Sejak kecil, saya telah mengalami kesulitan mencintai kebaya dengan ketulusan. Mengapa? Terutama, karena hampir tidak mungkin memisahkan unsur feminin yang stereotipikal. Betul, saya paham bahwa femininitas memiliki spektrum yang luas sekarang. Namun terkadang saya masih menyimpan suatu resentment, meski dengan rasa hormat dan kagum.
Mungkin karena ibu saya mengenakan kain saya terlalu ketat waktu saya masih kecil. Beliau ingin saya cantik dan kalem, sedangkan hampir semua foto masa kecil saya, kaki dan paha terbuka lebar-lebar. Mungkin ini awal perasaan “sebal” yang melahirkan kebiasaan mempertanyakan, “why?”. Sebal dengan nilai-nilai yang diagungkan masyarakat, seakan feminin adalah satu-satunya patokan derajat seorang perempuan.
Sebagai anak petakilan, saya merasa diasingkan pada hari Kartini! Bagi saya, kebaya adalah produk idealisme yang tak terpisahkan dari patriarki, melayani sebuah fantasi—saya yakin ini mengapa video porno kebaya merah itu bisa viral. Despite everything, perempuan terus-menerus ditindas—even today! Dan terkadang melihat kebaya mengingatkan penindasan tersebut sudah berabad-abad. Mungkin ini opini yang ekstrem, atau bahkan childish, tapi ingin saya jelaskan: sulit maupun mudah, saya mencintai kebaya.
Barometer saya untuk eksplorasi feminitas dalam dunia fashion adalah koleksi Rei Kawakubo tahun 1997 untuk Comme des Garçons, berjudul Body Meets Dress, Dress Meets Body. Pertama kali saya melihat karya ini, umur saya masih 15 tahun. Desainer kelahiran Jepang tersebut “membantah” didoktrin bahwa celana panjang desain Coco Chanel-lah yang membebaskan wanita di tahun 1920-an.
Rei memikirkan kembali tubuh perempuan dan mempertanyakan konsep ideal masyarakat—mengapa orang harus memandang tubuh perempuan sebagai feminin? Bahan yang dia gunakan sebagai motif utama adalah kain genggang, yang memiliki nilai domestik dan murah. Kemudian bahan itu dibungkusnya menjadi siluet yang terdistorsi. Ia menaruh padding di bagian tubuh yang dia usulkan sebagai erogynous zone baru, seperti punggung dan pundak. Banyak yang menyebutnya koleksi tersebut “Lumps and Bumps”.
Meskipun publik menjuluki koleksi itu “jelek” dan “mirip tumor”, saya melihat bahwa Rei memberi ruang bagi keberadaan tubuh yang tidak bugar, kurang ideal, dan bebas dari stereotipe. Bahkan di tahun ‘90-an, membuka dialog itu merupakan terobosan tersendiri. Saya belum melihat eksplorasi pemikiran tersebut dengan kebaya, oleh seorang desainer Indonesia. Dan alangkah baiknya, jika ada yang berkreasi sedemikiaan berani.
Pertanyaan saya, apakah feminitas tidak bisa dipisahkan dari kebaya? Sejarah lebih dari 500 tahun akan mengatakan demikian. Kebaya masih membutuhkan keanggunan, kewanitaan dan kesopanan—nilai-nilai yang membuat saya frustrasi ketika usia remaja, namun sebagai dewasa bisa mengapresiasinya to a certain degree. Nilai-nilai tersebut telah dijunjung sejak pengaruh Islam pada Kerajaan Majapahit di abad ke-15. Kebaya tidak berfungsi untuk merayakan tubuh perempuan, melainkan untuk kesopanan, bahkan dibuat agar menyembunyikan lekuk-lekuk perempuan.
Kemudian, selama penjajahan Belanda, bahan-bahan Eropa termasuk renda dan beludru menjadi bagian dari bahan kebaya, meskipun dalam siluet yang lebih longgar daripada yang kita miliki saat ini. Hingga abad ke-17, kebaya dikenakan secara eksklusif oleh para bangsawan di Jawa. Semua ini sering merusak penilaian saya, karena saya tidak dapat melihat bagaimana pakaian yang sama dapat melambangkan emansipasi wanita ketika ia telah secara langsung melayani klasisisme dan kolonialisme.
Saya membutuhkan waktu hampir dua puluh tahun untuk menyadari bahwa sisi lain sejarah kebaya adalah bagian dari keseluruhan yang menarik. Titik balik saya terjadi di Bali pascapandemi: sudah 5 kali saya pergi dalam kurun waktu dua tahun dan menetap setidaknya dua minggu. Sungguh ajaib melihat semua warna kebaya dikenakan saat mereka menuju pura di sekitar pulau. Saat mereka menuju pernikahan, misalnya, mereka benar-benar satu truk, seperti melihat pelangi melintas di jalan.
Ini suatu hal yang bisa dilihat setiap hari, dan mungkin karena itu sebagai pendatang, bisa lebih mudah untuk diapresiasi. Lucunya, sebelum penjajahan Belanda, wanita di Bali bertelanjang dada, seperti banyak budaya lain di seluruh nusantara. Kebaya diperkenalkan dari Jawa, dan renda menjadi bahan khas pulau itu. Bahkan, pakaian “tradisional” lainnya mulai umum digunakan di bawah pemerintahan Belanda dan mengungkapkan bagaimana penjajah memandang kita. Petunjuk: beskap berasal dari “beradab”.
