Suatu sore, Bazaar berkunjung ke kediaman Zannuba Arifah Chafsoh Rahman, yang dikenal dengan nama Yenny Wahid. Tak lama menunggu, Yenny muncul dengan baju berwarna oranye, salah satu warna kesukaannya. Dengan pembawaan yang ramah dan santai, Yenny menjalani sesi pemotretan, memakai sepatu hak tinggi. “Sepatu ini cuma untuk foto saja,” katanya sambil tertawa. Yenny lebih suka tampil kasual. Daripada gaun atau rok, Yenny memilih celana panjang dan sepatu nyaman yang membuatnya bisa aktif bergerak. Seusai pemotretan Yenny duduk di belakang meja kerjanya, ditemani secangkir kopi panas. Sambil tersenyum Yenny meminta seorang petugas untuk tak perlu berjaga di dalam ruangan.
MENGHORMATI KEBERAGAMAN
Yenny punya ritme kesibukan yang tinggi. Selalu ada saja pemberitaan menarik tentang dirinya. Belum lama ini, namanya disebut aktif sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Panjat Tebing Indonesia (PP FPTI). Semangatnya adalah ingin meningkatkan animo masyarakat pada cabang olahraga yang kurang populer di Indonesia ini. Padahal atlet-atlet Indonesia di cabang olehraga ini banyak yang menjadi pemecah rekor. Yenny berusaha agar prestasi tersebut bisa ditingkatkan lagi. Yenny menargetkan meraih dua medali emas di Kejuaraan Dunia Panjat Tebing 2022, di mana Indonesia akan menjadi tuan rumahnya, September mendatang.
Yenny juga mencuri perhatian media dengan pengunduran dirinya sebagai komisaris independen di Garuda Indonesia. Awalnya, baru sebulan menjabat, terjadi gelombang Covid-19 yang berdampak berat di semua industri, antara lain di industri penerbangan. “Apalagi Garuda ibarat orang punya komorbid yang terkena Covid [19]. Ya efeknya parah sekali. Harus bereskan komorbidnya dulu, baru Covid-nya,” komentar Yenny. Didorong rasa ingin mengabdi, segala cara sigap dijalankan, salah satunya menekan pengeluaran, melakukan efisiensi, mengatasi kasus demi kasus, dan momen Covid digunakan untuk renegosiasi berbagai kesepakatan bisnis. Sampai akhirnya Garuda berhasil melakukan penghematan dalam jumlah besar. “Saya cukup merasa lega, paling tidak saya ada kontribusi. Demi solidaritas semua orang harus dipotong gaji, dan akhirnya saya memutuskan mundur agar jumlah komisaris diperkecil, sehingga pengeluaran makin kecil,” kata Yenny santai.
Nama Yenny juga menjadi sumber berita di bulan September 2021, karena menerima penghargaan dari pemerintah Jepang. Yenny disebut sukses menekan kecenderungan radikalisme dan kekerasan melalui program Desa Damai (Peace Village). Dengan rendah hati, Yenny menerima penghargaan itu mewakili para perempuan yang ikut berkontribusi. “Saya bersyukur walaupun Wahid Foundation kecil tapi cukup bergema di dunia internasional. Tuhan mungkin hanya memberikan saya skateboard, tapi malah membuat jalan saya lebih kencang. Kami dipercaya untuk menjadi mitra UN Women untuk membuat program Desa Damai,” kata Yenny.
Program Desa Damai memang diprakarsai oleh UN Women dengan dukungan Pemerintah Jepang sejak 2017. Yenny juga pernah tampil sebagai pembicara yang membawa topik ini di Forum Perdamaian Paris (Paris Peace Forum) di Paris, di tahun 2018. Selama ini Yenny dan tim Wahid Foundation telah melakukan deklarasi di berbagai desa di berbagai daerah. Menurut Yenny, inisiatif Desa Damai telah membentuk mekanisme inovatif untuk mencegah ekstremisme dan kekerasan pada level dini di tingkat grassroots. Desa Damai bertujuan mengatasi ancaman radikalisme dengan memberdayakan masyarakat, satu desa pada satu waktu, melalui penguatan kohesi sosial, ketahanan masyarakat, serta meningkatkan kesetaraan sosial dan penghormatan terhadap keberagaman.
