Mengulik Peran High Fashion dalam Industri Film

Tak hanya menampilkan keindahan visual sinematografi, sejumlah film juga turut menggandeng brand ternama untuk menguatkan karakter pemeran.



Apakah Anda seorang penggemar film? Atau justru Anda merupakan tipe yang tertarik menonton film berdasarkan poster film yang mencuri perhatian? Ya, apa pun penilaian Anda tentang dunia perfilman, namun bisa dipastikan jika Anda seorang penggemar fashion yang bonafide (karena Anda sedang membaca situs Harper's Bazaar Indonesia.)

Kalau bisa dibilang, saya adalah tipe wanita yang memiliki kecenderungan untuk menonton film berdasarkan visual yang terpampang pada poster film tersebut. Entah para pemainnya terkenal atau bahkan kurang familier. Apalagi ketika melihat busana yang impresif pada poster film itu, saya akan langsung membeli tiket, tanpa harus melihat trailer-nya terlebih dulu atau atas rekomendasi dari orang lain.

Seperti kutipan dari Miuccia Prada yang berkata, “What you wear is how you present yourself to the world, especially today, when human contacts are so quick. Fashion is instant language.” Maka tak heran jika banyak di antara kita, terutama saya, yang seringkali menilaisesuatu berdasarkan selera fashion. Lebih-lebih lagi jika bicara soal perfilman.

Oleh karenanya, peran seorang desainer kostum di industri film menentukan kesuksesan dalam ‘mengawinkan’ fashion dengan sinematografi secara tepat. Dan tentu saja, seiring berjalannya waktu peran fashion pun semakin lantang menyemarakkan industri film.

Bukan hanya sebagai ‘teman' yang membalut para aktris dan aktor saat menghadiri gala premiere atau perhelatan Oscar, namun sejumlah label high fashion pun sudah berani menyokong atribut mereka untuk dikenakan oleh para pemain di tiap adegan. Ya, walaupun itu merupakan bagian dari gimmick marketing, tetapi nyatanya atribut lansiran suatu brand tersebut mampu mencapai popularitas bahkan menjadi produk ikonis.

Seperti film Breakfast at Tiffany's tahun 1961 yang membuktikan kontribusi fashion terbaik dalam sejarah perfilman. Little black dress yang dikenakan oleh Audrey Hepburn menjadi salah satu busana paling ikonis karya Hubert de Givenchy.




Lalu di tahun 2006, film The Devil Wears Prada berhasil membawa pamor sejumlah label ternama. Salah satunya yaitu koleksi busana dan aksesori Chanel yang dikenakan oleh Anne Hathaway.




Kemudian kisah sepatu Manolo Blahnik Hangisi yang menjadi favorit Carrie Bradshaw (diperankan oleh Sarah Jessica Parker) di film Sex and The City. Semua perempuan pencinta fashion pasti tahu dan mungkin ikut terbawa animo. Di Indonesia sendiri, model sepatu Manolo Blahnik Hangisi sempat sold out di butik multilabel Rococo dan harus masuk daftar tunggu untuk mendapatkannya. Bahkan hingga kini, label sepatu tersebut tetap menjadi incaran berbagai tipe wanita, dari yang klasik, fashion forward, dan para bride-to-be.




Selain itu, label sepatu Christian Louboutin juga menuai atensi lewat film The Proposal di tahun 2009. Sosok Margaret Tate yang diperankan oleh Sandra Bullock tampil mengenakan high heels klasik bersol merah untuk menemani langkahnya bekerja hingga bervakansi.




Tak hanya film yang terpusat pada wanita saja yang membuat saya terpukau dengan segala aspek estetikanya. Film Darjeeling Limited di tahun 2007 juga membuat saya terpesona oleh indahnya gambar dan warna-warna yang bertebaran dengan sempurna.

Siapa yang tidak mengenal gaya khas seorang Wes Anderson dalam mengaplikasikan karya seni dalam film-filmnya? Dengan palet warna khas yang selalu dihadirkan di setiap filmnya, ia juga gemar menyelipkanhumor yang menghibur.

Di film ini, Wes Anderson bekerja sama dengan desainer kostum, Milena Canonero, yang juga sering mendapatkan penghargaan sebagai desainer kostum terbaik di berbagai film. Film dengan setting di India ini juga tidak luput memakai fashion item yang ikonis, yaitu koper trunk dari Louis Vuitton dengan monogram khusus yang kala itu didesain secara khusus oleh Marc Jacobs.




Kemudian rancangan Rodarte untuk film Black Swan di tahun 2010. Meskipun terdapat kontroversi mengenai sebarapa banyak campur tangan sang desainer, Kate dan Laura Mulleav, terhadap film tersebut, namun mereka adalah desainer untuk kostum balet yang dipakai oleh pemeran black swan dan white swan.




Sementara gaya busana era roaring twenties juga kembali bergelora menghiasi sejumlah film. Di antaranya film kolosal yang mengambil setting era 1920-an, The Great Gatsby, berhasil membangkitkan gaya busana flapper dan frocks.

Film yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio dan Carey Mulligan ini telah menjadi film yang paling dinanti pada tahun 2013. Desainer Miuccia Prada memberikan kontribusinya melalui arsip desain dari Prada dan Miu Miu untuk mengembangkan ide busana para karakter, sementara Tiffany & Co. menyumbangkan koleksi perhiasannya.




Lalu, Chanel untuk Cafe Society di tahun 2016. Tentu melihat Chanel mendandani karakter utama dalam film arahan Woody Allen ini merupakan hal yang wajar. Pasalnya, Kristen Stewart selaku bintang utama adalah salah satu ambassador untuk Chanel. Selain itu terdapat kabar jika Chanel turut meminjamkan beberapa busana dan perhiasan dari tahun 1930 untuk film yang memang berlatar pada era 1920-an ini.



Selain itu, inspirasi gaya busana bergaya Edwardian dari tahun 1960-an juga muncul di film Mary Poppins Return yang rilis akhir tahun 2018. Ketika menonton film ini, saya dibawa ke dunia fantasi penuh warna dan dibuat penasaran dengan busana yang dikenakan oleh Mary Poppins (diperankan oleh Emily Blunt). “Apakah dress itu Gucci?” ucap saya dalam hati.

Usai menonton film ini, saya langsung mencari tahu di internet, siapa perancang kostumnya? Apakah ada brand high fashion yang terlibat mendandani? Dan akhirnya, saya mendapatkan jawaban. Sang desainer kostum, Sandy Powell, mengambil inspirasi desain dari koleksi tromp l’oeil kreasi Alessandro Michele untuk Gucci Spring/Summer 2016. Bahkan ia sendiri mengungkap fakta bahwa, “Efek busana ini semua dilukis 3D dengan tangan, jadi seolah-olah lebih berdimensi, seperti yang dilakukan Gucci dengan segala dekorasinya.”




Memang banyak kostum para pemain film tersebut yang ternyata diciptakan ulang. Jadi, tidak hanya kontribusi dari sederet brand-brand ternama saja.

Seperti film rilisan terbaru yang langsung saya judge ketika melihat posternya, yaitu Knives Out. Saat melihat poster potret keluarga di daftar tayang awal Desember 2019 lalu, mata saya tergugah untuk segera menontonnya. Benar saja, sepanjang film saya dibuat kagum dengan alur cerita dan pilihan kostum busananya.




Kemudian film Little Women yang baru saja memenangkan piala Oscar di kategori Best Costume Design. Kostum-kostum tersebut dibuat dengan pemilihan model serta warna yang berbeda, disesuaikan dengan karakter bahkan strata mereka.







(Foto: Courtesy of IMDB)