Ini pengalaman saya ketika berpelesir ke Bhutan beberapa waktu yang lalu, dan saya ingin membagikan banyak cerita menarik serta indah buat Anda.
1. Bhutan adalah negara monarki dengan 20 provinsi dan 20 dialek yang terletak di antara India dan China. Berasal dari bahasa Sansekerta “Bhu-Uttan” berarti high land atau pegunungan. Tetapi warganya yang hanya berjumlah tujuh ratus ribu orang, menyebut Bhutan dengan “Druk Yul” atau land of the dragon.
Negeri yang disebut sebagai negeri tentang pegunungan, biara dan biarawan Budha ini terkenal dengan tradisi atau budaya Tibetan Budhist mereka yang kuat dan terkesan jauh dari peradaban luar atau pun Barat, walaupun raja saat ini, Jigme Singye Wangchuk telah banyak melakukan perubahan.
Sehari-hari penduduknya masih sangat banyak yang menggunakan baju tradisional yaitu Gho untuk pria dan Kira untuk perempuan. Apalagi ketika mereka mengunjungi biara, temple, dan Dzong (bangunan tradisional yang terdiri dari kuil atau temple dan kantor administrasi).
2. Ibu kotanya adalah Thimphu dan merupakan kota yang terbesar di Bhutan yang merupakan pusat pemerintahan, agama dan perdagangan. Namun lapangan terbang internasionalnya berada di Paro, kurang lebih satu jam lima belas menit dari Timphu Untuk berkunjung ke Bhutan kita harus memiliki visa dan menyediakan SDF (Sustainable Development Fee) 200 US dolar per hari per orang, sebuah program pemerintah Bhutan untuk kesejahteraan dan keberlangsungan masyarakatnya. Menuju Paro, kita bisa terbang menggunakan Druk Air dari Bangkok (durasi perjalanan hampir tiga jam).
Paro yang memiliki ketinggian 2200 meter bisa menjadi tempat ideal untuk beradaptasi sebelum mendaki ke Tiger’s Nest.
3. Dari Timphu kita bisa melanjutkan perjalanan ke Punakha. Jalurnya yang melalui pegunungan Himalaya yang berkelok-kelok akan melalui The Dochu La atau Dochu Pass, sebuah monumen ikonis yang terdiri dari 108 stupa, berada di ketinggian 3100 meter. Jalur sepanjang jalan ini terkenal dengan keindahannya, jadi tak boleh dilewatkan.
4. Di Punakha kita bisa menginap di salah satu resor terkemuka yaitu COMO Uma Punakha.
Resor ini berada di ketinggian yang menghadap ke lembah. Kita bisa melihat perubahan warna alamnya setiap pergantian musim. Ada 8 kamar dengan valley view serta 1 vila 1 kamar dan 2 kamar. Interiornya yang natural namun modern diisi dengan material sarat budaya, seperti karpet buatan tangan terbuat tidak jauh dari Nepal dan bedcover-nya dibuat dari sulam tangan yang mengadopsi pola budaya Budha Bhutan.
Terasnya yang menghadap lembah menjadi jantung resor itu di mana sore-sore kita bisa duduk-duduk menikmati wine atau bir buatan Bhutan untuk menemani camilan khas Bhutan chilli cheese, yang dalam bahasa Bhutan atau Dzongkha disebut Ema datshi.
Cabai (baik cabai, merah, hijau, maupun putih) dan keju (yang dibuat dari susu sapi atau yak) adalah menu andalan penduduk Bhutan. Makanan utama Bhutanese adalah beras dengan lauk yang bahan utamanya adalah daging yak, cabai dan berbagai bahan dasar susu. Sementara minuman khasnya adalah Suja (butter tea): perpaduan daun teh, garam, mentega, dan Ngaja: perpaduan daun teh, gula dan teh susu.
Tapi di COMO Uma Punakha selain menu Bhutan kita juga bisa menikmati menu western dan India, tetap menggunakan produk-produk organik unggulan pertanian lokal.
5. Selama menginap di Punakha kita bisa berkunjung ke beberapa biara dan kuil yang berada di sektitarnya seperti Punakha Dzong.
