Pada episode ketiga musim terbaru serial Netflix Emily in Paris, chef Gabriel (yang dibintangi oleh Lucas Bravo) dan Emily Cooper (Lily Collins) terjebak di bawah derasnya rintik hujan dan gemuruh petir dengan tas jaring Longchamp Le Pliage Filet yang berisi persiapan pesta makan malam untuk ulang tahun Emily nanti. Detik itu terasa romantis ketika Gabriel melontarkan frasa coup de foudre yang secara harfiah berarti lightning strike atau halilintar. “It also means love at first sight," lafalnya dengan tatapan mata biru yang penuh pesona dan kemudian membelai rambut Emily. Sekejap jantung saya dan jutaan penonton wanita lainnya berdebar tidak karuan.
Pertanyaan pertama yang terlintas adalah apakah seorang Lucas Bravo percaya dengan pengandaian tersebut? Saya pun berkesempatan untuk dapat jawaban langsung darinya pada sesi roundtable interview.
Ia tersenyum dan mengekspresikan keyakinannya, "Saya tentu percaya dengan cinta pada pandangan pertama." Menerima tanggapan itu, saya secara spontan berusaha untuk tenang, meski euforia dalam lubuk hati sudah tidak tertahankan.
"Cinta bisa menyiratkan banyak hal, namun implikasi sesungguhnya adalah kejujuran. Semakin Anda mengenal diri sendiri dan belajar mengidentifikasi trauma maupun otomatisasi (reaksi yang terjadi tanpa disadari) yang menentukan persepsi Anda terhadap dunia, serta menerima segala kekurangan Anda, maka dari situlah Anda bisa terhubung dengan orang lain," ungkapnya.
Lucas merasa bahwa akseptasi menjadi elemen terpenting dalam menciptakan suatu afeksi, mengingat kita sebagai individu tengah terpengaruh banyak oleh keadaan sosial. "Dengan memahami segala hal dan menerima apa adanya, bagi saya, saat itulah cinta sejati terjadi." Penjelasan Lucas menyentuh hati saya dan juga Lucien Laviscount, peran pria baru asal Inggris bernama Alfie dengan daya tarik yang unik. Karakternya penuh dengan sarkasme dan nuansa sinis, tetapi entah mengapa mampu menarik perhatian para wanita. Bayangkan saja, ia bekerja di Paris namun meragukan ideologi asmara kota itu, ia mengikuti kelas bahasa Prancis tetapi menolak untuk memahirkannya dan memilih untuk tetap bergaul di English-speaking pub. Menarik, bukan? Kekontrasan ini turut menggoda relasi yang tidak disangka dengan Emily.
"Saya senang sekali dan lega tidak ada yang menanyakan situasi itu kepada saya," ungkap Lucien sembari tersenyum lebar dan menggelengkan kepala di akhir tuturan Lucas. Ia lalu melanjutkan makna truthdalam suatu hubungan, "Tokoh Alfie begitu terang-terangan menunjukkan perasaannya dan tidak takut untuk merasa bersalah demi mengetahui kebenaran." Lucien lanjut menegaskan, "The truth speaks volume.Take the truth, take it on the chin and go with it."
Pemikiran itu memberi pencerahan kepada Lucas, "Saya pikir permasalahan Gabriel adalah ia bergumul dengan perasaan dan pilihan namun tidak mengambil tindakan. Ia harus jujur pada dirinya sendiri sebab tidak ada salahnya untuk menyatakan kebenaran."
Saya merenung, "Jika kejujuran sedemikan krusial, risiko apalagi yang akan dihadapi sang koki tampan itu ketika bersama Emily? Apakah kedatangan Alfie hanyalah sebuah distraksi? Lalu apa cara terbaik untuk mengayomi perasaan Camille?"
Bagaimanapun drama dan akhir dari kompleksitas kisah cinta mereka, selalu ingat akan pepatah Lucas satu ini, "When in doubt, truth it out."
(Foto: Courtesy of Emily in Paris)