8 Tren yang Mewakili Fashion di Era 1990-an

Buku Reinvention & Restlessness: Fashion in the Nineties mengeksplorasi tipe gaya era tersebut yang didominasi oleh nuansa elegan dan kesederhanaan.



Semua hal yang tren di tahun 1990-an telah resmi menjadi sesuatu yang retro, terutama untuk kita yang dahulu mendengarkan lagu "Freedom! '90" lewat CD, menyewa VHS untuk menonton film Clueless dari Blockbuster, menangisi serial televisi My So-Called Life yang dihentikan, mendengarkan lagu Macarena, menggunakan telepon umum secara rutin, dan mengerti Florida dahulu dikategorikan sebagai blue state. Setelah bertahun-tahun lamanya, sesuai dengan tren gaya '90-an yang kini kembali menjamur, semua hal yang tua menjadi baru kembali.

"Saya rasa anak muda sekarang menyukai gaya '90-an dikarenakan mereka merasa saat itu adalah masa di mana semua gaya terlihat menyenangkan, dan tak ada aturan untuk menggabungkan segala gaya menjadi satu," Colleen Hill, kurator kostum dan aksesori di Museum Fashion Institute of Technology, berkata kepada BAZAAR. "Setiap dekade memiliki tren, tetapi saya dapat berargumen betapa tren di tahun '90-an ada banyak sekali tren yang masuk dan keluar dengan cepat. Selalu ada hal baru, hal kontroversial, dan sesuatu yang menarik untuk semua orang."

Konsep pluralisme pada mode ini kemudian menjadi landasan buku Reinvention & Restlessness: Fashion in the Nineties, sebuah buku yang ditulis oleh Colleen Hill mengeksplorasi tren terpilih dari era '90-an. Dikabarkan akan dirilis pada bulan Maret (yang diikuti oleh ekshibisi di musim gugur), buku ini menyelami 8 gaya berbeda seperti minimalisme, kembalinya kebangkitan barang mewah, retro, gaya grunge, dekonstruksi dan avant garde, environmentalism, dan busana global.

Colleen mengakui bukan itu saja, ia akan membahas mode di era '90-an yang dipengaruhi oleh musik hip-hop, musik rave, perkumpulan Antwerp Six, dan busana yang diilhami dari busana olahraga. Tak hanya itu, ia akan membahas juga mode yang mendominasi panggung runway dan majalah di masa itu. Dari mulai koleksi desainer Tom Ford dan John Galliano hingga fotografer Peter Lindbergh dan Corinne Day sampai editor Bill Cunningham dan editor Harper's Bazaar Liz Tillberis, Colleen memberikan keseluruhan perspektif dari pada pemimpin industri mode di masa itu dan segala gaya yang telah melalui dekade tersebut.

"Kita sudah mengarungi modern ke retro, glitz and glamour, dari mulai gaya sederhana ke gaya manis, militer ke minimalis, sampai akhirnya ke masa kejayaan manik-manik dan logo desainer yang ditempelkan di mana-mana," tulis Marion Hume di "Fashion Flashback," sebuah cerita di edisi Desember 1999 Harper's Bazaar, yang mana dikutip oleh Colleen Hill di dalam bukunya.

Era '90-an tentu era elegansi, era lahirnya supermodel, dan presentasi runway yang di luar bayangan. Namun itu juga periode tempat lahirnya gaya grunge, yang dikatakan sebagai tren mengerikan setelah Marc Jacobs meluncurkannya di pergeleran Perry Ellis yang melakukan cultural appropriation dengan terang-terangan. Tak ada yang bisa memungkiri betapa mode di era '90-an dilandasi oleh sikap 'higher than thou'. Tak jarang, banyak koleksi di masa itu terlihat tidak bisa dikenakan kembali untuk sekarang.

