Pertunjukan opera klasik terkini dengan seluruh pemain yang mengenakan kain-kain karya dan koleksi almarhum Iwan Tirta.
Untuk mengenang sosok maestro Iwan Tirta, sebuah jamuan makan malam yang menyajikan kuliner nusantara yang terinspirasi menu khas kerajaan di Jawa, diramu oleh The Dharmawangsa. Hari ini, Kamis 4 Juli 2013, bertempat di Grand Ballroom Hotel The Dharmawangsa, sebuah pertunjukan opera klasik Jawa untuk mengenang maestro batik dunia, Iwan Tirta, akan digelar di hadapan publik dalam program Royal Dinner.
Kini, dalam rangka mengenang Iwan Tirta, maka posisi Batik diletakkan kembali ke dalam konteks kebudayaannya. Melalui pergelaran ini, pemirsa akan menyaksikan Batik sebagai karya agung budaya Indonesia, yang akan dibingkai dalam opera Jawa.
Opera klasik Jawa berjudul Knights of the Golden Empress ini digarap oleh produser Bram & Kumoratih Kushardjanto dan dua orang tokoh dalam dunia seni pertunjukan tradisi, yaitu Rahayu Supanggah dan Elly D. Luthan. Rahayu Supanggah adalah komposer karawitan yang memiliki reputasi dunia dan lebih banyak dikenal oleh publik internasional. Sedangkan Elly D Luthan adalah koreografer yang sangat intens menggeluti beragam bentuk tari yang berpijak dari tradisi, terutama Jawa klasik
Batik dan Tari. Bagi Iwan Tirta, hubungan antara keduanya tidak bisa lepas satu dengan lainnya. Di dalam khazanah kesenian Jawa terlebih lagi. Batik tidak semata-mata menjadi kostum yang nantinya memperindah sebuah koreografi. Namun lebih daripada itu, ia turut menjadi nyawa di dalam setiap bentuk tari.
Koleksi batik klasik Iwan Tirta akan diperagakan oleh para penari klasik tradisional Jawa melalui sebuah opera klasik tradisi yang juga merupakan
mahakarya dari para maestro seni pertunjukan klasik tradisional Jawa warisan masa lampau. Alasan utama untuk menggelar peragaan busana adibusana melalui format opera / seni pertunjukan klasik yang menggabungkan seni tari, akting dan olah vokal ini, tak lain karena ekspresi keanggunan, keagungan dan keindahan batik klasik tersebut akan muncul jika batik diletakkan dalam satu kesatuan estetika yang terbingkai dalam konteks kebudayaan yang melahirkannya.
Garapan opera Knights of the Golden Empress ini berangkat dari referensi seni pertunjukan klasik tradisi, antara lain adalah langendriyan. Langendriyan adalah salah satu bentuk teater tari tradisional yang memiliki posisi penting pada masanya. Langendriyan diciptakan pada masa abad ke-18 di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Langendriyan memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi, sehingga menuntut kemampuan yang prima dari para seniman pendukungnya, mulai dari olah tari, vokal hingga kemampuan teater.
Garapan tari Knights of the Golden Empress ini menggunakan pola garap dasar yang terdapat pada tari klasik Jawa gaya Surakarta dan pengembangannya. Pengembangan dilakukan dengan melakukan re-interpretasi genre yang ada pada tari klasik seperti wireng, bedhaya, langendriyan dan wayang wong. Oleh karena itu, garapan ini memiliki keleluasaan di dalam menginterpretasikan cerita dan penokohan. Penggunaan sembilan penari sebagaimana yang ada dalam bedhaya dapat memerankan karakter tokoh tertentu, yang dalam saat bersamaan dimungkinkan melebur dan beralih fungsi karakter untuk memperkuat suasana maupun menarikan simbolisasi cerita. Pengungkapan ekspresi juga dilakukan dengan menggunakan dialog melalui tembang-tembang Jawa sebagaimana yang ada pada bentuk-bentuk opera.
Iwan Tirta Private Collections (ITPC) berperan besar dalam mendukung terwujudnya opera Knights of the Golden Empress ini. Seluruh kain dan
perhiasan merupakan karya dan koleksi Iwan Tirta yang dirawat dan dikelola oleh ITPC, maupun dihimpun dari para sahabat, dan pencinta karya sang maestro.
(Teks: Muhammad Aziz ; Foto: Dok. Bazaar edisi Juni 2012 yang menampilkan para kolektor kain Iwan Tirta)
Inti Subagyo