Ketika berbincang tentang modest fashion atau yang juga disebut modest wear, rata-rata masyarakat akan memusatkan pikiran mereka ke busana muslim. Padahal arti kata modest fashion sendiri adalah sebuah tren berpakaian wanita yang mengenakan busana santun atas keinginan mereka akibat pilihan spiritual, akidah agama, dan keputusan pribadi. Walau begitu, tak dapat dipungkiri, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, mengawali tren modest fashion yang lebih menjurus ke arah pakaian muslim. Bahkan, di Indonesia sudah ada desainer busana muslim sejak tahun 1980-an yang diprakarsai oleh desainer Ida Royani, diikuti oleh desainer Itang Yunaz, hingga akhirnya bermunculan desainer-desainer muda yang menggeluti industri modest wear.
Walau Indonesia diisi oleh penduduk dengan mayoritas beragama muslim. Tak berarti, industri modest fashion langsung begitu saja diminati oleh banyak orang terutama generasi muda. Untuk sampai ke tahap lahirnya banyak desainer-desainer baru yang mendalami pakaian santun, dibutuhkan evolusi perspektif terhadap busana muslim pada generasi muda. Seperti yang diungkapkan oleh desainer Dian Pelangi, bahwa di tahun 2010 puncak komunitas hijab berkembang menjadi besar. “Sejak itu persepsi orang tentang hijab mulai berubah di televisi, di majalah, dan lain-lain. Anak-anak muda mulai mengenakan hijab,” ucap Dian yang seraya mengatakan tahun 2010 juga menjadi debut dirinya mengalihkan fokus lini Dian Pelangi ke modest fashion.
Mengalami perkembangan pesat di tahun 2010, nyatanya minat banyak individu untuk mengenakan hijab ternyata sudah mulai terdengar di tahun-tahun sebelumnya. Namun, saat itu keterbatasan untuk mengeksplorasi busana modest masih sangat terasa. Hal itu kemudian memengaruhi Windri Widiesta Dhari, sosok di balik lini busana muslim NurZahra saat mendapatkan ilham untuk segera berhijab secara tiba-tiba pada tahun 2009. “Saya melakukan mix and match dengan apa pun yang saya dapatkan dari toko tempat saya biasa berbelanja. Karena saat itu belum banyak produk modest wear. Bahkan saya membeli inner(bandana) di Malaysia karena tidak bisa menemukannya di Indonesia,” cerita Windri yang kemudian tergiur untuk mendirikan brand miliknya sendiri setelah banyak teman-temannya kerap bertanya dari mana dirinya mendapatkan pakaian-pakaian hasil tatanannya sendiri.
Menjamurnya industri modest fashion dari tahun ke tahun, kemudian berujung kepada merambatnya unsur santun ke gaya hidup. Yang mana hampir setiap segmen modest fashion dan modest lifestyle kini sudah banyak terisi. Dari mulai busana modest bernapas sporty, batik, khusus untuk beribadah umroh, hingga gaya hidup sehari-hari yang mendukung para penganut modest wear. Dian Pelangi menambahkan, “Saat memakai hijab, gaya hidup turut menyesuaikan. Orang-orang akan mengenakan busana muslim, memilah restoran yang mereka datangi, hingga memilih riasan wajah yang sesuai dengan prinsip mereka,” ucapnya. Pernyataannya turut didukung oleh sebuah laporan yang dirilis oleh Lyst, sebuah platform fashion global terbesar yang mengemukakan kenaikan pencarian internet sebanyak 90% atas kata “modest fashion” pada tahun 2019. Diikuti oleh banyaknya rumah mode dunia seperti Max Mara, Fendi dan banyak lagi yang memunculkan busana modest di atas runway dan kampanye milik mereka akhir-akhir ini.
Lalu mengapa aliran berbusana ini disebut modest fashion dibandingkan disebut busana muslim? “Kenapa harus disebut modest? Karena aliran berbusana ini menerapkan cara bergaya yang santun baik dari faktor religius maupun dari segi budaya. Ada banyak budaya dan agama lain yang menerapkan tradisi untuk mengenakan busana santun. Sehingga tren berpakaian ini tidak hanya mewakili suatu kepercayaan tertentu saja,” ungkap Windri Widiesta Dhari. Hal itu kemudian dikonfirmasi oleh desainer Sapto Djojokartiko, “Pelanggan Sapto Djojokartiko bahkan lebih dari 50% tidak berkaitan dengan agama tertentu.”