Dari mulai yang disukai hingga ke tren kontroversial, Fashion in the Nineties menawarkan kilas balik yang saat ini sedang digandrungi oleh sosok seperti Kaia Gerber, Bella Hadid, dan Ryan Destiny. Para bintang dan penggemarnya mungkin masih terlalu muda untuk mengingat masa di tahun '90-an, tetapi jika seseorang membutuhkan panduan untuk mengulik lebih dalam era tersebut, buku ini adalah jawaban yang tepat untuk memulai. Dengan ini, Colleen Hill memberikan sinopsis dari riset panjang yang ia lakukan menyangkut tren high fashion di masa itu.

Minimalism



Yang saya ingin garis bawahi di fashion era '90-an adalah betapa mode di era ini banyak yang dilandasi sebagai respons kepada gaya berlebihan di era 1980-an. Di tahun 1980-an, ketika seseorang mengenakan busana mahal maka semua orang dapat mengetahui betapa mahalnya pakaian tersebut. Barang mewah di masa itu sangat straight forward. Minimalisme termasuk sebagai kemewahan, dengan aliran desain yang subtil dan hanya orang-orang yang mengerti fashion dapat mengerti. Salah satu contohnya datang dari Calvin Klein yang sudah mengolah koleksi minimalis sejak akhir 1980-an.

Isu ekonomi juga memengaruhi di awal dekade ini. Amerika Serikat saat itu mengalami penurunan ekonomi, begitu juga dengan Inggris yang mengalam resesi. Mengenakan busana minimalis membuat semuanya terlihat lebih masuk akal. Sehingga, meski pada saat itu seseorang memiliki cukup uang untuk mengenakan barang mewah, memamerkannya dianggap sebuah aksi yang menjijikan. Saya rasa dua hal ini merupakan alasan berjayanya gaya minimalis.

Yang menarik dari minimalisme, gaya ini kerap keluar dan masuk selama dekade tersebut. Anda akan melihatnya di awal 1990-an, dan minimalisme kemudian sedikit menghilang, sampai akhirnya kembali lagi. Tahun 1997 menjadi era di mana minimalisme kembali berjaya. Banyak desainer dan label mulai menggarapnya, dan menjadi gaya yang menyentuh arus utama, sekaligus high fashion, yang mana minimalisme era '90-an akan mengingatkan kita selalu dengan gaya minimalisme.

Luxury Revival

Di sini, Anda akan melihat sedikit barang mewah dan lini yang sedikit berlebihan di awal dekade. Setelah memasuki tahun 1995, dimulai dari Tom Ford untuk Gucci, yang mulai menghidupkan kembali sang rumah mode yang sempat lesu. Periode ini menjadi masa di mana banyak rumah mode mulai bangun kembali seperti Dior, Givenchy, atau Chloé. Barang mewah kembali menjamur tetapi masih dalam porsi tidak berlebihan layaknya 1980-an. Contohnya, Christian Lacroix sangat berpengaruh di era 1990-an.

Ketika berbicara tentang kembalinya masa kejayaan rumah mode mewah, kali ini sedikit berbeda. John Galliano sebelumnya memangku posisi di Givenchy dan Dior, dan ketika ia pindah ke Dior, Alexander McQueen pindah ke Givenchy. Keduanya adalah duo desainer yang edgy di saat itu. Mereka dipekerjakan untuk menghidupkan kembali rumah mode mewah, untuk menarik perhatian orang untuk melihat Dior dan Givenchy. Tetapi karya keduanya tidak seperti apa yang orang bayangkan, koleksi mereka justru mengandung desain yang out of the box, penuh pemberontakan, yang menjadikan label yang mereka pimpin kembali menjadi pusat perhatian. Di koleksi mereka banyak referensi historikal. Banyak dari kita tak akan bisa membeli koleksi Dior Couture, tetapi jika kita menyukai karya Galliano, kita bisa membeli tas rancangannya. Yang semakin menolong popularitas sang label.

Grunge

Grunge adalah sesuatu yang mudah menyentuh kaum arus utama dan menggandrunginya. Ini merupakan gaya yang penuh cela di high fashion. Namun, grunge lebih merepresentasikan sebuah musim, tepatnya musim semi 1993. Anda akan melihat elemen grunge ditemukan di beberapa tempat. Terinspirasi dari aliran gaya hippie. Koleksi Anna Sui di masa itu dipengaruhi sekali dengan hippie.