Selain Desa Damai, Yenny juga bekerja sama dengan 60 sekolah untuk menciptakan suasana yang lebih toleran, dan lebih menghargai perbedaan. Misi ini bekerja sama dengan kepala sekolah, guru, dan siswa. “Kita harus terus melakukan usaha tersebut. Karena kelompok yang radikal dan yang intoleran bergerak sangat aktif,” kata Yenny bersemangat. Yenny bercerita bahwa temannya di Inggris menjelaskan Asymmetry of Passion untuk menggambarkan kondisi ini. “Jadi passion antara kelompok radikal dan kelompok moderat itu asimetris. Kelompok radikal sangat passionate terhadap apa yang mereka perjuangkan. Bangun tidur langsung berpikir ‘saya mau jihad apa hari ini?’ bisa lewat perbuatan, mengumpulkan dana, merekrut anggota baru, atau sekedar mengamplifikasi pesan lewat media sosial. Melakukan retweet, masuk lewat Facebook, membuat konten, atau lewat ceramah. Sedangkan kita yang moderat, bangun, ibadah, dan bekerja saja. Apakah kita memastikan bahwa masyarakat sekitar ini tidak terpapar oleh ideologi radikal? Rasanya tidak,” tambah Yenny.
Maka daripada mengutuk gerakan itu atau menuntut pemerintah, Yenny memilih mengajak masyarakat untuk berkontribusi. Dimulai dari memberi contoh, dan menciptakan masyarakat yang lebih punya ketahanan (resilience). “Saya mencoba mengubah paradigma masyarakat bahwa perbedaan itu suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa, yang harus kita hormati. Perbedaan apa pun,” lanjut Yenny. Latihan di sekolah dilakukan lewat role-playing. Misalnya melihat dua pihak, kelompok radikal dan yang menjadi korban. Di situlah anak-anak belajar melihat satu kondisi yang tidak mudah, tapi jika tidak diatasi akan terjadi konflik.
Di desa-desa, Yenny mencoba membaurkan masyarakat, memfasilitasi ruang berdialog untuk bisa mengobrol dan meruntuhkan sikap saling curiga. “Karena kita berangkat dari premis bahwa orang cenderung bergaul dengan orang yang dia suka, yang dia cocok, dan hanya dari kelompoknya saja. Tidak pernah ada ruang di mana mereka bertemu, makanya harus diciptakan ruang-ruang perjumpaan,” lanjut Yenny yang menciptakan koperasi cinta damai yang anggotanya heterogen, untuk saling mengenal dan membantu. Anggotanya adalah orang-orang yang tidak bisa meminjam uang di bank karena tidak punya jaminan. Maka dibuatlah kelompok social collateral. Akhirnya timbul rasa saling memahami dengan tujuan yang sama, ingin sejahtera.
"Saya memperjuangkan legacy ayah saya, dan menemukan banyak sekali hambatan yang merefleksikan keadaan yang terjadi di negara kita. Saya berhadapan dengan sistem korup dan kekuatan yang tega melakukan apa saja. Saat itu saya harus mengambil keputusan."
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Yenny juga membantu pemberdayaan perempuan lewat program Desa Damai. Yenny mengubah paradigma itu dengan berdialog. “Mereka tidak pernah menerima narasi bahwa perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki. Padahal bukan cuma punya hak yang sama, tetapi perempuan juga bisa berkontribusi untuk membantu masyarakat dan negara. Pesan itu yang terus kita sampaikan,” tutur Yenny. Hasilnya terjadilah perubahan sikap, perempuan lebih percaya diri, dan cenderung punya keinginan mengubah nasib. Semua narasi itu dibarengi dengan pelatihan. Misalnya diajarkan cara mengelola keuangan rumah tangga. Menentukan target dan mencapainya. Misalnya ada ibu yang punya target menyekolahkan anaknya ke SMA, maka diajari menabung setiap bulan. Juga diajari berusaha, misalnya menjual makanan. Orang yang berhasil akan menularkan ke sekitarnya. Jika ada orang-orang yang bisanya menjadi pekerja, maka akan difasilitasi ke arah itu.
Pemberdayaan ini juga termasuk menghindari kekerasan berbasis gender. Memberikan kesadaran hak wanita dalam pernikahan dan juga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Yenny dan tim memberikan kesadaran kepada para pemangku desa dan Pokja (kelompok kerja) perempuan. Jadi merekalah yang harus memfasilitasi kalau ada kasus semacam itu terjadi di desanya. Kesadaran dibangun, bahwa kekerasan tidak boleh ditolerir. Bahkan conflict prevention pun telah disiapkan, sambil dibekali mekanisme penyelesaian konflik.
