Calling out all fashion enthusiast! Nyata adanya kalau tingkat konsumtif manusia terus menanjak bersamaan dengan industri gaya hidup yang makin menggoda (thanks to digital era). Sepertinya sifat impulsif sudah menjadi suatu hal yang lumrah. Sisi baiknya, ini menjadi pertanda bahwa kita memiliki economic growth yang baik, meskipun ada sisi yang tentu dikorbankan, yakni kesehatan bumi kita ini.
Di balik kesan glamor dan betapa menjanjikannya industri lifestyle, sudah menjadi pengetahuan umum kalau kita memiliki permasalahan sampah. Dan yang menariknya lagi, ternyata industri fashion diketahui sebagai kontributor terbesar nomor dua di dunia! Pernyataan ini saya baca di sebuah artikel New York Times yang juga menjelaskan angka statistiknya.
Dengan diakuinya masalah ini membawa kita ke beberapa metode yang sekarang mulai bermunculan dan akhirnya menjadi salah satu solusi sekaligus tren yang baik. Ya, istilah sustainable fashionpun muncul menjadi terminologi yang solid.
Tapi apa sih sebenarnya sustainable fashion? Apakah zero-waste fashionbenar-benar bisa terjadi? Apakah kita sebagai konsumen sudah paham benar?
Nyatanya untuk bisa 100% ramah lingkungan dalam industri fashion sepertinya adalah hal yang sedikit sulit untuk terjadi. Karena banyak sekali faktor di dalamnya, semisal tidak hanya bagaimana proses produk itu dibuat, tapi hingga detail mikro seperti bagaimana kita mencucinya, pilihan tipe detergen apa. Yes, begitu banyak detail-detail kecil di dunia fashion.
Definisi sustainable fashion sendiri adalah etika pada keseluruhan sistem industri fashion yang mengedepankan lingkungan dan sosial pada seluruh proses pembuatannya, termasuk segala faktor penting dan pendukung di dalamnya. Tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga ethical (seperti menyejahterakan masyarakat, kemudian bahan baku yang didapat tanpa kekerasan, bebas konflik, animal welfare, dan sebagainya)
Saya tidak akan berbicara terlalu jauh dan hanya akan stick to my capacity,bahwasaya hanya ingin memberi sedikit ajakan tentang bagaimana kita bisa berkontribusi pada lingkungan untuk teman-teman fashion enthusiast. Yang menjadi pertanyaan dan juga “PR” untuk kita sebagai konsumen adalah apakah kita sudah cukup sadar tentang barang yang kita beli di toko (online maupun offline)? Apakah kita sudah mencari info tentang bagaimana, misalnya celana brand “X”, atau dressrumah mode “A” dibuat? Sudah cukup ramah lingkungan kah? Lalu, apakah baik secara etika terhadap segala faktor di dalamnya?
Berlanjut lagi ke fase berikutnya yakni ketika tren sudah usai, lalu apa yang akan kita lakukan dengan baju yang sudah kita beli? Sudah dipakai berkali-kali, lalu tertumpuk, dan akhirnya kita bingung akan dipindah tangan ke orang sekitar. Solusinya ? Apakah dijual menjadi barang preloved, garage sale, atau disumbangkan?
Lalu keinginan kita membeli barang baru jadi meningkat, dan karena demand yang tinggi. Baju terus diproduksi yang akhirnya over-stocked, dan beberapa kasus malah menjadi deadstock alias barang tersebut tidak bergerak terjual.
Bagaimana kita membantu permasalahan sampah fashion tersebut? Kalau kita search topik terkait di internet, sudah banyak sekali bahasan di luar sana dengan fakta-fakta dan statistik yang cukup mencengangkan, serta membuat cemas.
Sejak tahun lalu, recycled fashion dan up-cycling menjadi ide segar, dan cara ini dipercaya menjadi salah satu solusi awal yang efektif. Dengan memberikan nyawa baru terhadap benda mati yang sudah kehilangan daya tariknya, atau material sisa yang digarap menjadi piece baru, cara ini sudah banyak direalisasikan oleh lini fashion dan fast fashion dunia.
Bahkan saya mencoba dalam skala kecil melalui sebuah kolaborasi bersama Rinda Salmun dan Madeind. Kami mengambil denim jacket yang deadstock dan sudah outdated, lalu kami deconstruct dan reconstruct dengan penambahan fabric dari gulungan kain yang juga sudah lama berdiam di stock. Atau kalau teman-teman pernah juga mendengar bahasan Andien Aisyah sang pelantun lagu Sahabat Setia, tentang proyek Setali yang fokus terhadap recycle dan up-cycle.
Ini juga bisa membuka peluang baru, bisnis model baru, dan audience baru. Dibutuhkan akselerasi terhadap penerapan ini dan memang sudah saatnya. Dengan bermunculannya marketplace yang menjual barang preloved dari merek high end sampai produk fast fashion, ini juga sangat membantu terhadap sirkulasi barang supaya tidak diam dan akhirnya menjadi “sampah”.
Tahun lalu saya menghadiri sebuah event yang digelar oleh sebuah marketplace yang menjual preloved produk luksuri, yaitu Huntsreet.com bersama Setali Indonesia. Mereka membuatpop-up di sebuah mal di Ibu Kota dan mengadakan lelang untuk high-end fashion piece yang sudah di-up-cycled oleh desainer-desainer ternama Indonesia.
Menurut saya desainer-desainer ini berhasil menginfusi daya tarik baru dan menjadi upaya yang sangat positif dalam memperkenalkan kepada audience guna meningkatkan awareness mengenai sustainability.
Cukup melegakan ketika secara perlahan kita sudah mulai bisa melihat pergerakan untuk mengatasi isu ini. Tapi sekarang kita perlu pikirkan lagi, bagaimana kita mengakselerasi hal ini. Melakukan secara masif dan sama-sama untuk jangan malas dalam berusaha memberikan dampak besar untuk kesehatan bumi. Ini juga tentu menjadi motivasi saya untuk lebih sadar.
Yuk sekarang coba teman-teman tengok lagi lemari Anda, apakah banyak tumpukan baju yang sudah outdated, atau sudah tidak layak pakai yang akhirnya hanya bikin closet menjadi sesak. Mungkin bisa diolah lagi menjadi jaket baru, jadi embellishment di kemeja, dress baru, topi, tote bag, bahkan bisa jadi kain perca untuk selimut, stuffing boneka atau bantal, fabric brick, dan berbagai hal. Let’s use our creativity and make a change.
Foto: Courtesy of Harper's Bazaar Indonesia
Fotografer: Saeffie Adjie Badas
Stylist: Michael Pondaag
Model: Liga Liepina (Merry Models) dan Devona Cools (Wynn Models)
Makeup: Camille Lee
Hair: Eka Sri Wahyuni
Stylist Assistant: Bella Konstantin
Busana dan Aksesori: Chanel, Dior, Max Mara, Shilvia B
Retoucher: Raghamanyu H.