangsa kita, banyak sekali momen bersejarah yang diawali dari obrolan yang terjadi saat para negarawan sedang berkumpul. Konon coffee society di London di abad ke-17 tumbuh melahirkan begitu banyak ide brilian yang tercipta dari obrolan yang terjadi sambil menikmati kopi. Duduk menikmati secangkir kopi sambil ngobrol, berbagi ide dan pandangan membuka wawasan. Coffee equals social interactions and intellectual discourse. Back then.
Yang kuno terkadang memang mendasar. Bila bertemu dan ngobrol secara langsung dianggap lawas, kemampuan untuk dapat berkomunikasi langsung dengan tulus dan lugas terancam hilang. Conversations is an art. It feeds the soul. Don’t let AI and 5G rob our genuine connections. Please do eye contact and open your heart. People need to be seen and you need to be valued. Ternyata bukan saya saja yang membutuhkan obrolan hangat bersama teman.
Dunia (masih) membutuhkannya!.