Saat ini sudah 30 daerah Desa Damai yang dibangun, walau belum semuanya deklarasi, sebab ada kriteria untuk deklarasi, memiliki mekanisme pencegahan konflik, melibatkan perempuan dalam pembuatan keputusan desa, dan ada kelompok kerja perempuan yang aktif. Kalau semua sudah terpenuhi berarti desa tersebut sudah punya komitmen. Deklarasi biasanya dihadiri oleh Yenny, Bupati, dan juga Gubernur. Selain penghargaan deklarasi, desa ini juga berhak mendapatkan bantuan 30 juta rupiah untuk memajukan desa. Desa-desa dipilih berdasarkan berbagai background check, antara lain yang pernah ada kasus, sehingga desa tersebut dibina dan menjadi daerah penyangga. Di tahun 2022 target Desa Damai akan ke luar Jawa. Jaringan NU (Nadhatul Ulama) yang kuat di berbagai daerah menciptakan kemudahan bekerja sama dengan stakeholders lokal.
MENJAGA WARISAN GUS DUR
Sebagai anak kedua dari Presiden Republik Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny memang memiliki pemikiran seperti ayahnya, antara lain mengedepankan Islam yang moderat, menghargai pluralisme dan menjadi pencinta dan pencipta damai.
Namanya sebagai aktivis politik, terjaga baik. Meski ada tahun-tahun sulit dan perseteruan politik yang harus Yenny lewati. Namun Yenny selalu mampu menjaga sikapnya. Apa nilai yang dipegangnya? “Saya berjuang untuk kebenaran, yang paling penting adalah berjuang untuk sesuatu yang saya yakini, dan bisa membawa kebaikan pada banyak orang,” ungkap Yenny yang percaya dengan prinsip itu langkahnya menjadi ringan.
“Pada 2008 dan 2013 saya memperjuangkan legacy ayah saya, dan menemukan banyak sekali hambatan yang merefleksikan keadaan yang terjadi di negara kita. Saya berhadapan dengan sistem korup dan kekuatan yang tega melakukan apa saja. Saat itu saya harus mengambil keputusan. Kalau mau berhasil, bisa saja, tapi saya harus mengikuti cara orang-orang itu, dan saya tidak mau,” lanjutnya tegas. Maka Yenny berjalan dengan caranya sendiri. Meski tak punya kendaraan politik saat itu, perjuangannya tidak berhenti.
Yenny mengambil perspektif jangka panjang, dan merasa lebih bahagia dengan pilihannya. “Hal yang paling penting adalah hati nurani saya bersih dan melakukan sesuatu yang benar. Lalu reputasi tidak rusak. Legacy bapak saya adalah nama baik. Reputasi. Itulah yang harus kami jaga. Kami keluarga Gus Dur mempertimbangkan sikap yang harus mengacu dengan legacy yang ditinggalkan bapak, eyang, dan leluhur,” lanjut alumni Harvard University ini.
Yenny melihat dunia terus berkembang, banyak orang yang memiliki kendaraan politik, tapi tidak mendapatkan yang mereka mau. Banyak ketua umum politik, yang ternyata tidak mendapatkan rasa hormat dari masyarakat. “Kalau hanya mengejar jabatan, akan kosong rasanya. Bagi saya, jabatan formal itu adalah alat untuk mencapai tujuan. Kebetulan tujuan hidup saya adalah membawa kebaikan, membawa dampak positif untuk sekitar saya. Bisa untuk keluarga, masyarakat, dan negara, lebih baik lagi jika bisa untuk dunia. Tapi intinya adalah saya bisa menjadi instrumen Tuhan untuk membawa kebaikan,” ungkap Yenny.
“Kalau kita menganggap diri kita alat, akan ada sesuatu yang dipinjamkan Tuhan. Mungkin hari ini dipinjamkan Parpol, besoknya yayasan, atau perusahaan. Semua itu hanya alat. Tujuannya cuma satu, membawa kebaikan,” lanjut pendiri Partai Kedaulatan Bangsa, yang kemudian melebur dengan Partai Indonesia Baru (PIB) menjadi Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) ini.
BAHASA CINTA DALAM RUMAH TANGGA
Yenny terbilang sosok yang mudah berdamai dengan semua situasi sulit, dengan satu kunci: sikap menerima (accepting). Dalam situasi konflik politik di masa lalu, Yenny berjumpa dengan jodohnya, Dhohir Farisi. “Jalan Tuhan tidak linear,” ucapnya sambil tersenyum. Wawancara kami diselingi tiga anak Yenny yang bergantian mengintip di balik pintu. Ada anak kedua, Alesandria Amira Noya (10), yang mengeluh giginya sakit karena saatnya copot, Yenny meminta Amira mengompres dengan es batu, tapi Amira menawar dengan es krim. Ada si bungsu, Raisa Isabella Hasna (8), yang minta izin berenang. Ada juga suara merdu Malika Aurora Madhura (12), anak pertama yang pandai bernyanyi.