Mungkin apa yang dulu saya anggap sebagai yang buruk, sebenarnya adalah hal terbaik dari kebaya—bahwa sisi gelap sejarah Indonesia selalu tersirat, suka atau tidak suka. Bukankah lebih menarik jika satu benda memiliki banyak arti? Pasti ada sesuatu yang luar biasa untuk kebaya menjadi versatile dan penting, terlepas dari agenda yang tersimpan berbagai pihak. Sangat menarik bagaimana satu pakaian bisa menjadi simbol pembebasan dan penindasan, ketika Anda melihatnya dari berbagai sudut pandang.
Pada masa penjajahan Jepang, tawanan Indonesia menggunakan kain-kebaya untuk membedakan diri dari para tawanan Barat. Kebaya sering dikaitkan dengan R.A. Kartini, pahlawan nasional yang mengadvokasi hak-hak perempuan dan memungkinkan pendidikan tinggi bagi perempuan. Seprogresif dia pada masanya, pendirian Orde Baru sengaja berusaha melemahkan perempuan, mengubah citranya dari emancipator menjadi istri yang penyayang dan puteri yang penurut.
Kata kunci “Kebaya Kartini” menampilkan sesuatu yang tidak konsisten: pakaian yang ketat dan dekoratif, jauh dari kebaya yang biasanya beliau kenakan: longgar, ringan, putih, dengan bordir secukupnya.
Ada beberapa aturan untuk kebaya. Hari ini, biasanya menonjolkan leher, pinggang, dan dada. Demand fit ketat adalah buktinya. Bahkan klien saya selalu ingin memastikan bahwa lekuk tubuh sebaiknya terlihat. Ada juga banyak wanita menginginkan kebaya untuk memungkinkan gerakan, lebih bebas, seperti pada zaman Kartini.
Tapi karena selera juga berubah mengikuti tren, Anda bisa melanggar aturan. Meskipun, bagi saya, lebih menarik untuk play by the rules. Salah satu persembahan kebaya favorit saya sejauh ini adalah koleksi rancangan Biyan Wanaatmadja lima tahun lalu, berkolaborasi dengan Tenun Baron. Ini adalah contoh yang menghormati tradisi dengan cara fashion forward—classic with a twist.
Perpaduan fantastis beludru gelap dipasangkan dengan renda, dan tule dalam palet warna Jawa Tengah yang kalem dan kecokelatan. Ditata dalam kombinasi tradisional kain, selendang, dan selop, memenuhi trinitas suci pakaian kebaya formal. Begitu inheren modern namun kental tradisi. Manik-manik berat, aksesori berlapis emas adalah khas tekstil Indonesia, seperti yang saya pelajari dari desainer lain: luminescence melekat pada semua pakaian nusantara.
Desainer tersebut adalah Edward Hutabarat, yang menerbitkan buku Busana Nasional Indonesia pada pergantian abad. Dengan wawasannya yang luas, beliau menjabarkan apa yang dimaksud dengan pakaian nasional dan mengapa kebaya terpilih. Harus diingat bahwa pada masa itu, pengetahuan atau minat umum akan kebaya belum terlalu tinggi, karena tidak dianggap metropolitan.
Meskipun desain dan foto-foto dalam buku ini lebih menggambarkan femininitas yang ideal, apa yang beliau tulis dalam teks sifatnya antropologis yang layak menjadi pedoman. Beliau menunjukkan pakaian berbeda yang ditemukan di berbagai daerah dan diadopsi banyak suku, termasuk Melayu Jambi, Sunda, Melayu Betawi, Jawa, Bali, Dayak Taman (Kalimantan Barat), Banjar (Kalimantan Selatan), Ambon.
Orang Minangkabau memakai kebaya pendek, Melayu Riau kebaya panjang, Palembang kebaya Landoang, Lampung Bayan, Minahasa kebaya Wuyang. Suku Sasak dari Nusa Tenggara Barat memakai kebaya Tangok berwarna hitam dan terkadang dihiasi pinggirannya.
Dengan ini, argumen yang dia kemukakan adalah bahwa kebaya sebagai pakaian nasional lahir dari kesamaan, karena Anda dapat menemukannya di setiap sudut bangsa. Hal ini menarik bagi saya, karena sebelumnya saya kira kebaya dipilih karena alasan politis Java-centric. Namun bukti empiris menunjukkan sebaliknya: kebaya adalah hasil asimilasi, bersinggungan, bercampur, dan kolaborasi seluruh nusantara.
Kembali lagi pada pertanyaan saya, apakah feminitas tidak bisa dipisahkan dari kebaya? Mungkin jawabannya bukan mempermasalahkan bisa atau tidak, melainkan, lebih penting untuk menyadari bahwa makna feminitas memiliki makna yang dalam.
Sehingga, cara kita mengapresiasi kebaya harus lebih dari segi estetika saja, tetapi mengingat apa yang dilambangkan. Sebagai pengamat, saya harap lebih banyak alternatif dikemukakan para desainer agar lebih banyak perempuan dengan beragam identitas dapat memiliki koneksi yang lebih autentik.
Seperti banyak hal dalam hidup saya, yang awalnya saya pertentangkan, saya tumbuh untuk mencintai dengan cara saya sendiri. Alhasil, pendapat saya telah berkembang seiring dengan pembelajaran saya. Perjalanan saya mengapresiasi kebaya memiliki paralel dengan perjalanan kebaya secara historis.
(Foto: Courtesy of Comme des Garçons, Photograph by © Paolo Roversi, Courtesy of L. Che Lan & Co. (Jogjakarta), CC BY 4.0, via Wikimedia Commons, dok. Bazaar)