Punakha Dzong yang merupakan bangunan besar berarsitektur tradisional indah yang terdiri dari sebagian kuil dan sebagian lagi adalah kantor administrasi), adalah salah satu tempat yang harus dikunjungi.
Bila beruntung atau menjelang sebuah festival atau perayaan, kita bisa menyaksikan puluhan biarawan dengan balutan bajunya berwarna merah berlatih melakukan tarian.
6. Yang juga menarik adalah berkunjung ke desa kecil, Sopsokha Village. Desa ini terhubung dengan sosok suci Tibetan Budhist, Lam Drukpa Kinley yang terkenal dengan sebutan ‘Divine Mad Man’. Karena jasanya, sebuah kuil kesuburan abad ke 15 di Chimi Lhakhang didedikasikan untuk Drukpa Kinley dan kuil ini menjadi tempat ziarah bagi pasangan yang ingin mulai berkeluarga.
Bila ingin melakukan pemanasan sebelum Tiger’s Nest, kita bisa melakukan trekking melalui persawahan, lahan pertanian dan perbukitan menuju Khamsum Yulley Namgyal Chorten, sebuah kuil di puncak bukit yang didirikan oleh raja.Melakukan adaptasi dan aklimatisasi sebelum agenda puncak ke Tiger’s Nest sangat penting. Karena itu disarankan untuk menginap di Paro lalu ke kota lain seperti Punakha selama beberapa hari sebelum kembali ke Paro untuk agenda puncak.
7. Dalam perjalanan kembali ke Paro kita bisa lagi menikmati pemandangan Sungai Wang Chhu dan melalui magisnya pegunungan Himalaya dengan sejumlah kuil atau temple bersejarah disepanjang jalur itu.
Selain itu akan terlihat pula kibaran ratusan kain berwarna-warni berisi mantra atau doa-doa untuk keselamatan di beberapa spot di sepanjang jalan. Kain-kain bertuliskan mantra ini terlihat di mana-mana.
Doa menjadi bagian penting dalam kehidupan warga Bhutan. Di sekitar kuil biasanya terdapat Budhist Prayer Wheel yang di dalamnya berisi ribuan mantra. Yang memutarnya berarti telah membaca banyak doa-doa.
8. The Taktsang ‘Tiger’s Nest Monastery’ adalah agenda utama bila berkunjung ke Bhutan. Poin awal pendakiannya hanya 20 menit dari Paro. Ini adalah situs religi paling suci yang dibangun pada tahun 1692. Menurut cerita, Guru Rinpoche terbang dari Tibet dengan mengendarai seekor harimau untuk bermeditasi di dalam gua dan membawa Budha ke Bhutan.
Biaranya dibangun di tebing yang curam di ketinggian 3100 meter dengan arsitektur yang ikonis. Dari poin awal hingga Tiger’s Nest dibutuhkan waktu dua hingga 3 jam. Di dua pertiga perjalanan kita bisa beristirahat di sebuah resto sambil menikmati pemandangan Tiger’s Nest yang spektakuler dari kejauhan.
Perjalanan ini cukup melelahkan tetapi dengan menginap di COMO Uma Paro, maka trekking menjadi jauh lebih nyaman dan berkesan karena disediakan guide yang sangat menguasai jalan, menyediakan segala perlengkapan atau logistik dan menjadi story teller yang penuh informasi.
Disarankan berangkat lebih pagi untuk menghindari panas yang menyengat. Pengunjung bisa memasuki tiga dari total 8 gua atau kuil. Tidak diperbolehkan membawa kamera, bahkan tas harus dititipkan sebelum memasuki kuil. Disamping itu harus mengenakan pakaian sopan yang menutupi mata kaki dan sebaiknya menggunakan kaus kaki karena dinginnya lantai di dalam kuil.
9. COMO Uma Paro terletak di dalam hutan pinus dan memiliki arena yang luas untuk memanah. Kita bisa melakukan olahraga nasional Bhutan itu. Memanah adalah aktivitas budaya yang sangat mengasyikan. Kita bisa menggunakan (dipinjamkan) baju tradisional Gho dan Kira koleksi resor tersebut sambil memanah.
