Adakah sebuah benda fashion yang mampu menceritakan sejarah? Saya akan menjawab dengan yakin bahwa benda itu nyata keberadaannya, dan wujudnya berupa mantel atau coat.
Hal ini berkat pengalaman saya pada ujung November lalu, ketika Max Mara mengundang Bazaar untuk bertandang ke Seoul dalam rangka menyaksikan pembukaan ekshibisinya bertajuk Coats!.
Tentu saja berdasarkan namanya, Anda langsung paham jika mantel adalah bintang utamanya. Bayangan Anda memang tepat, objek penting bagi Max Mara ini diajak terbang dari tempat penyimpanannya di kota kelahirannya, Reggio Emilia, Italia, untuk berinteraksi dengan insan fashion.
Namun tidak hanya mantel yang berjumlah lebih dari 90 potong yang tampil memukau, pameran ini juga membuat Anda berdecak kagum oleh benda pendukung yang tersaji di dalam Coats!.
Pada pameran ini Anda akan melihat visual kampanye lampaunya, arsip-arsip foto dan sketsa, bahkan ada jarum dan benang yang menciptakan busana. Pengalaman Anda juga akan diiringi oleh irama-irama lagu atau suara yang membawa imaji Anda terbayang ke berbagai era yang telah ditempuh Max Mara hingga mencapai popularitasnya seperti sekarang.
Melalui wujud retrospeksi, seluruh memorabilia ini ditampilkan dalam format tujuh wunderkammer atau curiosity cabinet yang mewakili tujuh dekade yang telah dialami Max Mara.
Ruang pertama adalah The Founder yang menceritakan era 1950-an. Ketika memasuki kamar ini, Anda akan melihat ruang kerja Achille Maramotti yang dilengkapi jas kerjanya.
Tepatnya pada tahun 1951, perusahaannya lahir dan diberi nama Maramotti Confezioni, kemudian nama tersebut diganti dengan Max Mara Industria Italiana Confezioni.
Perubahan nama Max Mara dianggap lebih mudah dilafalkan dalam berbagai bahasa. Transformasi nyata di dekade ini terjadi di F/W 1959-1960 collection, Achille menerangkan bahwa referensinya datang dari Balenciaga. Menurutnya, tantangan utamanya bukan dari menyalin teknik couture melainkan bagaimana cara menjembatani antara adibusana dan busana siap pakai.
Ruang selanjutnya berisi tentang materi dan arsip dari dekade 1960-an, di kamar bernama Creative Studio ini Anda akan menemui Pop Collection. Pada masa ini, terjadi ledakan ekonomi sehingga London menjadi pusat atensi fashion.
Max Mara menyadari bahwa konsumer sedang berubah, yakni generasi muda yang menjadi penentu tren fashion.
Berikutnya, terdapat ruang Colorama, di sini mata akan dimanjakan oleh warna-warni layaknya euforia di periode 1970-an. Siluet baru, material baru, warna baru, proses baru, dan masukan kreatif yang menangkap spirit protes yang meluas di tahun 1970.
Di dekade ini juga lahir label Sportmax yang menawarkan interpretasi gaya muda dan kontemporer.
Kemudian, di ruang bertajuk The Icon, Anda akan berinteraksi dengan era 1980-an. Di kamar ini terdapat mantel The 101801 yang ikonis, merepresentasikan kesuksesan label “Made in Italy” dan strategi komersial yang inovatif.
Sedangkan di periode tahun 1990-an, kamar The Set menyambut Anda. Esensi minimalis dari dekade ini berpadu dengan kemewahan. Sosok wanita ideal diabadikan ke dalam bidikan para fotografer legendaris. Alhasil, banyak foto-foto yang menampilkan figur model dan selebriti di ruangan ini.
Lalu di dekade 2000-an, ruang The Max Mara Women mengetengahkan keuniversalan Max Mara. Misi sejati Max Mara ialah memberdayakan wanita, mengusung kreativitas dan seni kontemporer sebagai wujud dukungannya pada wanita.
Ruang ketujuh sekaligus ruang terakhir, The Fashion Show, berusaha mewakili era 2010-an, waktu yang kini pun masih dijalani. Di ruang ini terdapat panggung mode yang menggambarkan evolusi yang dialami Max Mara melalui runway show.
Pada perjalanan ini, Bazaar juga berkesempatan mewawancarai Creative Director Max Mara, Ian Griffith dan Fashion Coordinator Max Mara, Laura Lusuardi. Berikut petikannya:
Ian Griffith
Harper's Bazaar (HB): Apa bagian favorit Anda di pameran ini?
Ian Griffith (IG): Sulit untuk menjawabnya. Tetapi saya akan memilih bagian terakhir, karena itu yang menggambarkan 10 tahun terakhir dari apa yang Max Mara kerjakan, dan bagi saya pribadi itu merupakan bagian paling emosional karena seperti saksi mata atas apa yang saya lakukan selama berada di dalam Max Mara 10-15 tahun.
Membuat saya menyadari hal-hal ini secara naratif, serta mendorong saya untuk menentukan langkah ke depan.
HB: Apa arti archive yang dimiliki Max Mara bagi Anda?
IG: Apa yang akan Anda lakukan adalah hal yang terpenting, tetapi apa yang ada di belakang Anda seperti sejarah dan heritage adalah hal-hal yang membentuk identitas Anda. Alasan saya mencintai Max Mara adalah sejarah yang membentuk identitasnya sekarang.
Max Mara memiliki produk, khususnya mantel, yang memiliki nilai sejarah, melampaui harga yang tertera di labelnya.
HB: Mantel seperti apa yang membuat Anda jatuh cinta?
IG: Semua mantel. Namun favorit saya adalah wrap coat, sedangkan yang saat ini sedang saya sukai adalah Teddy coat, ikon baru yang lahir di 2013. Ketika saya lihat wanita mengenakan ini, saya melihat kegembiraan yang disajikan mantel ini.
Ia membungkus tubuh Anda layaknya Teddy bear sehingga dinamakan sama.
Laura Lusuardi
HB: Apa dekade favorit Anda?
Laura Lusuardi (LL): Bagi saya pribadi, sulit untuk memilih mana yang terbaik karena setiap dekade memiliki kisahnya dan keistimewaan masing-masing. Jika saya harus memilih, dekade '80-an adalah favorit saya karena itu adalah era yang paling kreatif.
HB: Apa peran Anda sebagai fashion coordinator?
LL: Peran utama saya adalah fashion coordinator, saya banyak berkolaborasi dengan banyak stylist. Sebagai fashion coordinator saya harus memahami banyak hal, seperti mengerti material dan mengerti pasar. Yang paling memorable secara spesifik di tahun 1975, fashion show pertama Max Mara di pekan mode, saya harus bekerja sama dengan Jean-Charles de Castel Bajac.
Setengah koleksi didesain oleh saya, dan setengahnya lagi didesain olehnya.
HB: Lantas bagaimana Anda memandang pasar Asia?
LL: Pasar Asia sangat menarik bagi Max Mara. Wanita Asia memiliki selera berbusana yang lebih minimalis, elegan, dan gaya yang alami. Dalam pameran ini, kami tak hanya ingin menampilkan mantel, tetapi juga proses apa yang kami kerjakan selama ini.
(Foto: Courtesy of Max Mara)