Merayakan identitasnya sebagai seorang perempuan Wiradjuri, yaitu suku Aborijin pertama dari New South Wales di Australia, Denni Francisco menuturkan bahasanya kepada dunia dalam koleksi label mode bernama Ngali. Gubahan sustainable brand ini merefleksikan perjalanan kultural yang mengusung konsep Yindyamarra, artinya: hormat, lembut, sopan, perhatian, dan lakukan perlahan (presisi). Dengan begitu, Ngali (yang definisinya kita atau kami) pun menunjukkannya pada kolaborasi-kolaborasi apik dengan kumpulan karya seni penduduk asli Aborijin dan Pulau Selat Torres lainnya.
Pada akhir tahun 2022, Ngali perdana menampilkan karya anyarnya di panggung mode ibu kota Jakarta. Kesempatan ini mempertemukan Bazaar langsung dengan sang pendiri dan direktur kreatif Denni Francisco dalam pertemuan syahdu di sebuah restoran area Menteng. Berikut percakapan kami setelah bertukar kabar dan cerita pendek tentang keunikan hiruk-pikuk kota Jakarta.
Harper's Bazaar Indonesia (HBI):Apa peran fashion bagi Anda?
Denni Francisco (DF): Menurut saya yang terpenting adalah apa yang fashion bisa lakukan. Saya pikir sebagai label mode, kami berpeluang untuk memberi pengaruh bagi isu sosial, ekonomi, hingga politik, dan juga merayakan kisah kami serta mengangkat seniman lokal, yang memiliki begitu banyak kreativitas, yakni sangat mirip dengan di Indonesia dan saya pikir itulah alasan kami ada di sini. Jadi ada sinergi nyata antara apa yang kami lakukan di sana dan di sini.
HBI: Bagaimana budaya Aborijin Wiradjuri memengaruhi desain Anda?
DF: Kami mempunyai sekitar 240 lebih kelompok bahasa dalam negara Wiradjuri, di mana saya juga mendapatkan inspirasi. Awal mulanya karena kami menerjemahkan karya seniman lokal ke dalam motif kain, jadi yang saya lakukan adalah misalnya memilih koleksi lukisan dan dengan kesepakatan bersama, kami mengulas ide untuk menerjemahkan artwork tersebut menjadi fabric print. It’s a beautiful collaboration dan kami juga mengerjakannya sebagai bentuk penghormatan budaya itu sendiri sebab harus diingat bahwa setiap karya merupakan kisah pribadi sang seniman.
HBI: Lantas, apa kualifikasi Anda dalam memilih pengrajin dan pekerja kreatif lokal?
DF: Seniman pertama yang saya mulai bekerja sama adalah digital artist dari Australia Barat. Setiap tahun ada pameran seni sekitar 65 art center dari seluruh Australia berkumpul di satu lokasi di Darwin dan menampilkan semua karya seni mereka, dari lukisan, aksesori sampai homeware. Saya menemukannya ketika sedang mengitari acara tersebut selama dua hari, ada lukisan yang benar-benar menonjol di antara ratusan karya di sana. Ada seorang pria lagi duduk (di sebelah lukisan), lalu saya bertanya, “Bisakah Anda menceritakan tentang lukisan ini?” Dan ternyata ia adalah pelukisnya. Kami pun bertukar gagasan dan ia sangat bersemangat untuk melakukan kolaborasi.
HBI: Apa karya seni yang paling berkesan dan menyentuh hati Anda?
DF: Banyak kreasi ciptaan (seniman Gija) Lindsay Malay tentang keluarga dan leluhurnya, bagi saya afiliasinya dengan keluarga dan leluhur kami sangatlah penting. Saya sangat respek bagaimana ia menggambarkan kisah keluarganya dan hal itu beresonansi kuat dengan saya.
HBI: Anda sudah menjadi desainer sejak tahun ‘90-an dengan childrenswear, apa yang membuat Anda beralih ke womenswear di tahun 2018?
DF: Pertama, saya rindu berada di ruang kreatif. Jadi saya jelas ingin kembali, namun juga karena ini merupakan cara untuk terhubung dengan komunitas kami. Ada pikiran-pikiran yang muncul di benak saya, seperti "Saya rasa dunia tidak membutuhkan label mode lagi," atau " Jika saya ingin mendirikan brand, apa tujuannya?" Saya selalu memikirkan para seniman yang hidup jarak jauh dengan kota. Ketika mereka menciptakan lukisan, mereka harus mengirimkan karya mereka ke wilayah kota untuk dijual dan kemudian mereka harus membawa kembali apa yang tidak laku atau mereka harus menunggu perhatian orang melalui pusat seni. Jadi ini (Ngali) bisa menjadi peluang baik untuk dapat memperluas jembatan mereka sehingga lebih banyak atensi dan potensi mendapat berbagai aliran pendapatan.
HBI: Wah, langkah yang baik seraya dengan giat dunia fashion dalam kian mengusung praktisi keberlanjutan, apa tindakan Anda dalam mendalaminya?
DF: Saya pikir setiap bisnis bertanggung jawab atas kebaikan dan telah diketahui bahwa industri fashion menjadi perhatian utama di TPA dan sebagainya. Tidak bisa dipungkiri lagi untuk berada dalam dunia mode tanpa menyadari hal tersebut. Bagaimana menciptakan dengan cara yang berkelanjutan dan juga mengayomi pelanggan yang terdidik. Lantas, berkumpul bersama sebagai label fashion teruntuk berbuat lebih baik dan menjadi lebih sadar akan keputusan berbelanja, terutama terhadap kualitas produk. Jadi, nantinya ketika Anda mulai bosan, Anda bisa meneruskannya kepada orang lain dan untuk itu kami harus dapat menghasilkan produk yang lebih berkualitas.
HBI: Meski begitu, setiap musim tentunya harus ada esensi kebaruan. Bagaimana Anda menanggulangi tantangan kreatif ini?
DF: Pertama dan yang terpenting, koleksi kami tak lekang oleh waktu. Kami senantiasa menggiring pemakai koleksi kami ke dalam suatu perjalanan.
HBI: Setelah empat tahun berdiri, apa yang menggerakkan Anda untuk kini unjuk koleksi Ngali di Indonesia?
DF: Kami diundang oleh Kedutaan Besar Australia dan kebetulan saat itu kami baru saja mulai membuat beberapa produksi di Bali, yang baru terjadi belakangan ini. Kami merasa bahwa segala hal terjadi karena suatu alasan dan saya selalu senang berada di antara kreativitas masyarakat Indonesia yang sangat inspiratif. Ini merupakan kesempatan yang luar biasa untuk belajar dan melihat apa yang sedang berlangsung. Bukankah menjadi hal yang luar biasa, jika para pekerja kreatif dan desainer dari First Nations dapat bekerja dengan pengrajin-pengrajin di Indonesia, di mana mereka saling belajar? Memang ini sudah diberlakukan sejak dulu menurut sejarah dan hal seperti itulah yang perlu dirayakan, yakni membuat fashionbermakna.
Foto: Courtesy of Ngali