COMO Uma Paro memiliki beragam pilihan akomodasi. Kamar dengan pemandangan hutan pinus atau lembah, COMO suite room, one bedroom Villa , dan COMO Villa seluas 300 meter persegi. Seluruh villa akan dilayani secara personal oleh seorang butler.
Seperti di COMO Uma Punakha, COMO Shambala Spa tersedia di sini . Begitu pula dengan The Buchari Restaurant-nya yang menyediakan menu Bhutan, Western, atau India. Tetapi untuk acara-acara khusus dan bila dipesan sebelumnya, chef-nya bisa menyediakan menu Chinese dengan rasa yang otentik.
Terapi holistik yang diinspirasi dari tradisi Asia yang ditawarkan COMO Shambala, sangat esensial, terutama dengan banyaknya kegiatan trekking.
Yang harus dicoba adalah hot stone bath yang diikuti dengan COMO Shambala massage yang menjadi signature-nya. Dalam seketika otot-otot menjadi relaks dan ini sangat membantu setelah trekking panjang, misalnya setelah kembali dari Tiger’s Nest.
10. Selain sebagai satu-satunya kota yang memiliki bandara internasional, Paro adalah kota bersejarah dengan banyak bangunan suci dan bersejarah. Bangunan tertinggi di Bhutan, the Ta Dzhong juga ada di Paro. Pusat perbelanjaan dan restoran juga bisa ditemui di Paro. Berbeda dari kota-kota modern yang biasanya menampung toko-toko di dalam sebuah mal, toko-toko di sini berderet di tepi jalan. Bangunan yang rata-rata berlantai dua itu terasa seragam dengan arsitektur atau facade jendela khas Bhutan. Toko-toko suvenir di situ biasanya menjual: tenun Bhutan, madu, beras merah, cordiceps (sejenis jamur berkhasiat dan bernilai tinggi) , kerajinan dari bambu, aksesori Himalayan beads hingga Thangka (lukisan Budha).
11. Bhutan baru bisa menikmati televisi dan internet di tahun 1999. Jadi tidak heran kalau saat check in di bandara Bangkok, kita bisa melihat banyak Bhutanese memasukkan bagasi flat TV berukuran besar yang baru dibelinya untuk di bawa pulang.
Telpon selulernya pun sudah umum sekarang. Bila kita tiba di Bhutan kita bisa membeli sim card dengan harga yang cukup ramah (sekitar 1.500 Ngultrum atau sekitar 18-20 dollar Amerika untuk 2 gB data) . Tetapi uniknya negeri tanpa lampu lalu lintas ini tidak menyukai motor. Warganya lebih suka berjalan kaki atau menggunakan taksi.
12. Masyarakat Bhutan dikenal bersahabat, sangat ekspresif dan humoris. Mereka juga berspirit optimis dan easy going. Dengan filosofi Budha-nya mereka menjunjung tinggi kesederhanaan dan saling menyayangi (termasuk pada hewan dan makhluk hidup lain). Menurut cerita Kuenzang, guide COMO Uma Paro, pemerintah Bhutan memerhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakatnya. Pendidikan dan kesehatan didukung penuh oleh pemerintah. Tidak ada pengemis di Bhutan. Selain itu tingkat kriminalitasnya sangat rendah.
13. Konon Bhutan adalah negara paling hijau di dunia. Ditetapkan sebagai satu-satunya negara dengan carbon negative. Hal itu berkat ketatnya pemerintah Bhutan dalam memastikan minimal 60 persen luasan hutan dari total luas negeri itu. Nyatanya luas hutan di Bhutan saat ini adalah 70 persen dari luas Bhutan.
Dengan spirit damai dan filosofi menyayangi makhluk hidup, ditambah lagi kualitas hidup yang tinggi, tak heran kalau Bhutan didaulat sebagai the happiest place on earth.
(Foto: courtesy of COMO Uma Paro dan COMO Uma Punakha)