Sejujurnya, saya sempat berpikir, haruskah saya membicarakan grunge dengan serius, karena ini adalah pembahasan high fashion, dan bukan hal terbaik di dekade ini. Namun semakin saya melihatnya, saya merasa grunge justru membantu high fashion menyentuh ranah arus utama. Orang semakin peduli dengan koleksi yang dipengaruhi gaya grunge, bahkan meski mereka tidak familier dengan konsep ini mereka tetap dapat mengenakannya. Cukup dengan pergi ke thrift store dan membeli baggy sweater, kemeja flannel, dan gaun floral vintage.

Dan Anda akan langsung menyaksikan ansambel grunge, yang membuat high fashion populer dan semakin nyata. Sehingga ini merupakan gaya yang patut dibicarakan, walau hanya berlangsung sebentar, dan para editor mode di masa itu membencinya.

So Retro

Dalam satu musim, Lacroix memilih untuk menghidupkan kembali busana Belle Époque, dan di musim selanjutnya ia lebih mengangkat busana era 1960-an. Vivienne Westwood menampilkan korset era abad ke-18. Jean Paul Gaultier memamerkan koleksi korset dengan gaun flapper. Hal ini merupakan perubahan tercepat antara vintage dan retro yang mengindikasikan kegelisahan, Hal itu seakan mengatakan, "Kita semakin dekat ke akhir abad ini, sehingga kita hanya akan kembali mengulik ide yang sudah ada di masa lampau."

Pada intinya, setiap desainer melakukan pengangkatan gaya retro kembali, dengan beberapa desainer yang memilih untuk fokus di hal ini dibanding yang lainnya. Anna Sui adalah seseorang yang secara konsisten mengulik gaya era 1960 dan 1970 di sepanjang kariernya, tetapi saya mencoba untuk menonjolkan penghidupan gaya retro yang terjadi dengan cepat.

Deconstruction and the Avant-Garde

Dekonstruksi adalah sebutan yang mulai dikenal dan diaplikasikan di mode hanya pada tahun 1990-an. Gaya ini sendiri mengambil inspirasi dari aliran desain avant garde Jepang tahun 1980. Ini adalah sesuatu yang diadopsi Martin Margiela ke dalam karyanya pada akhir '80-an. Ia dan Rei Kawakubo sangat menghormati karya satu sama lain. Mereka bahkan menggelar pergelaran mode bersama.

Nyatanya, Bill Cunningham adalah sosok pertama kali yang menuliskan betapa karya Margiela mengandung unsur dekonstruktif, yang pada saat itu hanya melekat di pembahasan tentang arsitektur bangunan dan belum pernah diaplikasikan di mode. Yang membuat kata tersebut menjadi sebutan baru di tahun 1990-an.

Selama tahun 1980, gaya ini sangat avant garde dan edgy, dan menjadi topik diskusi, tetapi sangat lambat menyentuh para penyuka mode arus utama. Pada saat itu, Rei Kawakubo sudah cukup populer, tetapi dirinya semakin dikenal semenjak tahun 1990-an. Pekerjaan dia semakin memengaruhi beberapa desainer, Margiela menjadi contoh utama, sekaligus desainer Maria Cornejo. Karyanya sangat sempurna, cantik, dan avant garde. Tetapi tidak selalu terlihat seperti terinspirasi dari Rei Kawakubo. Tetapi ia terus dibicarakan. Begitu juga dengan Ann Demeulemeester.

Technology

Kita semakin dekat ke akhir abad ke-20, dan teknologi semakin maju. Kemudian, hadir koleksi Alexander McQueen untuk Givenchy, yang mana seluruhnya divisualisasikan dengan motif print dan memiliki motif circuit board. Ia kemudian mengerahkan lampu LED untuk ditambahkan di pakaian yang dapat menyala. Semakin menunjukkan hubungan erat mode dengan teknologi.

