Setelah pemerintah Indonesia melansir angka pertambahan korban Covid-19 yang terus meningkat, semua orang mulai menaikkan tingkat kewaspadaan mereka terhadap virus ini. Saya pun termasuk salah satunya. Sebelumnya, setiap saya pergi ke kantor yang saya pikirkan hanya baju atau sepatu apakah yang akan saya kenakan hari ini? Apakah setelan monokrom atau kemeja putih dan rok lipit?
Namun, hari itu terasa berbeda, busana yang akan saya pakai tidak lagi menjadi prioritas. Ya, pikiran saya justru langsung tertuju kepada masker dan sarung tangan yang harus segera saya persiapkan agar saya tidak lupa mengenakannya sebelum keluar rumah. Begitu juga dengan tas yang dapat memuat produk hand sanitizer dan tisu basah yang mengandung antiseptik (Saya merupakan penyuka tas berukuran kecil).
Ketika membuka halaman media sosial milik saya, saya pun juga memerhatikan teman-teman saya melakukan hal yang sama. Mereka semua mengunggah wajah mereka yang tertutup oleh masker saat akan pergi bekerja, dan hal itu terjadi sampai sekarang. Beberapa teman saya masih ada yang harus pergi ke rumah sakit atau berbelanja kebutuhan di supermarket. Jika sebelumnya mereka membagikan tampilan busana mereka, kini mereka membagikan masker kain atraktif milik mereka lansiran desainer terkini hingga jenis sarung tangan yang dikenakan yang tidak menggunakan bahan latex. Fenomena inilah yang membuat saya berpikir, betapa hal-hal tersebut termasuk sebagai momen fashion yang historikal yang mana semua orang merubah cara berpakaian mereka secara saksama dengan drastis.
Ketika membahas apa itu fashion, penjabaran yang mendefinisikan arti kata 'fashion' tak semata hanya berbicara tentang pakaian namun juga tentang sebuah sistem yang mendikte mana suatu hal yang baru dan mana suatu hal yang sudah tak berlaku lagi.
Fashion yang merupakan sebuah sistem untuk menyatakan mana pakaian yang masih relevan dan mana pakaian yang sudah tampak lampau membuat fashion menjadi medium penanda suatu zaman atau era. Fashion yang selalu berevolusi mengikuti zaman, sekaligus sebuah kejadian membuat fashion juga bertindak sebagai simbol atau gerakan yang memaksa sekelompok orang untuk memulai sebuah kebiasaan berpakaian yang baru.
Salah satu contoh bukti historikal yang paling nyata terhadap fashion sebagai sistem penanda sebuah zaman atau kejadian adalah saat berakhirnya perang dunia kedua pada tahun 1945 yang mana saat itu terjadi penyusutan bahan untuk membuat pakaian yang masih didominasi dengan haute couture. Saat seperti itu membuat haute couture menjadi tidak relevan dan mengubah cara berpakaian wanita di zaman itu. Mereka mulai memendekkan rok demi mengurangi rasio material saat proses penjahitan.
Masa yang disebut sebagai The Great Depression tersebut adalah tahun yang semakin menggeser busana beraliran Belle Epoque dari banyaknya peminat, dan membuat ready to wear mulai menjadi perhatian demi menggalakkan busana yang lebih efisien, praktis, dan mobile. Perubahan tersebut kemudian melahirkan sebuah inovasi berbusana yang baru seperti New Look rancangan desainer Christian Dior atau busana dengan zipper sebagai pengganti kancing yang mengubah cara berpakaian seluruh orang di dunia.
Tak heran, alih-alih zaman sudah modern, pandemi Covid-19 juga memberikan pengaruh besar terhadap cara berpakaian seluruh orang saat ini meski saat ini mudah sekali untuk kita semua membeli pakaian dari berbagai label bahkan toko pakaian yang tersebar di pusat perbelanjaan.
Seketika fokus semua orang terutama desainer berkonsentrasi dalam memproduksi produk-produk masker kain agar produk masker surgical dapat digunakan oleh para tenaga medis yang lebih membutuhkan. Masker kain pun langsung menjadi penanda cara berpakaian orang-orang di tahun 2020. Setelah masker kain, lalu muncul produk topi visor yang memang sudah ada sejak lama, namun kini diproduksi dengan modifikasi penutup wajah yang memanjang hingga ke dagu. Banyak orang kemudian beralih ke topi tersebut dan menjadikan topi visor sebagai wardrobe staple mereka.
Jika masker dan topi visor adalah produk yang menjadi bagian dari mekanisme untuk melindungi diri dari virus Corona yang menular lewat droplets. Kebutuhan berpakaian banyak orang pun turut bergeser ke pakaian yang lebih mengutamakan aspek kenyamanan.
Seluruh dunia yang kini harus berdiam di rumah, menuntut banyak orang untuk mencari pakaian yang dapat membuat mereka nyaman untuk beraktivitas di dalam rumah sekaligus tetap tampak stylish saat dikenakan untuk meeting lewat Zoom.
Fokus para wanita pun berpindah ke busana bergaya kasual dari mulai pakaian jenis tracksuit, lounge wear yang bisa dipakai saat berjemur, piyama, hingga yoga pants yang nyaman. Seakan ucapan desainer Karl Lagerfeld bahwa “sweatpants are a sign of defeat. You lost control of your life so you bought some sweatpants” sudah tidak berlaku lagi bahkan untuk para fashion enthusiast sekalipun.
Para selebriti hingga influencer dan saya yakin Anda pun juga saat ini mengenakan sweat pants atau yoga pants masing-masing di dalam rumah. Hal ini pun bahkan didukung oleh situs e-commerce Net-A-Porter yang menurut WWD, melaporkan peningkatan atas penjualan produk sweatpants sejak minggu pertama lockdown Covid-19 sebanyak 40%. Bahkan Net-A-Porter juga melaporkan produk tracksuit lansiran desainer baru dengan label Suzie Kondi yang dinyatakan naik dua kali lipat dibandingkan bulan sebelumnya.
Kecenderungan para buyers yang memilih sweat pants, tracksuits, dan sebagainya membuktikan bahwa di era pandemi Covid-19 ini, banyak orang yang mengalokasikan kesempatan mereka untuk berbelanja dengan membeli busana alternatif yang nyaman untuk menemani mereka sekaligus memberikan semacam emotional support selama pandemi ini masih berlangsung. Walau begitu, sisi estetika tak dilupakan oleh mereka sepenuhnya, permintaan akan tracksuit dan piyama rancangan desainer yang stylish dan terbuat dari bahan yang berkualitas juga diikuti oleh masker-masker kain dengan desain yang atraktif menandakan era yang baru untuk fashion di kala pandemi Covid-19.
(Foto: Courtesy of Instagram.com/@cfda, @biyanofficial, @gheafashionstudio, @hiantjen, @kyliejenner)