Yenny tenang menghadapi pandemi. Selama ini Yenny diajarkan orang tua untuk melihat hidup dengan seimbang, di setiap sisi negatif, pasti ada sisi positifnya. “Covid membuat saya berusaha hidup lebih sehat, punya lebih banyak waktu dengan keluarga, menikmati slow living, dan hidup lebih mindful,” kata Yenny yang banyak menghabiskan waktu di Yogyakarta bersama keluarganya.
Yenny mendidik anak-anaknya bersikap egaliter, harus hormat pada semua orang. Seperti yang ditanamkan Gus Dur dan Sinta Nuriyah, Yenny juga mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi orang yang berguna dan bertanggung jawab. Mereka juga diajari untuk menerima konsekuensi dari perbuatan masing-masing. Penerapan disiplin dan peraturan juga ditegakkan, antara lain soal kerukunan bersaudara, menonton TV, dan aturan memakai gawai.
“Kami menjaga kesepakatan dengan anak-anak, tapi saya juga membuka ruang dialog agar mereka bisa mengomunikasikan perasaan. Mereka tetap harus ikut aturan, contohnya pemakaian gadget, dalam sehari mereka hanya boleh memakai 30 menit kali dua atau kali tiga, menggunakan timer. Tapi mereka boleh dapat bonus 30 menit lagi kalau membaca satu buku atau menyelesaikan target mengaji,” lanjut Yenny. Hal tersebut juga berlaku jika anak-anak berbuat hal-hal yang tidak terpuji, maka jatah gadget berkurang. Kalaupun terpaksa marah, Yenny selalu menunjukkan ekspresi kecintaan di belakangnya.
Satu hal yang menarik, Yenny dan suami melatih anak-anak agar mampu mengelola emosi. “Semua anak kecil sama, maunya dituruti. Kami mengajarkan emosi itu boleh, yang tidak boleh kalau mengekspresikan emosi dengan cara yang salah. Kami ajarkan anak-anak mengekspresikannya dengan cara yang tidak melukai orang lain. Bisa dengan menulis surat, menangis di kamar, misalnya,” kata Yenny yang menekankan semua nilai harus ditanamkan sejak kecil, terus menerus, dan konsekuen, serta disepakati oleh orang tua, dan semua anggota rumah. Termasuk pengasuh dan pengemudi.
Sesibuk apa pun, Yenny dan suami mengalokasikan waktu untuk anak. “Anak-anak adalah prioritas. Kami harus mendapatkan trust dari anak. Kalau anak tidak percaya sama kita ya, pasti kita bicara apa pun tidak akan didengar,” lanjut Yenny yang masih mendongeng untuk anak-anaknya.
Yenny merasa beruntung karena suaminya sangat suportif. “Menjadi suami saya itu berat karena beban. Jadi saya juga memberikan ruang untuk dia, dan memberikan support yang sama,” lanjutnya. Saat ini suaminya aktif sebagai pengusaha. Selama pandemi, Yenny juga mendukung suami yang membuat community centre dan restoran di Yogya. Para pelukis Yogya berkumpul di sana untuk melukis bersama. Yenny dan suami memiliki jiwa kreatif yang membuat keduanya bisa mengobrol panjang tentang apa saja. Yenny dan suami sempat menyadari bahwa mereka memiliki bahasa cinta yang berbeda, sehingga sering terjadi ketidaksesuaian. Kemudian keduanya sepakat mempelajari ‘love language’ agar kebutuhan masing-masing terpenuhi.
Dengan aktivitasnya yang padat, Yenny harus siap tampil di berbagai acara. Yenny mengaku berpenampilan mirip ibunya, rapi dengan makeup dan memakai perhiasan. “Tapi saya tetap simpel dan praktis, dan sebagus apa pun bajunya harus tetap nyaman dipakai. Awalnya selera fashion saya lebih konservatif dan klasik dengan solid color. Tapi suami saya menyarankan warna-warna cerah untuk tampil lebih muda. Akhirnya saya suka. Suami saya mengikuti tren. Saya pernah dibelikan jaket BTS oleh suami dan saya pakai ceramah di sebuah universitas. Langsung saya dikira Army,” kata Yenny sambil tertawa lepas.
“Dalam salah satu wawancara saya dengan media saya memakai jaket itu lagi, dan baru kali itu artikel tentang saya mendapatkan viewers sampai jutaan,” kata Yenny meneruskan tawa. Buat Yenny yang juga pandai berdandan sendiri ini, penampilan memegang peranan penting, untuk menunjukkan kecintaan pada diri sendiri, dan mendapatkan mood yang baik.
Hari beranjak petang, saat wawancara usai, Yenny mengantar kami sampai ke pintu keluar, dengan janji berjumpa kembali untuk minum kopi dengan bahasan lain. Keramahan khas keluarga Gus Dur, yang sangat berkesan di hati siapa pun.