Pergelaran MaxMara untuk koleksi Resort 2023 berlangsung di taman luas nan asri sebuah gedung institusi di Portugal pekan lalu. Lebih tepatnya di ibu kota Lisbon, yayasan Calouste Gulbenkian merupakan institusi swasta yang mengutamakan pelestarian seni dan sejarah budaya Portugal.
Dalam salah satu kunjunganya tahun lalu, Direktur Kreatif Ian Griffiths, menilik dan terpesona oleh sebuah lukisan karya Nikias Skapinakis. Lukisan tersebut menampilkan seorang penulis Portugis bernama Natália Correia. Alhasil, lahirlah sebuah koleksi yang memberikan hormat terhadap penulis tersebut serta budaya negara kelahiranya.
Lukisan yang menjadi pencetus awal proses kreatif Ian nyatanya tidak sebatas visual.
Subjek lukisan, Natália Correia, merupakan tokoh ikonis di Portugal pada tahun ‘70-an yang gemar menggunakan unsur sastra erotis melalui sajak-sajak puisinya. Hal ini menjadikan Natalia sosok aktivis radikal yang cukup kontroversial pada saatnya, bahkan ia sempat mendekam di penjara selama tiga tahun. Ian membangkitkan semangat kaum hawa Natália yang penuh tekad ini melalui stoking jaring-jaring, potongan atasan crop, siluet dramatis, serta lengan exaggerrated. Persembahan perdana di runway pun merupakan gagasan seorang pahlawan wanita melalui luaran cape dramatis yang panjangnya mencapai tumit sang model, lengkap dengan potongan hood.
Busana kedua mengusung permainan elemen kontras lewat potongan kemeja pria yang ditampilkan dalam siluet layaknya sebuah dress.
Ya, kembali bermain dengan rekonstruksi busana terhadap gender. Padu padan stoking fishnet serta potongan crop yang memperlihatkan sepenggal kulit menyatakan gelagat feminin yang berani dan penuh keyakinan. Tailoring dan tekstur juga menjadi unsur dominan melalui potongan bahu dramatis, luaran overcoat khas Max Mara, dan perpaduan material kasmir, sutera, serta shearling.
Rok dengan detail lipit memberikan hormat terhadap pakaian wanita tradisional Portugal. Warna-warna cerah seperti kuning, hijau, ungu, dan biru mengundang unsur negara dengan keragaman budaya dan arsitektur yang bukan sebatas mencolok, tetapi mendalam.
Menggugah visual kota pesisir Lisbon, ada juga perhiasan kuda laut dan lobster berpayet kristal yang mengelevasi serangkai sweter rajut dan luaran bulu. Penggunaan print dan visual hati di koleksi kali ini memetik inspirasi dari karya pengrajin lokal Portugal “Lenços de namorados do Minho” atau dalam bahasa Indonesia "Saputangan-saputangan Cinta."
Musik juga merupakan bagian besar budaya negara Portugal, dan hal ini tidak terlupakan oleh Ian. Latar belakang taman tentram dan gemulainya tarian daun-daun di pohon dipadu dengan musik khas portugal, Fado, menciptakan nuansa melankolis yang hangat dan menghanyutkan.
Satu hal berbeda yang menonjol di peragaan busana kali ini adalah adanya sosok tunggal model pria di panggung runway. Ini merupakan pertama kalinya untuk Max Mara. Sang model dibalut dengan luaran panjang berona cokelat camel yang sudah menjadi ciri khas Max Mara. Apakah ini sebuah pernyataan untuk Max Mara yang kedepanya? Nyatanya tidak. Ian menegaskan bahwa hal ini sebatas mencerminkan kenyataan dimana banyak pria telah mengenakan luaran wanita termasuk overcoat Max Mara.
"Sebagai rumah mode yang sejak awal menjunjung tinggi wanita, untuk menciptakan sosok pria Max Mara saat ini adalah sebuah pengkhianatan." tutur Ian.
Nyatanya, Max Mara dibawah naungan Ian Griffiths akan senantiasa mengutamakan sosok wanita. Melalui house codes atau ciri khas warisan rumah mode Italia ini, dan dengan injeksi segar yang bersifat antar budaya dari sang direktur, Max Mara hadir dengan sederet siluet klasik yang diberikan sentuhan baru penuh inspirasi dan intrikasi mendalam untuk koleksi resort mendatang.
(Penulis: Hans Hambali, Foto: Courtesy of Max Mara)