Saya juga menemukan hal menarik datang dari internet yang mulai memengaruhi sikap konsumtif. Saya tidak ingat momen di mana mode belum memenuhi internet. Bill Cunningham menuliskan sebuah artikel menarik, tentang partisipasinya menonton sebuah presentasi mode dan melihat banyak fotografer mulai menggunakan kamera digital untuk pertama kalinya. Yang mana foto-foto yang mereka potret, dapat segera diterbitkan setelah pergelaran berakhir atau dikirim ke para editor mode di seluruh dunia. Kalau dipikir, hal itu cukup lucu, karena ini terjadi tak terlalu lama, tetapi seketika menciptakan pengaruh yang sangat besar.

Tentu saja, kemudian kita dihadapi oleh situs belanja online dengan statistik yang kala itu sangat fantastis. Contohnya, Kenneth Cole yang di tahun 1999, berhasil mengumpulkan profit besar. Sekarang? Profit dari penjualan online bahkan sudah bisa mencapai $102 milyar.

Environmentalism and Reuse

Saya menyaksikan sebuah presentasi fashion 10 atau 12 tahun lalu yang sangat terbilang baru, namun mulai dikenal pada tahun 1990-an. Presentasi tersebut berkonsentrasi di lingkungan hidup. Esprit memiliki lini yang ramah lingkungan, begitu juga Moschino. Bahkan, Franco Moschino menyebut dirinya seorang environmentalism, dan mendirikan koleksi berkelanjutan di tahun 1994. Hal itu ia lakukan sebelum ia meninggal dunia.

Tak ketinggalan, Margiela turut melakukan hal yang sama walau dirinya tidak memberikan predikat environmentalism ke koleksinya, namun lagi-lagi terdapat faktor dari jarangnya Margiela membahas karya-karyanya ke publik. Lamine Kouyaté dari Xuly.Bët juga seorang desainer kesukaan saya di dekade itu. Ia gemar memperbarui busana dengan cara yang menakjubkan, saya cukup beruntung bisa mendapatkan beberapa ansambel kreasinya dari masa itu yang kini sudah sangat langka. Saya sangat menyukai karya kedua desainer tersebut di era 1990-an, dan ya, saya menyukai konsep environmentalism sejak tahun 1990-an.

Global Wardrobe

Ya, tentu saja ini merupakan aksi cultural appropriation dan saya tidak takut mengatakannya karena hal itu memang benar adanya. John Galliano menggunakan war bonnet untuk koleksi Dior era 1990-an. Namun, di masa itu sudah mulai muncul banyak perbincangan betapa sebuah koleksi yang terinspirasi dari budaya Tionghoa, seharusnya hanya dilakukan oleh desainer asal China, daripada dirancang oleh desainer barat atau desainer Eropa yang menerapkan budaya China di koleksinya. Tantangan saya menuliskan masa itu terdapat di mana saat itu global wardrobe justru menjadi sesuatu yang dielu-elukan.

Memang sebaiknya kita melihat fenomena ini lewat perspektif kita di abad ke-21, tetapi kita juga harus mengerti bahwa koleksi seperti itu tidak akan terjadi lagi di koleksi Dior yang sekarang. Kita sudah lebih maju, dan ini merupakan hal yang fantastis.

Secara umum, ide globalisasi menawarkan kemungkinan untuk kita semua bisa terus bepergian, sehingga dunia semakin terlihat sempit. Jika Anda membaca wawancara Jean Paul Gaultier, ia berbicara tentang karyanya yang akan dianggap sebagai bentuk cultural appropriation di masa ini, meski itu cara dia merayakan budaya negara lain, setelah mengunjungi negara-negara tersebut. Ia merasa negara-negara yang ia kunjungi sangat cantik, dan itu alasannya menciptakan karya berlandaskan budaya negara yang ia kunjungi. Tetapi sekarang, tentu kita semua semakin menyadari implikasi-implikasi seperti itu, menciptakan sebuah desain yang terinspirasi dari budaya suatu negara, tanpa melibatkan orang-orang lokal di negara tersebut, apalagi tanpa membayar mereka, sangat lah problematic. Dan saat ini, kita semua akhirnya menyadarinya.

(Penulis: Barry Samaha; Artikel ini disadur dari Bazaar US; Alih bahasa: Astrid Bestari; Foto: Courtesy of Bazaar US)