Sapto Djojokartiko sendiri adalah desainer dengan fokus desain bersiluet santun yang tak semata memberikan batasan desainnya hanya untuk pakaian muslim. Ia memasuki dunia modest fashion sebagai langkahnya untuk memasuki dunia busana siap pakai. Kesulitan untuk menciptakan proporsi yang presisi saat merancang busana siap pakai membuatnya beralih merancang busana bersiluet longgar. “Ternyata pakaian dengan siluet longgar memiliki banyak peluang. Siluet ini sangat versatile, mudah diterima market dengan baik. Hanya dengan styling yang disesuaikan untuk pengguna hijab dan non hijab, membuat produk kami menjadi fleksibel dari segi permintaan juga tinggi,” ucap Sapto Djojokartiko yang mulai merancang desain dengan potongan longgar sejak tahun 2018. “Saat ini market busana santun sudah seakan seperti kebutuhan membeli jaket di musim dingin. Orang dengan hijab maupun non hijab membeli busana santun saat bulan Ramadhan tiba, bahkan non muslim membelinya saat akan menyambangi acara di bulan suci. Maka itu market modest fashion sangat masif,” tambah Windri.
Minat tinggi dari masyarakat terhadap modest fashion kemudian turut ditanggapi dengan antusias oleh banyak pebisnis maupun desainer. Perkembangannya yang pesat menjadikan bisnis modest fashion saat ini sangat menjanjikan. Seperti yang dilaporkan oleh State of the Global Islamic Economy. Modest fashion telah menghasilkan 283 Milliar Dollar Amerika Serikat di tahun 2018. Yang mana Indonesia menjadi negara kontributor ketiga terbesar yang menghasilkan 21 miliar Dolar Amerika Serikat. Laporan tersebut mewakili keadaan cemerlang industri modest fashion yang saat ini sudah terbagi menjadi dua sisi yakni sisi pebisnis dan sisi desainer kreatif.
“Jika desainer mengerahkan ilmu mode yang mereka miliki seperti proses memproduksi pakaian, pemahaman akan tren dan cara mendirikan koleksi. Para pebisnis bahkan influencer, melihat peluang yang menjanjikan dari industri modest fashion lalu mereka membuat label busana sendiri dengan mempekerjakan desainer,” jelas Dian Pelangi. Konsistensi menjadi aspek pembeda yang digenggam erat oleh para desainer yang alih-alih hanya merancang busana yang dapat laku terjual, mereka justru ingin terus melahirkan sesuatu yang baru. Selain itu, branding turut serta memiliki peranan penting bagi para desainer untuk memertahankan ciri khas mereka sebagai brand.
Keinginan untuk terus menjadi inovatif bukan sesuatu yang mudah. Ditambah saat ini perkembangan teknologi dan maraknya bakat baru yang lahir di media sosial dapat dengan cepat mengubah pandangan orang dan melahirkan tren-tren baru secara terus menerus. Hal ini memengaruhi langkah-langkah para desainer modest fashion yang mengganggap fenomena tersebut sebagai tantangan terbesar mereka. Bagi Sapto Djojokartiko, sebagai brand memiliki kewajiban untuk memberikan sesuatu yang ditunggu-tunggu para pelanggan. "Kesulitan untuk memberi tahu pelanggan bagaimana cara mengenakan busana kami dan apakah pelanggan menerima karya kami telah menjadi tantangan tersendiri, ditambah saat ini pandemi tengah berlangsung,” ucap Sapto Djojokartiko.
Pertumbuhan minat terhadap busana santun yang melesat tinggi di antara populasi penduduk Indonesia tentu turut menguatkan ekonomi negara. Pada tahun 2016, modest fashion menyumbang sebanyak 54% ekonomi bangsa. Faktor tersebut terjadi seiring bertumbuhnya minat untuk mengenakan hijab dari segala kalangan termasuk di kalangan selebriti yang akhirnya memengaruhi cara pandang masyarakat untuk hijrah dengan menutup diri. Sayangnya, menurut desainer Dian Pelangi di tahun 2019, industri modest fashion Tanah Air mengalami penurunan sebanyak 18%.
Lantas, desainer modest wear sempat menunjukkan kekhawatiran mereka atas penurunan tersebut. Akibat industri ini dianggap bukan semata berhubungan dengan modest fashion sebagai aliran berbusana saja. Tetapi, banyak faktor yang turut diuntungkan atas pertumbuhan modest fashion di Indonesia. Menurut Dian, industri ini menolong banyak pihak termasuk para ibu rumah tangga yang menggeluti dunia bisnis online, penjahit, pembuat pola, dan banyak lagi menggantungkan nasib kepada industri ini. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi sang desainer untuk mempertahankan posisi market hijab di antara masyarakat agar ini tak hanya menjadi tren musiman. Karena itu, Dian kemudian berharap Indonesia dapat menjadi pusat modest fashion muslim dunia agar bisnis ini semakin berjalan dengan mantap.
