Mengulas Tren Fashion Indonesia yang Semakin Mengusung Budaya Negeri

“Itu yang sebenarnya akan membuat sesuatu menjadi kontemporer: ketika unsur yang tradisional bisa menyatu dengan unsur yang modern," tutur Hagai Pakan.



Tahun lalu, saya mulai belajar banyak soal batik dari seorang Agus Wiryanto Notoutomo, paman seorang teman yang begitu gemar batik dengan koleksi yang tak sedikit dan unik.

BACA JUGA: Mengenal Generasi Z: Mereka Si Generasi Segala Sarana Jenis Komunikasi

Dengan secangkir kopi yang ia proses sendiri, beliau menjelaskan makna dari bermacam-macam kain dan motif—bahkan ada sebagian yang kita tidak tahu—dengan cara yang sangat simpel, seperti mendongeng, layaknya sebuah kain yang menyimpan cerita.

Agus menggelar beberapa dari batiknya pada sebuah papan untuk dilihat dan dinikmati, bahkan menganjurkan beberapa dibawa pulang. Untuk pertama kalinya, saya tidak merasa terintimidasi oleh budaya saya sendiri.

Selama ini, rasanya tak pantas bagi saya untuk berinteraksi dengan batik atau budaya Jawa dengan segala kekayaannya. Padahal, ibu saya asli orang Solo. Saya sudah pernah mengunjungi Kampung Batik untuk melihat pembuatan batik maupun cap dan cantingnya. Saya pernah menghabiskan hampir 5 jam di Museum Danar Hadi untuk melihat koleksi yang ekstensif.

Sekarang, saya punya puluhan batik. Entah mengapa—apa karena saya tidak bisa berbicara dalam boso jowo, atau saya tidak dibesarkan dalam budayanya, atau karena saya seorang third culture kid yang terlalu terurbanisasi yang memiliki pendidikan internasional. Tapi saya yakin, penyampaian informasi, koneksi, dan arti sangat berpengaruh pada pengalaman dan ketertarikan saya. Dan saya yakin hal inilah yang membuat barrier pada kurangnya minatnya masyarakat—khususnya, generasi muda—pada budaya kita sendiri. Ada missing link antara mereka dengan nilai dan akar budaya.

Saya beruntung kenal seseorang yang dapat menginspirasi saya. Bagaimana dengan yang lain?

Ada sebuah disconnect antara informasi, generasi muda, dan akar budaya. Saya betul–betul mencoba menggali tentang budaya kita karena sadar akan sedikitnya pengetahuan saya. Dari situlah saya menyadari bahwa kita memiliki sumber daya yang begitu banyak—hanya sayang saja kurang aksesibel. Buku-buku kebudayaan yang saya temukan di Perpustakaan Nasional RI tidak bisa dipinjam, dan mencerna informasi yang begitu banyak untuk mencari satu detail kecil memang sulit. Buku-buku referensi tidaklah murah atau selalu ada jika ingin dibeli.

Saat saya ke Museum Nasional, hanya ada sedikit informasi individu tentang tekstil yang tidak membuatnya seperti spesimen binatang yang sudah punah. Oke, tenun ikat ini dari Sumba, dibuat pada tahun 1974, dan hanya dipakai oleh para lelaki untuk acara penting. Kemudian apa? Jika saya ingin tahu wujud kain batik gadung mlati yang dimasukkan sesajen labuhan lewat Google, yang muncul malahan link Tokopedia untuk belangkon.

Hal baiknya adalah, semua rintangan ini memaksa kita untuk menggali lebih dalam—tapi untuk sebuah generasi yang sudah lahir dengan silver spoon informasi dan teknologi, hal ini menjadi penghalang.