“Namun untuk mencapai hal itu, dibutuhkan suatu tempat bernaung atau membawahi semua desainer hijab Indonesia agar kami semua dapat diberi petunjuk untuk sukses bersama-sama,” ungkap Dian. “Baju muslim bisa menjadi unique selling point Indonesia, karena klien-klien dari negeri tetangga dan Timur Tengah saja sering mencari baju muslim di Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, Windri Widiesta Dhari dari NurZahra mengungkapkan tantangan terbesarnya menyelami industri ini berhubungan dengan permintaan yang banyak dari negara-negara lain, namun prosedur ekspor masih dianggap berliku-liku. “Sebagai label UMKM, proses ekspor agak sulit dari kita yang small enterprise karena kami tidak tahu channel kargo yang lebih murah. Jadi butuh dukungan dari pemerintah. Karena kita punya produk, ada permintaan dari luar negeri tetapi terhalang prosedur yang asing bagi kami,” jelas Windri yang pernah berpartisipasi di Mercedes Benz Tokyo Fashion Week. Dian kemudian menambahkan, “Ini dapat menjadi kesempatan untuk memperkenalkan Indonesia tetapi kami tidak tahu prosedurnya bagaimana, meski kami memiliki semangat dan produk yang mumpuni.”
Mendalami dunia bisnis dibutuhkan kepiawaan untuk terus memutar otak dan melahirkan manuver-manuver yang dapat menunjang pertumbuhan brand yang dibangun. Untungnya, saat ini kehadiran media sosial menjadi tempat setiap brand menunjukkan jati diri mereka yang mudah diakses oleh banyak orang di seluruh dunia. Peluang besar dapat terbuka dengan perlakuan yang penuh atensi kepada detail di halaman akun media sosial sebuah label. Dengan tampilan media sosial yang menggunakan bahasa universal, styling foto kampanye berkualitas internasional, ditambah admin yang komunikatif. Hal itu dapat membuka pintu untuk menyambung sebuah label ke market internasional dan para konsumen untuk berbelanja melalui website.
Selain untuk berbelanja, media sosial juga menjembatani hubungan antara desainer dan fashion buyer internasional seperti yang dialami oleh desainer Sapto Djojokartiko yang bekerja sama dengan online fashion luxury retailer asal New York, Moda Operandi. Pada tahun 2018, sang desainer mengadakan trunk show bersama Moda Operandi yang baginya memberi pengaruh besar kepada brand miliknya di kancah internasional. “Dengan bekerja sama dengan Moda Operandi, memberikan kami track record yang baik. Di sana, market sangat variatif tidak hanya di Timur Tengah. Kami juga menerima pesanan dari Amerika Serikat, London, dan banyak lagi,” ungkapnya.Sapto kala itu juga menambahkan, bahwa ia memanfaatkan keberadaan media sosial sebagai manuver utama berjualan di tengah pandemi global saat ini. “Menjalankan bisnis online ke online menurut saya cara paling efektif untuk saat ini. Jika online bagus, maka orang bisa membeli secara online atau offline,” Dian Pelangi menambahkan.
Dian Pelangi dan NurZahra di ekshibisi Contemporary Muslim Fashions - de Young Museum
Lalu apa yang bisa kita petik dari para pelopor industri modest fashion ini? Menurut Dian Pelangi dan Windri Widiesta Dhari, mengenakan busana muslim dengan hijab tak menghalangi para wanita untuk tetap bisa berkarya dan berekspresi. Walau mempertahankan hijab, wanita bisa menjadi seorang desainer, dokter, penyanyi, model, dan banyak lagi. “Dahulu, banyak orang mengira hijab adalah bentuk opresi, nyatanya kami tidak merasa seperti itu sama sekali. Kami ingin menunjukkan dunia bahwa kita adalah kita, ini identitas kita,” tutup Dian Pelangi yang karyanya difitur oleh ekshibisi Contemporary Muslim Fashions di San Francisco, Amsterdam, dan New York.
(FOTO: Courtesy of Sapto Djojokartiko, Instagram.com/@officialnurzahra, @dianpelangicom)