Thankfully, sekarang ada banyak sekali portal untuk menyaksikan penyelarasan budaya dan fashion Indonesia dengan waktu sekarang. That should easily be inspiring, karena memang betul-betul menarik. Regenerasi yang sedang terjadi is happening in many ways dan semuanya bisa diamati dari media sosial. Remaja Nusantara menjadi jendela pertama bagi saya untuk melihat bagaimana anak-anak muda mengubah atau memberikan konteks baru pada pakaian tradisional dengan tagar #indonesiaberkain. Entah dari mengikat kain menjadi siluet yang atipikal, atau memadukannya dengan denim atau merek-merek streetwear. Semua style dari yang paling casual maupun formal atau avant garde ada.

Berkain menjadi cool lagi dengan cara-cara baru. Sebagai stylist pun, saya belajar dari mengamati orang lain. Adapun Swara Gembira, gerakan yang memopulerkan budaya Indonesia secara keseluruhan. Saya sendiri hadir di acara Pesta Wastra, yang digelar di Lucy In The Sky. Melihat ratusan anak-anak muda berkain dengan caranya masing-masing dan berjoget pada gig Ian Hugen dengan setlist musik dangdut, adalah sesuatu hal yang tak akan saya lupakan.

Dalam scene fashion yang lebih spesifik, ada juga campaign Aku dan Kain dari Oscar Lawalata, pameran sang desainer di Museum Nasional, yang sangat menggemparkan di media sosial. Selama seminggu lebih, saya tidak berhenti melihat konten dari campaign tersebut, yang dibintangi Dian Sastrowardoyo, Julian Jacob, Sivia, Reza Rahadian, Cinta Laura, Marsha Timothy, dan banyak artis lainnya—mungkin efeknya bisa dibilang “viral”. Semua ini mengingatkan kita bahwa ada sangat banyak cara untuk mengeksplorasi lagi budaya kita, yang tentu akan efektif jika ada usaha secara kolektif.

Tapi tentu sebagai stylist, saya lebih melihat dan mengobservasi karya para penata gaya dan busana secara individu, termasuk Hagai Pakan yang berkiprah pada industri perfilman Indonesia, Jonathan Andy Tan yang pendekatan styling-nya merombak total tradisi yang ada, dan Radinindra Nayaka yang juga merupakan seorang desainer dengan latar belakang keluarga Keraton Kasunanan Surakarta. Ketiga stylist ini telah mendobrak cara kita memadukan baju tradisional Indonesia sehingga menjadi kontemporer, dengan cara yang berbeda-beda.

Pendekatan Hagai tetap untuk teliti saat mengeksplorasi dan memadukan tekstil nusantara dengan knowledge. “Dalam proses kreatif menentukan styling atau look Indonesia, pertama aku pasti melihat apa yang bisa aku ganti, apa yang harus aku pertahankan, apa yang core-nya harus aku jaga,” jelasnya. “Itu yang sebenarnya akan membuat sesuatu menjadi kontemporer: ketika unsur yang tradisional bisa menyatu dengan unsur yang modern. Karena kalau semuanya modern, akhirnya akan hanya modern—tidak jadi kontemporer. Aku tahu kita ada di era genderless, inclusive, dan diverse. Tapi kalau balik ke budaya, dari nenek moyang dibuatnya sudah dengan pakemnya. Ada cara pakai kain atau motif tertentu yang tetap harus kita perhatikan. Jangan sampai kita juga terkesan asal-asalan atau tidak tahu budaya. Tapi kalau pengetahuan ini bisa kita eksplor dan kembangkan, tampilan akhir kita akan lebih valuable dan baik secara nilai dan cerita.”

Ketika saya mengamati apa yang sedang terjadi, saya merasa tidak pada tempatnya. Ibaratnya Anda harus menggunakan kebaya atau batik untuk melambangkan Indonesia. Namun insting saya mengatakan sebaliknya, jadi saya menunggu proyek yang tepat untuk akhirnya melakukan sesuatu yang lebih halus but still in-your-face.

Syukurlah, Taskya Namya dan timnya di Persona mendatangi saya untuk pemutaran perdana Pamali. Ia memerankan Nenden, yang akhirnya menjadi kuntilanak di filmnya. Formula kuntilanak, sangatlah simpel: rambut panjang, baju putih. Itu tidak bisa diubah, tapi kami mengambil begitu banyak twist. Kami membuat jubah sepanjang 10 meter, yang dijahit dengan rambut panjang pada bagian dalam. Dress payet Fbudi yang warna baby pink kita padukan dengan belt “janin” satin warna merah yang kami buat H-1.

Makeup-nya tetap cantik dan rambutnya tetap panjang dengan sedikit tekstur. Tidak ada yang tampak tradisional tetapi Anda tidak dapat menyangkal bahwa itu semua merujuk pada Kuntilanak, dengan cara yang dapat dibawa oleh Taskya secara pribadi. Sesungguhnya, kita memiliki kebebasan untuk menginterpretasikan akar budaya dengan cara yang engaging atau autentik dengan persepsi sebagai seorang kreatif.

Saya belajar banyak juga ketika styling Yura Yunita, musisi asal Bandung yang sudah pernah saya dandani setidaknya sepuluh kali sekarang untuk berbagai acara panggung. Her music truly embodies many elements of traditional Indonesian culture, dan ia menjelaskan kenapa ada keinginan besar untuk reconnect. “DNA musik dan personality saya sangat memengaruhi bagaimana saya berpakaian di atas panggung,” jelas Yura. “Aku akan selalu bangga melafalkan bahasa dan budaya daerahku. Dengan media karya dan platform yang Yura miliki, aku ingin kita sebagai anak muda juga untuk bisa terus bangga untuk mengingat dari mana akar kita berasal. Kita, generasi muda sebagai penerus bangsa untuk terus bersama-sama menggaungkan kecintaan kita akan budaya Indonesia. Caranya bisa dengan speciality kita di bidang apa pun, dengan keunikan, kenyamanan, identitas dan personality kita masing-masing. Melihat ke dalam diri, dari mana sih akar kita berasal. Research dan banyak membuka mata akan sejarah budaya mode Indonesia apa saja sih yang kita miliki. Lalu bisa coba padu padankan sesuai dengan gaya, DNA, dan personality kita masing-masing.”


Jika ada dua poin utama dari ungkapannya, ia adalah identitas dan kecintaan. You can’t be a person without love. If there’s anything I’ve learned sebagai orang Indonesia yang mencoba untuk terhubung kembali dengan akarnya, kita harus mengubah persepsi terhadap cara kita melihat diri sendiri. There are many sides to our culture—tak hanya yang biasa dianggap kaku, tidak progresif, kuno.

Saya juga merekomendasikan buku Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX oleh Peter Carey dan Vincent Houben, sebagaimana teman saya merekomendasikan kepada saya. Bacaan ini “mengajari” saya untuk mengeksplor sisi lain dari budaya sebagaimana biasanya direpresentasikan. Perempuan-Perempuan membahas tokoh-tokoh tangguh yang memiliki perjuangan yang luar biasa. Kisah-kisah tentang Nyai Ageng Serang yang membantu pasukan Pangeran Diponegoro, atau kekuatan Pasukan Elit Srikandi yang lebih mahir dari militer, dan dewi Drupadi yang ingin bermandikan darah dari pangeran yang menghinanya, sungguh membuat saya bergejolak dan saya yakin Anda juga.

Saya senang adanya sumber daya yang membantu mematahkan stereotipe perempuan Jawa yang kalem, cantik, penurut, dan tidak berdaya. Perempuan Jawa sesungguhnya memiliki spektrum dan ini pantas di-highlight agar kita memahami kompleksitas identitas kita tidak hanya sebagai sebuah negara, tapi sebagai individu-individu. Kita ingin terlihat, dan mengapa ini penting untuk terhubung dengan akar kita.

There are always other sides to the story!

Penulis: Allysha Nila; Layout: Somad; Foto: Courtesy of Allysha Nila, Claudia Dian, Eandaru, Arman Febryan, Hagai Pakan